Namaku Reigh Asteion. Aku lahir dari keluarga pemilik perusahaan dagang yang sedang berkembang pesat. Namun semuanya runtuh dalam semalam. Saat usiaku baru sepuluh tahun, kedua orang tuaku dibunuh oleh asisten mereka sendiri. Aku dibiarkan hidup… tapi tanpa harta, tanpa tempat tinggal, dan tanpa cara untuk bertahan.
Sejak itu, tujuh tahun kulalui di jalanan. Merasakan panas yang membakar, hujan yang menggigit tulang, dan lapar yang terus menghantui. Tanpa tahu mengapa aku masih bertahan hingga sekarang.
Lalu, sesuatu terjadi.
Tiba-tiba, ingatan asing menerobos masuk ke kepalaku.
“Arghh!” Aku meringis, memegangi kepala yang terasa seperti mau pecah. Nyeri itu menusuk hingga membuatku hampir berteriak. Saat rasa sakitnya mulai mereda, aku terengah-engah, membuka mata dengan bingung.
“Ingatan… dari... Bumi? Apa maksudnya ini?!” pikirku kebingungan. Namun sebelum sempat kucerna, sebuah suara muncul di dalam kepalaku.
“Ugh… di mana ini?” suara itu terdengar kebingungan.
Aku mengerutkan kening. Kenapa dia yang bingung? Bukankah aku yang seharusnya kebingungan sekarang?
Lalu suara itu berteriak panik, “HAAA! Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?! Di mana ini?!” Suara teriakan itu membuat kepalaku kembali sakit.
Aku ikut berteriak frustasi. “Diamlah!”
Orang-orang di sekitar menatapku heran, mungkin mengira aku sudah gila.
Suara itu kembali bergema di benakku. “Siapa kau?”
“Aku yang harus bertanya begitu padamu!” balasku ketus.
Hening sejenak. Sepertinya dia sedang mencoba memahami situasinya. Lalu suara itu berbicara dengan nada datar, “Oh… jadi begini. Aku sudah mati, dan sekarang berada di tubuhmu. Seperti… reinkarnasi di novel yang pernah kubaca.”
“Reinkarnasi?” ulangku bingung.
“Iya,” balasnya singkat.
Sekilas ingatan tentang konsep reinkarnasi, tentang jiwa yang berpindah ke tubuh baru, muncul begitu saja di kepalaku. Pasti dari dirinya.
“Tapi… kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuh ini?” gumamnya. “Kenapa malah kau yang bebas bergerak?”
Aku hanya memandang tanganku sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dia kemudian tertawa kecil. Entah bagaimana, aku bisa merasakannya meski tak melihat wajahnya.
“Hei, Nak,” ucapnya pelan. “Bagaimana kalau kita bekerja sama? Mencari kehidupan yang lebih baik?”
Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Kedua orang tuamu dibunuh asisten mereka sendiri, kan?” katanya tenang.
Kata-kata itu membuat darahku mendidih, tapi aku hanya bisa menunduk. “Benar.”
“Aku seorang ilmuwan di kehidupanku sebelumnya,” lanjutnya. “Aku bisa membantumu… membalas dendam.”
Ilmuwan? Seketika ingatan asing lain mengalir ke dalam benakku, tentang dirinya, seorang pria yang mati ketika mencoba menciptakan sesuatu bernama ‘Nuklir’. Aku menghela napas. “Apa maumu?”
“Tidak banyak,” jawabnya. “Aku hanya tak mau melihatmu hidup menderita seperti ini. Kita berdua bisa menikmati hidup yang lebih layak. Kau punya duniamu, aku punya pengetahuanku.”
Dia lalu tertawa kecil. “Oh, dan aku bisa melihat ingatanmu juga, lho.”
Aku terdiam. Jadi dia tahu segalanya tentangku… tapi aku tak bisa melihat pikirannya.
Dia tiba-tiba diam, mungkin memikirkan sesuatu, namun aku tidak bisa melihatnya. Seperti mimpi besar yang berbisik di kepalanya. Dunia ini… pedang dan sihir, ya? Kalau aku bisa membangun kembali peradaban di sini, bukankah itu menarik? Impian semua ilmuwan adalah menjadi pusat kemajuan dunia. Tentu saja… tanpa harus mengulangi kesalahan dengan menciptakan senjata pemusnah massal.
