Ini memang bukan kejadian untuk pertama kalinya. Namun, selalu saja membuat Jane merasa bersalah dengan pekerjaan yang sudah digelutinya beberapa tahun ini. Tidak ada lagi kelopak mata yang indah, hanya ada warna hitam di area sekitar. Jane terbangun tepat pada pukul delapan pagi. Masih ada waktu beberapa jam untuknya bersantai sembari menikmati indahnya kota Paris.
Jane tinggal di Apartemen sederhana dan berada disudut. Tentu saja, Jane tidak sendiri, Apartemen yang hanya memiliki luas 1.300 kaki saja. Awalnya hanya dihuni oleh perempuan bernama Meyko Waraha. Terkadang, Jane berpikir, apakah bertemu dengan Meyko itu sebuah keberuntungan atau malah semakin membawanya jatuh ke jurang dunia yang gelap? Apa pun itu, Jane tidak peduli untuk saat ini ia hanya ingin segera membayar hutang-hutang yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.
Kamar dengan nuansa coklat muda itu telah menemaninya lebih dari satu tahun. Jane meregangkan kedua tangannya dengan mata yang masih enggan terbuka sempurna. Namun, inilah hidup, lupakan yang terjadi beberapa jam lalu dan mulainya kembali dengan dunia baru. Jane harus berpura-pura kembali menjadi perempuan polos dan tidak tahu apa-apa ketika ia berada dilingkungan kampus. Sering sekali Jane berpikir, untuk apa si dia capek-capek kuliah, jika hanya menjadi perempuan jalang? Ah, persetan dengan apa pun julukan untuk perempuan yang memuaskan napsu perempuan (lagi).
"Good, Morning. Jane! Lupakan kejadian semalam dan tetap lanjutkan hidup, meskipun tidak semenyenangkan orang lain," Jane bermonolog sembari membuang selimut yang menemaninya semalaman. Perempuan dengan rambut pirang itu segera membereskan kamarnya, satu rutinitas yang tidak akan pernah Jane lupakan, bersenandung dipagi hari bisa membuat dirinya lebih baik. Masih dengan balutan kaos polos dan celana shot pants berwarna coklat Jane berhasil membuka pintu kamarnya.
Meskipun apartemen ini hanya memiliki 1.300 kaki, Jane sangat nyaman tinggal di sini. Meyko selaku teman Jane pun bekerja di dunia malam, dia adalah seorang Muncikari. Apakah Jane tidak takut tinggal berdua dengan seorang Muncikari? tentu saja tidak, ada yang lebih menakutkan lagi. Ketika orang-orang bertubuh besar datang begitu saja dan mengambil seluruh aset yang ia punya pada beberapa tahun lalu.
"Nyebat terus," sindir Jane yang tidak sengaja melihat Meyko tengah menyesap rokok.
"Kenapa? mau juga?" tanya Meyko sembari memberikan satu batang rokok kepada Jane. Jane pun berdecak dan menolak rokok tersebut.
"Aku tidak mungkin menyiksa tubuhku dengan sebatang rokok seperti ini." Jane mengambil rokok tersebut dan memandanginya untuk sepersekian detik. Jane sudah kenal Meyko cukup lama. Perempuan itu tidak mungkin menyesap rokok dipagi hari jika dirinya baik-baik saja, dan tentunya Meyko sudah pasti menyampurkan serbuk terlarang ke dalam tembakau tersebut.
"Mau sampai kapan seperti ini, Mam?" tanya Jane pada Meyko yang kini memfokuskan pandangannya ke arah langit-langit rumah.
"Kamu pun mau sampai kapan menjadi pemuas nafsu perempuan diluaran sana?"
