Angin malam kota tua bertiup lagi—kali ini lebih lambat, seolah kelelahan setelah guncangan temporal yang menghantam menara jam. Setelah berlari cukup jauh dari alun-alun, Edward, Zeco, dan Liora tiba di sebuah penginapan kecil di sudut distrik timur.
Bangunannya sederhana—empat lantai, batu bata merah yang pudar karena usia, dan lampu gantung di beranda depan yang bergoyang lembut tertiup angin. Dari luar, tampak seperti tempat persinggahan biasa bagi pedagang atau musisi keliling.
Namun bagi Edward, ada sesuatu yang terasa… tidak sepenuhnya normal.
"Apakah penginapan ini aman?" bisiknya kepada Liora.
Liora mengangguk sedikit. "Ini adalah salah satu titik netral dalam garis waktu kota. Titik ini tidak menyentuh distorsi apa pun."
Zeco menutup hidungnya. "Baunya seperti roti basi dan karpet tua. Tapi… aman itu bagus."
Mereka masuk ke dalam.
Di dalam, lobi diterangi oleh lampu kuning redup. Aroma kayu lembap bercampur dengan aroma kopi hitam yang baru diseduh. Pemilik penginapan, seorang pria tua dengan kumis tebal, melirik mereka sekilas sebelum kembali memoles gelas tanpa banyak bertanya—seolah-olah kedatangan mereka bukanlah hal yang luar biasa.
Edward menghela napas lega. "Kita butuh ruangan yang cukup besar untuk bicara."
"Tentu saja," kata Liora sambil menunjuk ke tangga kayu. "Lantai tiga, kamar yang paling ujung."
Ruangan itu hening.
Jendela itu setengah terbuka, membiarkan angin malam tahun 1920-an masuk, membawa aroma hujan dan logam tua. Di atas meja kayu bundar, sebuah lampu minyak kecil menyala, memancarkan bayangan yang bergoyang di dinding.
Begitu pintu terkunci, Edward langsung menoleh ke Liora.
"Sekarang jelaskan," katanya serius, tanpa sedikit pun keraguan. "Permata hijau di gua timur—kau bilang itu artefak pertama. Artefak untuk apa?"
Liora menyentuh kalung kecil yang terpantul di cermin—tergantung di sana sebuah jam bundar kecil, logamnya berkilauan seperti perak hidup.
"Aku akan mulai dari sini," kata Liora lembut. "Kota ini pernah dilanda perang. Pertempuran yang tidak terjadi selama bertahun-tahun… tetapi dalam hitungan detik yang terputus dan terhubung kembali."
Zeco duduk di sofa, ekornya berkedut tegang. "Dan permata hijau itu… itu bagian dari perang waktu?"
Liora mengangguk. "Permata itu bukan sekadar batu. Itu adalah Benih Kronit—benih waktu. Artefak pertama dari tujuh artefak, yang diciptakan oleh para penjaga waktu pertama yang pernah hidup."
Edward mengamatinya dengan saksama.
"…Tujuh artefak?" ulangnya pelan.
"Ya. Dan kalian," Liora menatap mereka satu per satu, "dalam kehidupan kalian sebelumnya… pernah berkumpul bersama."
Mata Zeco membelalak. "Tunggu—jadi kita pernah melakukan pencarian artefak epik, mati secara tragis, dan kemudian… terlahir kembali sebagai kucing?!"
Edward memijat pangkal hidungnya. "Fokus, Zeco."
Liora melangkah ke arah meja, mengambil peta tua yang dilipat yang dibawa Edward sebelumnya, dan membukanya. Benar saja—di salah satu sudut peta terdapat tulisan kecil yang samar:
"Arsiparis Pertama — Benih Kronit terletak di Gua Timur."
Liora mengetuk peta itu dengan jarinya.
"Gua itu bukan sekadar tempat. Gua itu adalah gerbang pertama menuju rekonstruksi garis waktu."
Edward mengerutkan kening. "Rekonstruksi? Kau bicara seolah-olah waktu itu sendiri… rusak."
"Ini rusak."
Lampu minyak itu berkedip-kedip saat Liora mengatakannya.
