Ficool

Chapter 1 - Wanita Yang Perhatian

Adu tinju antara aku dan Faris sudah seperti ritual kecil yang hanya kami berdua yang mengerti. Di lorong kelas yang sunyi, tempat cahaya matahari jatuh melalui jendela dan menciptakan pola garis di lantai, kami saling berhadapan. Tidak ada penonton, tidak ada sorak sorai, hanya suara napas dan detak sepatu menyentuh keramik. Aturannya jelas. Tidak boleh memukul kepala. Hanya badan. Permainan aneh, tapi sudah menjadi kebiasaan yang entah sejak kapan terasa menyenangkan.

Hari itu Faris sedang bersemangat. Tinju tinjunya cepat dan penuh tenaga. Beberapa mengenai lenganku dan membuatnya mulai memerah. Aku mengangkat tangan, mencoba membalas. Namun sebelum pukulan berikutnya mendarat, sebuah suara lembut datang seperti angin yang menenangkan badai.

"Faris, jangan begitu. Nanti Ariel kesakitan."

Suara itu membuatku berhenti bernapas sejenak. Aku menoleh dan melihatnya. Seorang perempuan berdiri di dekat pintu kelas 8 3. Rambutnya terikat rapi, wajahnya lembut, dan matanya seolah membawa ketenangan pagi hari. Cahaya dari jendela menyentuh tubuhnya dan membuatnya terlihat seperti sosok yang muncul dari cerita cerita yang tidak pernah berani kutulis.

Lala. Saat mendengar Faris menyebut namanya, aku merasa seperti menemukan kata indah yang selama ini tidak pernah kusadari ada.

Ia berjalan mendekat. Langkahnya pelan seperti takut merusak keheningan lorong. Tatapannya jatuh kepadaku, dan dalam tatapan itu ada kehangatan yang membuat dadaku terasa ringan sekaligus berat pada waktu yang sama.

"Kamu tidak apa apa?" tanyanya.

Suara itu seperti hujan yang turun perlahan ke tanah yang retak. Menenangkan. Penyembuh.

"A aku tidak apa apa," jawabku terbata.

Namun Lala melihat lenganku yang mulai membiru. Ia menghela napas pelan. "Kamu bilang tidak apa apa, tapi ini lebam. Ayo ikut aku ke UKS."

Sentuhan tangannya di pergelangan tanganku begitu lembut tetapi cukup membuatku terpaku. Rasanya seperti disentuh kelembutan yang tidak pernah kukenal sebelumnya. Kami berjalan menyusuri lorong, dan untuk sesaat aku ingin waktu melambat agar langkah ini tidak cepat berakhir.

Di UKS, perawat membersihkan lukaku. Lala duduk di kursi sambil memperhatikan, seolah memastikan tidak ada bagian yang terlewat. Cahaya siang menempel di wajahnya dan membuatnya tampak seperti lukisan yang hidup. Setiap kali ia menatapku, aku merasa seperti dunia mengecil dan hanya menyisakan aku dan dia.

Setelah perban dipasang, Lala tersenyum kecil. "Aku pergi dulu ya. Nanti kita ketemu lagi."

Senyum itu menancap lembut di pikiranku. Aku ingin bertanya banyak hal, tetapi kata kata seperti hilang ditelan udara. Jadi aku hanya mengangguk pelan dan melihatnya pergi.

Saat dia menghilang di ujung lorong, aku menyadari bahwa sesuatu di dalam diriku berubah. Aku tidak tahu apa, tapi yang jelas perasaan itu menempel seperti aroma hujan yang tidak hilang walau angin berganti arah.

Waktu istirahat, aku memberanikan diri berjalan ke kelas 8 3. Entah kenapa kakiku melangkah sendiri tanpa menunggu persetujuan dari pikiranku. Saat aku sampai, Lala sedang tersenyum dengan temannya. Senyum itu seperti cahaya yang menembus celah gelap di hatiku.

Ia melihatku dan berjalan mendekat.

"Ariel, kan?"

"Ya."

"Perbannya gimana?"

"Sudah lebih baik."

Lala mengangguk, matanya berbinar tenang. "Baguslah. Kalian sering bertinju begitu?"

"Kadang."

"Kalian aneh, tapi lucu juga," katanya sambil tertawa kecil.

Tawa itu terasa seperti nada pertama dalam lagu yang belum pernah kudengar tetapi langsung kusukai.

"Kamu dari 8 1 ya?"

Aku mengangguk lagi.

"Aneh ya. Kelas kita dekat, tapi aku baru sadar kamu hari ini." Ia menyeringai. "Atau mungkin kamu yang terlalu suka melihat lantai."

Aku tidak bisa menahan senyum. Ada sesuatu tentang Lala yang membuatku ingin tertawa walaupun jantungku berdebar.

"Aku balik kelas dulu. Jangan bertinju lagi, terutama di lorong."

Ia melambaikan tangan lalu pergi. Setiap langkahnya menjauh, aku merasakan sesuatu seperti tarikan halus di dadaku, seakan ada bagian dariku yang ingin mengejarnya tetapi tidak berani.

Sepulang sekolah, aku berjalan pelan melewati lorong tempat kami bertemu pertama kali. Lorong itu terasa berbeda sekarang. Ada jejak perasaan yang tertinggal di sana. Jejak suara Lala, tatapannya, senyumnya, dan sentuhannya yang lembut di pergelangan tanganku.

Aku menyentuh perban di tangan dan tersenyum kecil. Luka lebam ini terasa seperti tanda kecil bahwa hari ini bukan hari biasa. Ada sebuah cerita yang baru saja dimulai, meski aku belum tahu akan berjalan ke mana.

Namun satu hal pasti.

Jika esok hari aku bangun dan merasa bersemangat datang ke sekolah, alasannya bukan lagi Faris, bukan lagi kebiasaan tinju bodoh kami, tapi seseorang dari kelas 8 3 yang suaranya lembut seperti angin dan senyumnya bisa mengubah lorong kosong menjadi tempat yang hidup.

Lala.

Dan aku ingin mengenalnya lebih jauh.

More Chapters