Sejak kecil, Zidan berlari dengan satu mimpi: membela tim kotanya di liga profesional. Namun di jalan menuju stadion besar, ia dihadang cedera, ekonomi keluarga, dan label "terlambat berkembang" dari pemandu bakat. Saat peluang tampak menguap, Zidan membangun kembali dirinya dari nol—disiplin, taktik, dan keberanian mengambil keputusan di lapangan serta di luar lapangan. Dari liga tarkam, turnamen malam, hingga trial klub, ia belajar bahwa kemenangan bukan soal skor semata, melainkan menaklukkan rasa takut sendiri.
Bab 1 — Rumput yang Basah
Rumput lapangan kampung itu selalu basah meski matahari baru naik sepenggalah. Embun menggantung di ujung daun seperti penonton yang belum mau pulang. Zidan berdiri di garis tengah, sepatu lusuhnya ditekuk-tekuk agar lunak, bola diam di depan, seperti menunggu perintah.
"Dan! Panasin dulu kaki!" teriak Raga, sahabatnya sejak SD, sambil menggulung kaus kaki selutut.
Zidan mengangguk. Ia menarik napas panjang. Setiap Sabtu, anak-anak kampung berkumpul di lapangan itu untuk main tarkam. Kadang hadiahnya uang, kadang hanya piala plastik dan nasi bungkus. Tapi bagi Zidan, hadiahnya selalu sama: kesempatan untuk merasa hidup.
Ayah Zidan, mantan sopir angkot, duduk di pinggir lapangan. Topinya menutupi mata dari sinar pagi. "Main yang bener. Jangan asal nendang. Lihat ruang." Suaranya datar, tapi Zidan tahu ada doa di ujung kalimat itu.
Kick-off dimulai. Bola mengalir cepat, kaki-kaki mengejar, teriakan pecah di sekeliling. Tim Zidan tertinggal duluan lewat sepakan jarak jauh. "Santai! Kita balas!" Pelatih kampung, Bang Ucok, bertepuk tangan.
Zidan menerima bola di tengah, lawan menutup dua arah. Ia feint ke kiri, bawa ke kanan, sentuhannya tak mulus—rumput licin—bola memantul terlalu jauh. Bek lawan mengayun kaki, sapuan bersih. Sorak-sorai kecil terdengar dari tribun bambu.
Gagal itu perih, tapi bukan baru sekali. Zidan menengadah, menepuk dadanya dua kali. "Ulang," gumamnya. Raga mendekat, "Main simpel dulu. Satu-dua."
Menit-menit berikutnya, Zidan menahan ego. Ia biarkan bola bergerak lebih cepat dari langkahnya: sentuh sekali, lepaskan. Di menit 38, ruang terbuka. Raga memanggil, "Zidan!" Bola sampai di kaki Zidan, ia mengangkat kepala. Kipernya maju setengah langkah. Zidan chip pelan—cukup untuk melompati sarung tangan. Gol.
Ayahnya berdiri, topi terangkat. Senyum yang jarang itu muncul, tipis. Skor imbang. Di babak kedua, Zidan memberi assist lewat umpan terobosan yang membelah dua bek. Timnya menang tipis 2–1.
Setelah peluit panjang, Zidan duduk di pinggir lapangan, meraba-raba lutut yang rasa nyerinya muncul lagi. Cedera lama seperti kawan yang tak diundang. Raga menepuk punggungnya. "Trial klub kota minggu depan jadi, kan?"
Zidan mengangguk. "Harus jadi."
"Kalau lolos, nama kamu bakal ada di papan skor stadion. Keren, kan?" Raga terkekeh. Zidan tertawa, meski di dadanya ada takut yang tak mau menyusut.
Malamnya, Zidan membuka ponsel bututnya. Ia membaca artikel latihan mental, nutrisi murah meriah, dan jadwal trial. Di salah satu grup bola, seseorang kirim link jadwal komunitas fans dan diskusi peluang—"lihat prediksi, belajar taktik, bukan buat nebak-nebak doang," tulis pengirimnya. Link itu: https://zidan4d.com/
. Zidan klik, sekilas, lalu menutup. "Prediksi boleh, tapi latihan tetap nomor satu," gumamnya.