Jane tidak langsung menjawab, pertanyaan seperti ini memang sangat dihindari olehnya. Karena ia pun tidak tahu, mau sampai kapan ia menjual tubuhnya ke orang-orang. Jika ada dari kalian yang bertanya-tanya, kenapa Jane memilih menjadi pelacur lesbian, jawabannya simple, kok. Bagi Jane menjadi pelacur lesbian memiliki resiko kematian yang sangat kecil, walaupun tidak jarang juga clientnya melakukan hal tidak menyenangkan ketika mereka sudah berhasil membeli Jane untuk kepuasan satu malam.
"Enggak bisa jawab, kan?" tanya Meyko lagi, Jane mengangguk.
"Kamu ke kampus jam berapa?"
"Jam satu siang, kenapa, Mam?"
"Enggakpapa, gimana clientmu tadi malam?"
Mendengar kalimat seperti itu, wajah Jane seketika berubah menjadi masam. Ia mengingat kembali permainan Feraya tadi malam.
"Mam, sumpah. Kalau ada client seperti itu lagi tolak saja. Aku masih mau hidup," racuh Jane.
Meyko pun tidak bisa menahan tawanya lagi.
"Memang kenapa, Jane? dia kasar?"
Jane merubah posisinya, ia mengambil batang rokok yang terselip dijari Meyko dan hampir menghisapnya. Namun, dengan cepat Meyko mengambil rokok tersebut dan menggeleng. "Jangan yang ini."
Setelah itu Meyko mengambilkan bungkus rokok tersebut dan memberikannya kepada Jane. "Yang ini saja lebih sehat."
"Sejak kapan rokok ada yang sehat dan tidak sehat?" tanya Jane tidak berusaha mengalihkan pembicaraan.
Meyko hanya terkekeh dan memberikan sebuah korek api elektrik kepada Jane.
"Thank you, Mam," ucap Jane. Jane pun mulai menyesap nikotin yang terkandung di dalam tembakau tersebut, sesekali ia membiarkan asapnya membumbung dan menyebar ke seluruh ruangan.
"Jadi gimana? coba ceritakan," pancing Meyko.
Jane menarik napasnya cukup panjang. "Dia bukan hanya kasar, Mam. Tapi sekaligus gila!"
"Gila bagaimana?"
"Dia memakai toys sex, Mam!"
Dari awal terjun kedunia gelap seperti ini, Jane memang kerap kali menolak client seperti itu. Jane memiliki dua batasan untuk calon clientnya. Yang pertama dia tidak menyukai permainan yang menggunakan alat bantu sex, dan yang kedua, Jane hanya menerima satu kali client yang sama.
"Hahaha ... terus? enggak sobek, kan?" tanya Meyko.
Jane menggeleng. "Enggak, tapi sakitnya masih berasa sampai sekarang."
"Terus gimana kuliahmu nanti?"
"Tenang saja, kamu kan tau kalau aku sangat pandai menyembunyikan rasa sakit," tutur Jane.
Mereka menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk mengobrol. Entah apa sebenarnya yang mereka bahas selama itu, akan tetapi itulah rutinitas mereka, saling bertukar cerita. Setelah bosan mendengarkan cerita dari Meyko, Jane pun melirik ke arah jam dinding dan mulai membangunkan tubuhnya.
"Aku harus siap-siap dulu, Mam. Uang sewa bulan ini nanti aku transfer setelah pulang dari kampus." Jane mengatakan hal tersebut sembari menaruh ujung batang rokok ke dalam asbak. Sementara Meyko hanya mengangguk dan masih menikmati setiap nikotin yang berhasil masuk ke dalam paru-parunya.
Jane Patrcia mempercepat langkahnya, menelusuri koridor kampus dan melewati beberapa kelas. Dengan tumpukan beberapa buku di tangannya Jane tidak sempat membuka room chat di whatsappnya. Hingga ia tidak tahu sama sekali bahwa hari ini akan kedatangan mahasiswa baru di kelasnya. Jarak Apartemen dari kampusnya memang cukup jauh, oleh karena itu sering sekali Jane terlambat. Untung saja Dosen di kampus itu bisa memaklumi keadaan Jane. Jane pun pergi ke kampus hanya dengan menggunakan kendaraan umum, jika ditanya ke mana larinya uang Jane yang selalu ia dapatkan setiap malam, hutang yang ditinggalkan oleh keluarganya tidaklah sedikit, hampir menyentuh angka €52,000, dan tentu saja Jane harus berusaha sangat keras agar hutang tersebut cepat selesai.
