Ficool

LOVE IN CONTRACT MARRIAGE

DishaWillow
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
138
Views
Table of contents
Latest Update1
12025-11-22 09:32
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

Misha Arelia, gadis berkulit putih, berparas cantik, bertubuh berisi, dan cekatan, telah bekerja selama empat tahun di Maverick Group sebagai sekretaris CEO perusahaan tersebut. Ia mulai bekerja sejak usia dua puluh tahun.

Misha tinggal seorang diri di Sydney, terpisah dari orang tuanya demi mengadu nasib. Dengan kemampuan yang ia miliki, ia mampu bersaing dengan banyak pelamar lain. Bahkan, ia menerima beasiswa dari kantornya untuk melanjutkan pendidikan.

Pagi itu, seperti biasa, Misha menunggu bus di halte. Ia sudah siap berdesakan dengan para penumpang lain, kebiasaan yang sudah ia jalani selama empat tahun terakhir.

"Terlambat bangun?" tanya Sora yang tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Iya. Badan rasanya capek sekali. Semalam lembur sampai jam satu."

"Sudah makan?"

"Belum. Pagi-pagi begini mau makan apa?" Misha melirik jam di pergelangan tangannya.

Bus datang beberapa menit kemudian. Mereka berdua segera naik dan berdiri hingga tiba di halte kantor.

Setibanya di halte, mereka menuju ruang ganti untuk memakai pakaian kerja. Seperti biasa, ruangan itu penuh dengan karyawan yang sedang bersiap sebelum mulai bekerja.

Misha selesai lebih dulu. Ia menuju mejanya, membuka email, mencetak dokumen, lalu bersiap membawanya ke ruangan CEO.

"Banyak sekali pekerjaan hari ini," gumamnya pelan.

Tak lama, suara yang sudah ia kenal baik terdengar dari belakangnya.

"Misha, ke ruangan saya."

Arion Maverick, CEO tempatnya bekerja.

"Baik, Sir."

Misha mengikuti Arion dengan membawa tumpukan berkas.

"Ini berkas yang perlu ditandatangani, Sir. Dan jam sepuluh nanti ada rapat dengan Pak Nairo di lantai empat."

"Hm."

Arion memang selalu dingin kepada stafnya, kecuali kepada Misha. Empat tahun bekerja bersama membuat mereka cukup memahami karakter satu sama lain.

"Saya dapat undangan hari Sabtu. Temani saya," ujar Arion tanpa menoleh.

"Baik, Sir."

"Gunakan ini untuk membeli gaun, sepatu, dan tas." Arion menyerahkan kartunya.

Kebiasaan itulah yang membuat Misha memiliki banyak barang mewah. Arion sering membawanya ke berbagai acara, baik acara kantor maupun keluarga. Baginya, Misha cukup dapat diandalkan.

"Sampai kapan saya harus mengikuti pria ini terus? Kenapa ia tidak mencari pendamping saja," keluh Misha dalam hati.

Ia membuka ponsel, membaca tema acara, lalu menghubungi butik langganannya.

Tak lama setelah itu, Mira dari accounting datang.

"Ini berkas dari accounting, Miss Misha."

"Terima kasih, Mira."

"Arion makin tampan saja akhir-akhir ini," bisik Mira sambil tersenyum geli.

Misha menggeleng. "Jangan keras-keras. Nanti ada yang dengar."

Setelah memeriksa berkas, Misha masuk ke ruangan Arion.

"Permisi, Sir. Berkas dari accounting sudah saya cek. Tidak ada pembengkakan biaya."

"Baik. Sampaikan ke Nairo untuk membawa berkas itu. Hari ini saya yang akan memutuskan. Kau tidak perlu ikut rapat. Selesaikan perencanaan yang kemarin."

"Baik, Sir."

Misha menghubungi Mr. Nairo, lalu kembali bekerja menyelesaikan perencanaan kantor cabang baru di Melbourne.

Pukul 12.15, ia masih belum makan. Ia memang terbiasa menunggu Arion kembali sebelum meninggalkan meja.

Arion memiliki seorang sekretaris dan tiga asisten lain, tetapi hanya Misha yang ia percaya sepenuhnya.

"Makan." Arion meletakkan kotak makanan di meja Misha, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.

Misha menghela napas kecil, kemudian membawa makanannya ke pantry.

"Dapat makan siang dari bos lagi," ujar rekannya.

"Karena aku terlambat istirahat."

"Cepat makan. Nanti bosmu marah lagi."