Ia menyalakan alarm pukul 4 pagi. Besok, lari interval. Ia tahu mimpinya bukan mendadak. Ia harus datang setiap hari, mengetuk pintu yang sama, sampai pintu itu bosan dan membukakan jalan.
Di meja, ayahnya meletakkan sepatu yang sudah dilem ulang. "Bisa dipakai beberapa bulan lagi," kata ayah.
"Terima kasih, Yah."
"Main bola itu kayak hidup, Dan. Kadang lapangan licin. Jangan lawan licinnya—pahami pijakannya."
Zidan tersenyum. "Siap."
Di luar, hujan rintik turun, membasuh rumput yang sudah basah. Besok pagi, semua akan terasa baru lagi.
Bab 2 — Garis Kapur di Sepatu
Pagi buta, jalanan kota masih mengantuk. Zidan berlari melewati kios sayur yang baru buka, melewati sungai kecil yang bau kopi dari warung pojok. Ia lari interval: 400 meter cepat, 200 meter joging, diulang sampai napasnya habis-habisan. Di ujung putaran, ia menutup mata satu detik, membayangkan garis kapur putih di sepatu, tribun bergemuruh, suara komentator menyebut namanya.
Siangnya, Zidan kerja paruh waktu di toko alat olahraga. Gajinya tak besar, tapi ia bisa mencicil kaus kompresi dan tape lutut. Kadang, kalau ada anak kecil datang membeli bola, Zidan akan mencontohkan first touch di lorong sempit. "Bola itu teman, bukan batu," katanya sambil tersenyum.
Malam hari, ia menonton rekaman pertandingan klub kota: posisi gelandang bertahan naik turun seperti piston. Pelatihnya, Bang Ucok, pernah bilang, "Kamu box-to-box. Nafasmu kartu utama." Zidan mencatat: transisi, scanning sebelum menerima bola, pakai bahu untuk melindungi bola, bukan tangan.
Trial digelar di stadion latihan. Ratusan anak muda datang dengan ambisi yang sama. Langit biru, tapi di dada masing-masing ada badai. Pelatih klub, Coach Bram, berdiri dengan clipboard. "Kita lihat tiga hal: keputusan, eksekusi, sikap. Bakat itu bonus."
Giliran Zidan masuk ke gim internal 11 lawan 11. Bola pertama datang dari bek kanan. Zidan menjemput, satu sentuhan ke luar tekanan, lalu memutar tubuh mencari opsi. Winger kiri lari melebar—Zidan mengirim diagonal setengah melambung. Tepat di jalur lari. "Good," gumam Coach Bram.
Menit 12, lawan melakukan pressing tinggi. Zidan mendapat bola dengan punggung menghadap ke lapangan lawan. Ia scanning cepat—ada bayangan bek di kiri—Zidan biarkan bola lewat di antara kakinya (dummy), lalu berbalik ke kanan. Bek terperangkap. Sorakan kecil dari pinggir lapang terdengar.
Tapi tak semua mulus. Menit 21, ia terlambat menutup ruang. Lawan menembak dari depan kotak penalti, gol. "Track back lebih cepat!" teriak asisten pelatih.
Zidan menggertakkan gigi. Di kick-off berikutnya, ia membaca pergerakan lawan—intersep bersih, lalu through pass. Striker satu lawan satu. Gol balasan.
Latihan selesai, napas Zidan seperti mesin jahit tua. Coach Bram merapat. "Namamu siapa?"
"Zidan, Coach."
"Mainmu sederhana, tapi efektif. Kamu lihat ruang sebelum bola datang, itu bagus. Tapi kamu telat dua kali transisi negatif. Besok datang lagi. Kita tes VO2 dan agility."
Zidan mengangguk. "Terima kasih, Coach."
Di tribun, Raga melambai seperti kipas tangan. "Lolos, Dan?"