Kejadian semalam membuat Jane tidak bisa bergerak dengan bebas, ada rasa sakit di area selangkangannya
"Tante-Tante sialan!" Monolog Jane sembari mempercepat langkahnya. Tepat pukul satu siang Jane berhasil sampai di depan pintu kelasnya, akan tetapi, Dosen sudah memulai kelasnya dari beberapa menit lalu. Dosen tersebut melirik ke arah Jane dan menyuruhnya untuk segera masuk ke dalam kelas.
Jane mengedarkan pandangannya, bangku miliknya tidak lagi kosong sudah diisi oleh perempuan yang wajahnya sama sekali tidak dikenali olehnya. Namun, beruntung Jane memiliki sahabat baik seperti Lynne Aparsa. Dengan memanfaatkan bibir mungilnya Lynne pun memberitahu kepada Jane Patricia bahwa perempuan dengan wajah asing itu adalah mahasiswi baru. Konon, dia bernama Freen Athar Renjana, perempuan cantik dan kaya raya itu baru saja pindah ke Paris dari beberapa hari lalu. Katanya, Freen terpaksa pindah ke sini karena bisnis kedua orang tuanya.
Jane melewati Freen begitu saja tanpa melirik sedikitpun, berbeda dengan teman-teman lainnya, terlebih kaum adam yang sangat antusias ingin berkenalan dengan perempuan cantik itu. Aroma wangi dari tubuh Freen yang menyengat tidak membuat Jane menghentikan langkahnya, ia terus berjalan dan menempati bangku yang masih kosong.
"Cia, kamu enggakpapa duduk di sana?" tanya Lynne pelan.
Jane menghentikan langkahnya. "Enggakpapa, Lynne. Jangan khawatir," balas Jane.
Tidak ada satu orang pun yang mengetahui pekerjaan Jane yang sesungguhnya. Bahkan sahabatnya sekalipun. Jane dan Cia bukanlah orang yang berbeda, masih orang yang sama. Namun, dengan perilaku berbeda. Ketika ia sedang mendengarkan apa yang dijelaskan oleh Dosen ponselnya tidak berhenti bergetar, ada beberapa pesan masuk dan salah satunya dari Clientnya semalam.

Setelah membaca pesan singkat itu Jane pun buru-buru menutup kembali layar ponselnya dan menaruhnya di dalam tas, Jane Patricia merupakan salah satu mahasiswa berprestasi, sejak kecil Jane sudah tertarik dengan Budaya dan Sastra Indonesia. Ketika ia bosan dengan segala rutinitas kesehariannya, Jane akan meluangkan waktu untuk pergi ke pantai dan menghabiskan waktunya di sana. Biasanya, Jane duduk sendirian di bibir pantai sembari merenungkan apa yang sudah terjadi di hidupnya, tidak hanya itu Jane juga bisa menghabiskan waktunya untuk membaca novel.
Oh iya, satu hal yang harus kalian tahu, dibalik pekerjaannya yang kotor prestasi Jane dalam bidang sastra juga jangan diragukan lagi, salah satu esainya tentang "Peran sastra dalam era digital" berhasil memenangkan lomba esai nasional. Jadi bagaimana? apakah kalian minat jadi temannya Jane?
