Ficool

Istri Keenam Tuan Miliarder

Disha_Willow
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
193
Views
Table of contents
Latest Update1
12025-11-20 23:33
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

Hujan turun deras membasahi jalanan berbatu kota Barcelona, memantulkan cahaya lampu-lampu jalan yang temaram dan kusam, seakan kota ini menyimpan terlalu banyak rahasia untuk diterangi. Aroma tanah basah bercampur sisa asap kendaraan menyengat hidung, merayap masuk hingga ke dada. Elena merapatkan jaket tipisnya, mencoba menahan dingin yang menggigit tulang setelah shift panjang di Taberna Aurora. Tubuhnya lelah. Perutnya kosong. Langkahnya seperti menyeret bayangan yang tak ingin lagi menempel padanya.

Bulan bersembunyi di balik awan kelabu. Lorong sempit yang mengantar dari jalan utama menuju gang kecil tempat kos-kosan Elena berada tenggelam dalam gelap. Hanya suara langkah kakinya yang terdengar—pelan, ritmis, seperti bisikan kelelahan yang tak pernah betul-betul meninggalkannya.

Sudah hampir dua minggu Elena hanya makan sekali sehari. Seluruh uangnya habis untuk sewa kamar, listrik, dan sedikit simpanan darurat yang semakin menipis. Hidup sendiri di negara asing telah membuatnya kuat… tapi kekuatan itu kini menipis, tergerus waktu dan kesendirian. Sesekali ia bahkan bertanya-tanya alasan apa yang sebenarnya membuatnya tetap bertahan.

Langkahnya menggema di sepanjang Carrer de la Llibreteria yang lengang. Bayangannya memanjang di bawah cahaya lampu yang berkedip pelan, seolah kota tua ini bernapas dalam irama yang tak pernah dapat ia pahami. Udara lembap menusuk hidung—aroma batu tua dan sisa hujan sore tadi masih menggantung.

Elena menggenggam kotak bekal berisi sisa roti keju pemberian Chef Javier. Hari itu ia hanya makan sekali. Sisanya ia habiskan untuk mencuci piring dan mengantar hidangan ke meja-meja tamu Taberna Aurora.

Hidup keras. Tapi Elena sudah terbiasa, setidaknya ia berpura-pura demikian. Dia harus mampu. Harus.

Lalu—

Suara tembakan memecah malam.

Elena terhenti. Detak jantungnya melonjak liar. Tiga detik. Empat. Kemudian terdengar langkah lari, tergesa, berat, putus asa.

Napas tersengal.

Seseorang berbelok masuk dari ujung lorong.

Seorang pria, berpakaian serba hitam, kuyup oleh hujan. Darah mengalir dari sisi kemejanya. Pelipisnya robek, mengucurkan merah yang berkilau di bawah lampu jalan yang redup.

Pria itu limbung.

Dan tubuhnya ambruk, jatuh keras ke genangan air tepat di depan kaki Elena.

Cipratan air mengenai betisnya, membuat waktu seolah berhenti.

"Tu… Tuhan…" bisik Elena. Suaranya pecah. Tangan gemetar.

"Tolong…" suara pria itu parau, hampir tak terdengar.

Kelopak matanya terbuka sedikit. Tatapannya kabur, tapi begitu melihat wajah Elena, ada percikan harapan—rapuh, namun masih hidup.

Elena tersentak bimbang. Ini gila. Ini berbahaya. Tapi dia tidak bisa berbalik. Dia tidak sanggup membiarkan seseorang mati di depannya.

Dengan keberanian yang bahkan tak ia sadari masih punya, Elena merunduk. Kedua tangannya menopang tubuh pria itu, mencoba membangunkannya. Lengan kanan pria itu sobek parah. Dan lebih buruk—ada luka tusuk di sisi perutnya.

Satu luka tembak.

Satu luka tikam.

Seolah maut memutuskan untuk menyerangnya dari dua arah sekaligus.

"Kau harus bangun," suara Elena pecah, panik. "Aku… aku bisa bantu."

Namun pria itu mulai kehilangan kesadaran, tubuhnya semakin berat di pelukan Elena.

Suara mesin mendekat.

Elena menoleh.

Sebuah sedan hitam tanpa pelat nomor melambat di tikungan.

Bukan ambulans.

Bukan mobil biasa.

Rasa takut mencengkeram tengkuknya.

"Bangun! Kita harus pergi!" desis Elena, setengah menyeret pria itu menuju gang kecil di samping sebuah toko roti tua yang sudah tutup.

Pria itu berusaha berdiri—tertatih, tapi masih bernyawa. Entah dari mana kekuatan terakhir itu muncul.

Mereka memasuki gang gelap. Napas Elena memburu.

Mobil hitam itu berhenti tepat di tempat pria tadi jatuh. Dua pria keluar. Satu membawa senjata.