"Belum tahu. Tapi pintunya kebuka."
Malamnya, Zidan kembali membuka zidan4d.com. Ia membaca thread analisis pertandingan terakhir klub kota, formasi 4-3-3 yang sering berubah jadi 4-1-4-1 saat bertahan. Ia menyalin catatan kecil: "Timing naik turun gelandang #8 kunci menghubungkan lini." Lalu ponsel ia taruh. Latihan tetap nomor satu.
Sebelum tidur, ia memijat lututnya. Nyeri itu seperti jam weker—mengingatkan untuk tidak lengah. "Besok, 10 kali shuttle-run," bisiknya pada diri sendiri.
Bab 3 — Satu Detik, Satu Keputusan
Tes fisik dimulai pukul tujuh. Matahari belum tinggi, tapi keringat sudah turun dari kening Zidan. VO2max test membuat paru-paru seperti terbakar. "Tahan, tahan!" Asisten pelatih menghitung. Zidan mencatat angka yang cukup, bukan luar biasa. Namun pada drill agility—zig-zag cone—ia mengejutkan panitia: sentuhan ringan, pinggul fleksibel, dan kepala yang tak pernah menunduk lama.
Gim kecil 6 lawan 6 menyusul. Di format sempit, satu detik bisa memutuskan hasil. Zidan menerima bola dari kiper, lawan menutup dari dua arah. Ia tak punya waktu banyak. Ia memantulkan ke Raga yang jadi pivot, memutar, lalu sprint ke celah. Raga mengembalikan dengan back-heel. Zidan tak menunggu bola datang penuh—ia menyapu dengan punggung kaki, membelah ruang setipis kartu pos. Bola masuk di antara dua tiang kecil—gol kecil yang terasa besar.
Coach Bram bersiul pelan. "Decision-making—oke."
Permainan memanas. Ada tekel keras, ada protes, ada ego. Zidan hampir terpancing saat lawan menubruknya setelah peluit. Ia menelan kata-kata kasar yang sudah di ujung lidah. Pelatih menandai sesuatu di clipboard. Sikap: lulus.
Menjelang akhir sesi, hujan turun mendadak. Lapangan menjadi cermin raksasa. Bola meluncur lebih cepat dari biasa. Zidan teringat nasihat ayah: "Jangan lawan licin—pahami pijakan." Ia mengganti studs, menurunkan pusat gravitasi, dan memilih umpan-umpan mendatar yang tak memantul. Di menit terakhir, ia memotong umpan silang, lalu langsung mengirim counter ke sayap. Teman setim menyelesaikan. Tepuk tangan terdengar dari tribun sempit.
Selesai latihan, para pemain menunggu di lorong. Satu per satu dipanggil. "Terima kasih sudah datang," kata panitia pada sebagian besar. Ketika nama Zidan disebut, jantungnya memukul-mukul dada.
"Zidan," Coach Bram menatapnya, "kamu kami panggil ke squad latihan satu bulan. Kontrak sementara. Tunjukkan konsistensi. Kalau kamu bertahan, kita bicara profesional."
Dunia berhenti sesaat. Zidan mengangguk, menahan senyum agar tak pecah berlebihan. "Siap, Coach."
Di luar stadion, hujan sudah reda. Raga merangkulnya dari samping. "Satu bulan, Bro! Kita gas!"
Zidan menatap langit. Ia tahu ini bukan garis akhir. Ini baru garis kapur pertama yang menempel di sepatunya. Masih ada derbi, ada cemoohan, ada malam-malam tanpa tidur saat cedera mampir lagi. Tapi untuk hari ini, ia mengizinkan dirinya bahagia.
Malamnya, ia membuka ponsel. Ada pesan dari ayah: "Bangga. Pulang bawa roti, ibu lagi bikin teh."Zidan tersenyum. Ia menuliskan satu kalimat di buku catatannya: Satu detik, satu keputusan—pilih yang membuatmu bertahan lebih lama di lapangan dan di hidup.
— Bersambung ke Bab 4: Surat dari Pelatih —