Langit sore itu seperti lautan api. Awan-awan hitam menebal, tertiup angin kencang yang membawa bau besi, darah, dan tanah basah. Dari kejauhan, garis horizon dipenuhi asap tebal yang membumbung dari desa-desa yang terbakar. Rumah-rumah hanya tinggal rangka kayu, ladang berubah jadi bara, dan jeritan orang-orang masih terngiang samar di telinga mereka yang berhasil selamat.
Arka berdiri di atas bukit kecil, tubuhnya tegap meski bahunya masih terasa berat oleh beban zirah sederhana yang dikenakannya. Usianya baru delapan belas, namun sorot matanya sudah kehilangan cahaya polos remaja. Ia telah menyaksikan kematian terlalu sering—terlalu cepat. Tangannya yang menggenggam pedang terasa dingin, meski api unggun di belakangnya masih menyala.
"Arka," suara seorang pemuda memanggilnya. Itu Rendra, sahabat masa kecilnya yang kini sama-sama terjun ke medan perang. Rambutnya berantakan, wajahnya kotor, tapi senyum tipis masih terpasang seolah ingin menyembunyikan ketakutan. "Pasukan sudah siap. Mereka menunggu perintahmu."
Arka menoleh sekilas, menatap ke arah ratusan prajurit muda di kaki bukit. Sebagian sedang mengasah pedang, sebagian memeluk perisai, dan sebagian lain berdoa dalam diam. Mereka bukanlah tentara profesional, hanya petani, pandai besi, dan anak-anak desa yang dipaksa memegang senjata. Tapi malam ini, mereka harus menghadapi ribuan prajurit kerajaan musuh yang terkenal kejam dan tak memberi ampun.
Arka menghela napas panjang. "Baik. Malam ini kita bergerak. Jika kita menunggu fajar, mereka akan menghantam kita lebih dulu."
Rendra menelan ludah. Ia mencoba tersenyum lagi, tapi tatapannya tak bisa menyembunyikan kegelisahan. "Kau yakin kita bisa menahan mereka? Jumlah kita hanya seperempat dari pasukan musuh."
"Yakin atau tidak, kita tidak punya pilihan," jawab Arka lirih. "Jika benteng ini jatuh, desa-desa di belakang kita tidak akan tersisa. Kita harus berdiri di sini, Rendra… meski darah kita harus mengalir jadi benteng terakhir."
Sunyi sesaat menyelimuti keduanya. Hanya suara gemerisik daun dan kokok burung malam yang terdengar. Namun dari balik pepohonan di hutan yang membentang di sebelah timur, Arka merasakan sesuatu. Ia menajamkan pandangannya—gelap, terlalu gelap, bahkan untuk ukuran malam. Bayangan-bayangan di sana seolah bergerak dengan caranya sendiri, tidak mengikuti arah angin.
Arka mengerutkan dahi. "Rendra… kau lihat hutan itu?"
Sahabatnya menoleh sekilas lalu mengangkat bahu. "Hanya pepohonan. Kau terlalu tegang."
"Tidak," Arka menatap tajam, alisnya berkerut. "Hutan itu terlalu sunyi. Bahkan jangkrik pun tak bersuara. Ada sesuatu yang mengintai kita."
Rendra tertawa hambar, mencoba mengusir rasa takutnya. "Kau selalu punya firasat aneh. Tapi semoga kali ini kau salah."
Arka tidak menjawab. Ia kembali menatap langit yang memerah, seolah langit pun ikut menyaksikan tragedi yang akan segera pecah. Bayangan gelap di hutan tadi terus mengganggu pikirannya. Ia tidak tahu apa itu—hanya ilusi karena terlalu letih, atau pertanda sesuatu yang lebih besar. Tapi dalam dadanya, sebuah firasat kuat berbisik: perang ini bukan sekadar perang antar manusia. Ada kekuatan lain, sesuatu yang lebih tua dan lebih berbahaya, ikut hadir di medan ini.
Arka menggenggam pedangnya lebih erat. Dinginnya besi menyalurkan keberanian ke dalam nadinya. Malam ini, dia bukan hanya seorang pemuda desa. Malam ini, dia adalah komandan kecil yang harus berdiri tegak, bukan untuk dirinya, melainkan untuk semua orang yang percaya padanya.
"Baiklah," bisiknya pada dirinya sendiri. "Jika bayangan itu menunggu… maka aku juga akan menunggu. Dan ketika saatnya tiba, aku akan menghadangnya."
Angin bertiup semakin kencang, meniup api unggun hingga berkobar liar. Dalam nyala api yang berputar, Arka seolah melihat sekilas siluet hitam melintas di balik cahaya. Bayangan itu bergerak cepat, lalu lenyap dalam kegelapan malam.
Arka memejamkan mata sesaat, lalu membuka kembali dengan tekad yang membara. Perang sudah di depan mata, dan rahasia yang bersembunyi di balik medan api akan segera menyingkap dirinya—entah sebagai harapan, atau kehancuran.