Misha tertawa kecil.

Tak lama, Kaizer muncul. "Misha, makan di sini lagi?"

"Iya. Dikasih makan oleh Mr. Arion."

"Kasihan benar. Bosmu itu terlalu keras."

"Tidak juga. Dia yang membelikan makanannya."

Kaizer hanya menggumam, namun perhatiannya jelas.

"Nanti pulang mau aku antar? Aku lewat daerah kosmu."

"Tidak usah. aku harus mengambil pesanan Boss setelah kerja."

"Malam-malam masih kerja?"

"Harusnya siang tadi. Tapi Boss masih rapat. Jadi aku ambil nanti saja."

"Mau aku antar?"

"Tidak perlu. Nanti driver kantor juga kirim."

Kaizer hendak melanjutkan bicara, namun Misha sudah berdiri.

"Maaf. Boss memanggilku."

Misha kembali ke ruangan Arion.

"Permisi, Sir. Ada yang bisa saya bantu?"

"Siapkan diri. Ikut saya ke kantor cabang. Ada masalah di sana. Hubungi bagian accounting untuk menyusul."

"Baik, Sir."

Misha mengambil laptop, menghubungi driver, serta bagian accounting. Mereka turun dan langsung menuju mobil. Ia membukakan pintu untuk Arion sebelum duduk di kursi depan.

Setibanya di kantor cabang, Misha membantu Arion sampai masalah selesai. Jam menunjukkan pukul 22.00 ketika mereka keluar.

"Kita kembali sekarang," ucap Arion.

Namun petugas keamanan menghentikan mereka.

"Maaf, Sir. Jalan ditutup karena longsor."

"Jalan alternatif?"

"Tidak ada, Sir. Yang lain banjir setinggi lutut."

"Misha, cari penginapan."

"Baik, Sir."

Dalam lima menit, Misha mendapatkan satu-satunya pilihan: guest house sederhana dekat kantor.

"Yang terdekat hanya guest house ini, Sir. Setidaknya Anda bisa beristirahat."

"Kita ke sana."

Di perjalanan, hujan begitu deras. Misha takut, tetapi diam.

Sesampainya di guest house, Misha turun di tengah hujan untuk memesan kamar.

"Tiga kamar," ucap Misha.

"Maaf, hanya tersisa dua."

Misha seketika memahami situasinya. Jika ia mengambil kamar, Harris harus tidur di mobil.

"Baik, dua saja."

Ia mengantar Arion ke kamarnya, lalu menyerahkan satu kunci kepada Harris.

"Ini kunci kamar Anda, Sir. Saya boleh pinjam kunci mobil? Ada barang saya tertinggal."

"Biar saya ambilkan. Hujan."

"Tidak apa-apa, Sir. Barang pribadi."

Misha mengambil payung, menuju mobil, dan karena terlalu lelah, ia tertidur di dalamnya.

Arion yang kembali karena ponselnya tertinggal terkejut melihat Misha. Setelah memastikan bahwa kamar memang penuh, ia tahu Misha sengaja mengalah demi sopir tua itu.

Tanpa banyak bicara, Arion menggendong Misha ke kamarnya. Resepsionis membukakan pintu. Arion meletakkan Misha dengan hati-hati, menahan diri ketika melihat wanita itu terbaring begitu tenang. Ia lalu berbaring di sisi ranjang dan menempatkan pembatas di antara mereka.

Pagi harinya, Misha bangun sambil menguap panjang. Tubuhnya terasa segar, sampai ia melihat langit-langit kamar dan langsung duduk.

"Bukankah tadi malam aku tidur di mobil?"

Ia menoleh. Arion masih tertidur.

Misha menutup mulut, syok. Ia masuk kamar mandi, mencuci muka, lalu menghubungi penjemputan helikopter.

"Selamat pagi, Sir," ucapnya ketika Arion bangun.

"Hm."

"Maaf, Sir. Mungkin saya punya kebiasaan berjalan sambil tidur."

Arion menatapnya sebentar. "Saya yang menggendong kamu ke sini."

Misha menunduk. "Maaf, Sir."

"Seharusnya bilang saja kalau kamarnya hanya dua. Saya tidak keberatan berbagi ranjang."

Arion berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Misha dengan kepala penuh pikiran.

"Apa aku terlihat murahan sampai harus berbagi ranjang," gumamnya kesal.

Tak lama, helikopter tiba. Arion, Misha, dan Harris bersiap kembali ke Sydney.