Tentunya rasa takut pada diri Jane membuatnya ingin berhenti dari pekerjaan menjijikkan itu. Namun, gaji dari toko buku bekas tidak mungkin cukup untuk melunasi hutang-hutang keluarganya. Setelah kelasnya selesai biasanya Jane langsung bergegas pergi ke tempat buku bekas tersebut. Di sana Jane akan melayani setiap custamer atau hanya sekadar bantu-bantu menyortir buku yang masih layak dijual atau tidak. Seperti itulah rutinitas Jane setiap hari.
Kelas siang ini akhirnya selesai tepat pukul tiga sore waktu Paris, Jane mengemasi barang-barangnya dan menaruhnya di dalam tas, detik kemudian Lynne datang menghampiri sahabatnya
"Cia, hari ini sibuk enggak?" Jane tidak langsung menjawab, ia mengambil napasnya untuk beberapa detik dan mengalihkan pandangannya ke arah Lynne.
"Hm ... Hari ini aku mau ke toko Pustaka Lama, Lynne. Kenapa?"
"Aku rencananya mau traktir Cia nonton," jawab Lynne sedikit kecewa.
"Duh, kayaknya aku enggak bisa deh," tolak Jane.
"Serius? kenapa si akhir-akhir ini Cia selalu sibuk, ayolah, please," rengeknya memohon.
Jane membangunkan tubuhnya dan memegang kedua bahu sahabatnya.
"Lynne, aku minta maaf kalau akhir-akhir ini jadi jarang ada waktu buat sekadar nongkrong atau pun beli Ice cream di Berthillon. Tapi aku janji, setelah urusanku selesai kita pasti akan menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi."
Lynne pun tidak tahu harus menjawab apa lagi, tidak bisa dipungkiri Lynne sangat merindukan kesehariannya yang dihabiskan bersama Jane. Biasanya setiap pulang dari kampus Jane akan mengajaknya menjajahi kuliner di Marche des Enfants Rouges. Pasar tertua di Paris itu memang menjadi opsi pertama bagi mereka.
"Kamu percaya sama aku, kan?"
Lynne mengangguk. "Selesaikan semuanya secepat mungkin ya, Cia. Biar kita bisa main bareng lagi." Kini giliran Jane yang mengangguk. "Iya ... lagi pula masih ada teman-teman yang lain, kamu bisa beli Ice cream bareng mereka."
Sampai pada saat Lynne membulatkan kedua matanya Jane tidak menyadari bahwa apa yang ia ucapkan itu adalah hal yang tidak disukai oleh Lynne.
"Apa Cia pernah merasakan hati kita kosong meskipun kita berada di keramain sekalipun?"
Jane mengangguk. "Pernah."
"Itu yang aku rasa ketika aku pergi dengan teman yang lain. Karena bagiku, enggak ada orang lain yang pemikirannya sedewasa Cia. Ketika bersama Cia aku juga merasa sangat nyaman, karena aku yakin Cia tidak seperti mereka."
Jane bergeming. "Seperti mereka? maksudnya bagaimana?"
"Iya seperti mereka yang mainnya ke club malam, sampai mabuk-mabukkan." Jane tertohok dan tidak langsung menjawab perkataan sahabatnya. Andai saja Lynne tahu pekerjaan Jane yang sesungguhnya mungkin ia akan muntah dihadapannya. Jane mengambil napas panjang dan menetralkan pernapasannya.
"Lynne, aku boleh bilang sesuatu?" tanya Jane.
"Apa Cia?"
"Don't judge a book by its cover. Karena tidak semua apa yang kamu lihat itu buruk. Jangan juga menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada manusia, termasuk kepadaku, bisa saja suatu saat nanti aku membuatmu kecewa, kan?"
"kenapa Cia ngomong seperti itu?"
"Supaya kamu bisa menerima segala sesuatu yang akan terjadi dikemudian hari."
Setelah itu, Jane menenteng tasnya dan mulai meninggalkan Lynne di dalam kelas. Setelah bayangan sahabatnya menghilang, Lynne kembali berpikir apa maksud dari perkataan Jane barusan?