Meski aku tidak bisa mengetahui apa yang dia pikirkan, tetap saja aku bisa merasakan dia cengengesan didalam kepalaku. "Apa yang kau pikirkan? Pasti mikir yang aneh-aneh kan?" Ia menyeringai. Ntah mengapa ketika ia menunjukkan emosi, meski tidak bisa kulihat tetap saja aku bisa merasakan emosinya. Mungkin karena jiwa kami saling terhubung?
"Jangan dipikirkan." Katanya. Namun aku masih bingung. "Yang jelas, aku tidak akan membuatmu hidup menderita seperti ini." Ia berucap seperti itu? Aku bisa melihat ingatanmu ketika menjadi ilmuwan yang berambisi lho. "Bagaimana? Setuju?" Tambahnya.
Disaat aku masih fokus berfikir, tiba-tiba ada seorang wanita cantik yang sedikit berjongkok dihadapanku. Ia menatapku, wajahnya sangat cantik. Aku mendongak, hanya bisa menatapnya tanpa kata-kata ketika melihat betapa cantiknya dia. "Apa kamu lapar dan haus?" Ia bertanya padaku. Lalu menyodorkan sepotong roti dan secangkir air. Aku masih tidak bisa berkedip melihatnya. "Ini, silahkan ambil." Tambahnya. Belakangan ini, dia selalu memberiku sepotong roti dan secangkir air. Hal itu membuatku merasa malu sebagai lelaki karena selalu diberikan makanan olehnya.
Aku tersentak ketika pria didalam kepalaku tiba-tiba bersuara keras. "Hei! Kamu suka dia?" Nada suaranya ketika ia mengucapkan itu membuatku kesal. Aku tidak ingin membalas perkataannya, jika aku membalas perkataannya maka aku akan dianggap gila oleh wanita di hadapanku. Aku mengambil roti dan minuman yang dia sodorkan. "Te-Terimakasih banyak." Ucapku terbata-bata. Aku langsung menunduk kaku.
Wanita dihadapanku tersenyum, "Sama-sama. Silahkan dinikmati." Ucapnya, ia membalikkan tubuhnya membelakangi ku.
Gadis berambut perak itu berbalik, melangkah pergi. Usianya mungkin lebih muda 2 tahun dariku… sekitar lima belas tahun.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, lalu bergumam pelan, “Terima kasih banyak…” Tapi dia sudah tidak mendengar.
Aku mulai ingin memakan roti yang dia berikan, namun ilmuwan di kepalaku bersuara. "Jangan makan buru-buru. Perutmu sudah lama kosong, kan?" suaranya tenang. Aku hanya diam, tidak tahu apa yang dia bicarakan. "Kalau kau langsung melahapnya, perutmu bisa kaget. Mual… bahkan muntah. Makan perlahan. Biarkan tubuhmu menyesuaikan diri dulu." Ia menambahkan dengan nada pelan. Aku mengikuti perkataannya, mulai makan dengan perlahan.
Selagi aku makan dengan perlahan, "Hei, namamu siapa?" Aku bertanya seperti itu, "Kau bisa melihat ingatanku kan? Kenapa kau bertanya hal bodoh seperti itu?" Dia benar, meski aku bisa melihat ingatannya dan mengetahui namanya, "Tetap saja aku ingin kau yang memberitahuku secara langsung." Ucapku tegas, ia tidak bisa membantah.
Ia mulai memperkenalkan diri. "Salam kenal, namaku Guiver smith. Sebelum mati, aku berusia 29 tahun." Ucapnya pelan, aku tersenyum tipis selagi makan roti perlahan. "Salam kenal, namaku Reigh Asteion. Kini berusia 17 tahun." Aku membalas perkenalannya, ia tersenyum dan aku bisa merasakan kalau ia lagi tersenyum. "Ya. Bagaimana dengan penawaranku?" Ia mengulangi pertanyaan sebelumnya.
Roti di tanganku sudah habis, menunduk pelan, lalu menatap kedepan. "Kamu tidak punya niat buruk,kan?" Aku bertanya seperti itu, ia diam sejenak. "Kenapa kamu diam? Beneran punya niat buruk?"
Ia menyeringai lalu tertawa. "Hahaha! Niat buruk apanya? Aku kan tidak bisa menggerakkan tubuhmu!" Ia tertawa keras di dalam kepalaku, aku buru-buru menunduk. "Diamlah!" Balasku teriak sambil memegang kepala.