"Ada sesuatu—sesuatu yang kau ketahui di kehidupanmu sebelumnya—yang memaksa aliran waktu di kota ini terpecah. Menara jam hanyalah salah satu dari ratusan retakan."
Zeco memiringkan kepalanya. "Dan permata hijau itu akan memperbaiki retakannya?"
"Tidak sepenuhnya," jawab Liora, sambil menatap jam peraknya. "Artefak pertama hanya membuka kebenaran yang pernah kau lupakan. Tanpa ingatan itu… kau tidak akan pernah bisa menghadapi apa yang menanti di puncak menara."
Suasana di ruangan itu menjadi mencekam. Ketenangan era 1920-an di luar jendela tak mampu meresap masuk.
Edward menatap Liora, suaranya rendah namun tegas.
"Dan Min Hu? Kau bilang dia kuncinya. Apakah dia juga terkait dengan artefak ini?"
Liora terdiam untuk waktu yang lama.
Akhirnya, dia menjawab.
"Min Hu adalah pusat dari siklus ini. Setiap kali kota ini diserang oleh distorsi, garis waktu mencari jangkar."
Mata peraknya meredup.
"Dan jangkar itu… selalu jatuh pada Min Hu."
Edward terdiam kaku.
"…Jadi dia terlibat tanpa pernah menyadarinya?"
Liora mengangguk. "Tanpa mengingat, tanpa memilih. Dialah satu-satunya yang bisa mencegah dunia ini runtuh ketika kau gagal di masa lalu."
Zeco menelan ludah dengan susah payah.
"Jadi dewa waktu menggunakannya seperti… pilar penyangga?"
Liora memejamkan matanya. "Lebih buruk dari itu."
Sebelum Edward sempat bertanya lebih lanjut, sesuatu bergetar di dalam ruangan itu.
Lampu minyak itu tiba-tiba meredup.
Jam dinding di pojok itu berdetik—tik-tok… tik-tok… tik—tok—tik—lalu berhenti total.
Zeco terkejut. "Sekarang bagaimana?!"
Liora menatap ke arah jendela.
"Distorsi tersebut telah mencapai distrik timur."
Dia meletakkan jam peraknya di atas meja. Jam itu memancarkan cahaya perak yang lembut.
"Sekarang kau harus pergi ke Gua Timur. Benih Kronit tidak boleh jatuh ke tangan entitas yang sedang bangkit."
"Entitas apa?" tanya Edward cepat.
Liora membuka matanya.
Dan sesuatu dalam tatapannya membuat udara di ruangan itu terasa lebih dingin.
"Musuh yang menyebabkan kematian pertama kalian."
Keheningan menyelimuti ruangan.
Ketiganya tahu: apa pun yang menunggu di dalam gua itu… bukanlah sekadar artefak.
Itulah awal dari kenangan yang terkubur.
Awal dari sebuah kebenaran yang akan mengubah jati diri mereka yang sebenarnya.
Edward menarik napas dalam-dalam, mengambil peta, dan berdiri.
"Kalau begitu, kami akan pergi."
Zeco melompat ke bahunya. "Baiklah… tapi jika ada monster dari masa lalu kita, aku akan pura-pura tidur."
Liora tersenyum tipis. "Hati-hati. Gua itu sering memanggil kembali masa lalu yang pernah kau tinggalkan."
"Dan kau?" Edward menatapnya.
"Aku…" Liora menyentuh jam peraknya. "Aku harus menahan keretakan di distrik ini. Jika tidak, seluruh kota bisa jatuh ke dalam kehancuran temporal."
Edward menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Kita akan kembali dengan permata itu."
Zeco mengangkat ekornya. "Dan semoga masih hidup."
Liora sedikit membungkuk. "Semoga waktu menyertaimu."
Di luar penginapan, hujan gerimis mulai turun.
Lampu jalan berkelap-kelip.
Angin malam membawa suara jarum jam yang bergerak mundur.
Edward dan Zeco melangkah ke arah timur—menuju gua yang menyimpan artefak pertama, dan masa lalu yang siap dibangkitkan sekali lagi.