Elena memeluk tubuh pria itu erat, menyembunyikan mereka berdua di balik tumpukan peti kayu tua. Kedua tangannya menekan luka di perut pria itu, darah hangat mengalir membasahi kulitnya. Lewat celah kecil, Elena mengintip—para pria itu sedang memeriksa jalan, mencari sesuatu… atau seseorang.

Beberapa menit panjang itu seperti kekekalan.

Akhirnya mereka kembali ke mobil.

Pergi.

Keheningan turun seketika.

Pria itu terkulai di pelukan Elena.

"Kita harus cari bantuan," ucapnya, suaranya hampir tak terdengar.

Untuk pertama kalinya malam itu, pria itu merespons.

Satu kata. Patah. Berat.

"Jangan…"

Elena menoleh cepat. "Apa maksudmu? Kau bisa mati—"

"Jangan… rumah sakit…," ia terbatuk, suaranya serak, wajahnya mengeras meski lemah.

Ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan penuh rahasia. Luka-luka itu bukan hasil perampokan biasa.

Elena menelan ludah. Dia tidak mengerti, tapi satu hal jelas—dia tidak bisa meninggalkan pria ini untuk mati.

"Tuan…?" bisiknya.

Kelopak mata pria itu terangkat perlahan.

Tanpa pikir panjang, Elena melepas syal tipis dari lehernya dan menekannya ke luka di lengan pria itu yang terus mengucurkan darah. Tangannya gemetar keras. Ia bukan perawat. Bukan dokter. Tapi dia tahu—jika dia berhenti menekan, pria ini akan kehilangan sisa hidup yang ia pertahankan dengan susah payah.

"Bertahanlah… kamu akan baik-baik saja…" gumam Elena, meski kata-kata itu terdengar seperti doa yang bahkan ia sendiri tak percaya.

Darah membasahi syal dan merembes ke telapak tangannya. Hujan tak juga berhenti. Elena mendongak, mencari pertolongan—tapi lorong ini kosong. Tidak ada siapa pun.

Ia merogoh tas, mencari ponselnya.

Layar retak. Mati. Baterai rusak sejak dua hari lalu.

Elena memejam frustasi. Pergi mencari bantuan berarti meninggalkan pria ini sendirian—dan itu bisa menjadi keputusan yang terlambat.

Tiba-tiba suara mesin mendekat lagi.

Berbeda. Lebih halus. Lebih mahal.

Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di mulut lorong. Lampu sorotnya menyentuh mereka—menelanjangi rahasia kecil Elena malam itu.

Pintu depan terbuka. Dua pria berpakaian rapi turun cepat, membawa payung dan kotak P3K. Salah satunya mengenakan jas gelap dengan earphone—pengawal.

"Tuan Muda Alejandro, apakah Anda mendengar saya?" tanya salah satu pria. Yang dipanggil hanya mengangguk lemah.

"Señorita, mundur. Kami akan mengambil alih," ucapnya tegas namun sopan.

Elena mundur, tubuhnya menggigil antara dingin dan panik. Syalnya masih menempel di lengan pria itu—sekarang dia tahu namanya: Alejandro. Pakaiannya basah dan ternoda darahnya. Tapi tatapannya tak bisa berpaling dari pria yang baru saja ia selamatkan.

Alejandro dibopong masuk ke mobil dengan cepat. Namun sebelum pintu menutup, ia membuka mata dan menatap Elena.

"Namamu… siapa…?" suaranya serak tapi jelas.

Elena membeku. Suaranya tercekat.

"Elena… Elena Marquez."

Pintu menutup.

Mobil melesat pergi, meninggalkannya terpaku di lorong setengah gelap itu.

Tangannya bergetar. Tubuhnya menggigil.

Bukan lagi hanya karena hujan.

Karena dia tahu—malam ini telah menjadi awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang gelap. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Lorong kembali sunyi ketika langkah para pengawal menghilang bersama mobil hitam berlogo Velasco—nama yang bahkan belum pernah ia dengar. Elena berdiri diam, rambut basah menempel di wajahnya. Tapi pikirannya masih tertinggal pada tatapan pria asing itu… tatapan yang entah bagaimana mengguncang sesuatu jauh di dalam dirinya.

Dadanya naik turun.

Bukan karena lari—tapi karena perasaan yang tidak seharusnya muncul malam itu.

Ketakutan. Adrenalin.

Dan… sesuatu yang lain.

Sesuatu yang seharusnya tidak pernah ia rasakan terhadap seorang pria yang dipenuhi darah dan dikejar maut.

Elena mendongak ke langit. Hujan menyentuh wajahnya, seakan membangunkannya dari mimpi yang terlalu nyata.

"Siapa dia…?" gumamnya.

Dan kenapa jantungnya masih belum tenang?

Ia melangkah pergi perlahan, meninggalkan jejak basah di atas lantai batu. Jejak yang mulai menyimpan sebuah rahasia—awal dari cerita yang tak ia tahu akan membawanya sejauh apa…

…tapi ia tahu hatinya sudah mulai bergerak ke arah itu.

Ke arah Alejandro Velasco.