"Hei, jangan bersuara begitu! Nanti kamu disangka orang gila!" Dan benar saja. ketika aku melihat kedepan, orang-orang melihatku. "Kamu bisa bicara dalam hati saja, mungkin masih bisa berkomunikasi?" Ucapnya pelan. Sedikit ragu-ragu, aku mencobanya. "E-Ekhem! Halo, namaku Reigh." Ucapku dalam hati, suara ku tidak keluar sehingga tidak bisa didengar oleh orang sekitar. "Ba-Bagaimana?" Sambungku.
Ia tertawa lagi. "Hahaha! Kenapa kau kaku begitu?! Apa-apaan itu malah perkenalan lagi?" Suaranya menggema di kepalaku. Membuat kepalaku pusing, namun ntah mengapa secara perlahan aku sudah mulai beradaptasi. Awalnya ketika dia memasuki ku, kepalaku sangat sakit seakan mau pecah. Namun kini rasa sakit itu perlahan menghilang. "Aku setuju dengan tawaranmu. Tapi ada satu hal yang akan ku tuntut." Aku mengatakan itu, tapi ini memang penting.
"Apa itu?" Tanyanya, aku mulai melanjutkan.
Aku menatap lurus kedepan, tidak peduli dengan orang yang melintas dihadapanku. Saat punggung wanita itu perlahan menghilang, aku berjanji dalam hati. Suatu hari aku akan membalas kebaikan itu.
Sementara itu, di sisi sang gadis…
"Dari mana saja kamu?" Ia adalah kakak laki-lakiku, "Aku melihat seorang pria yang kelaparan, aku memberinya roti." Dia tiba-tiba marah. "Terus apa urusanmu? jangan membuang -buang uang!" Sejujurnya aku sudah tidak tahan dengannya. "Kan aku yang mencari uang!" Aku membalasnya dengan ketus, berjalan meninggalkannya.
Dia mengikuti langkahku. "Apa katamu?!" Aku memalingkan wajah ketika dia menatapku dengan wajah marah. "Memang benar,kan? Kau hanya menuntunku, tapi aku yang melakukannya!" Aku cepat-cepat melangkah.
Ia hanya menghela nafas panjang, perkataanku memang benar menurutnya. "Baiklah." Melangkah cepat, berjalan disampingku. "Klien selanjutnya di rumah besar itu." Ia menunjuk, aku pun paham dan mulai mengerjakan tugasku.
Kini di sisi Reigh.
Aku masih menatap kedepan. "Wanita tadi... Akhir-akhir ini selalu memberiku roti dan air." Aku hanya menatap lurus dan bersuara lantang didalam hatiku, Guiver tertawa pelan. "Lalu?" Tanyanya.
"Aku ingin membalas budi kepadanya, dan... Aku juga jatuh cinta padanya." Ah... Memalukan sekali ketika mengucapkan kata-kata itu. Apakah aku akan ditertawakan olehnya?.
Namun dia tidak menertawakan ku. "Gitu ya. Apakah kamu ingin bilang," Ucapnya pelan, lalu melanjutkan. "Kalau kamu akan menggunakan pengetahuanku untuk mencari uang yang banyak, lalu mendapatkan dia?" Dia memang pintar, bisa langsung tahu dengan tujuanku. Aku mengangguk. "Benar. Bisakah kamu membantuku?"
Dia tersenyum tipis, menyiringai. Namun aku bisa merasakan kalau senyuman dia kali ini bukan untuk mengejek atau hal yang licik. "Tentu saja aku akan membantumu. Karena kita adalah 'Rekan'." Suara pelannya ntah mengapa terdengar menenangkan dan meyakinkan. Aku tersenyum, membalas perkataannya. "Terimakasih banyak. Mohon bantuannya."
Tiba-tiba, ia berteriak keras didalam kepalaku. "Baiklah! Pertama kita harus pergi dari tempat ini!" Aku spontan memegang kepalaku. "Ja-jangan berteriak di kepalaku!" Aku membalasnya dengan berteriak kembali di dalam hati, namun dia tidak menghiraukannya. "Kita harus ke hutan terdekat terlebih dahulu untuk mencari makanan." Sambungnya. Itu membuatku semakin kesal, dia tidak menghiraukan sama sekali kata-kataku.
Aku menghela nafas panjang. "Kehutan? Tapi aku tidak tahu apa saja yang bisa di makan, berburu itu sulit. Aku tidak punya kemampuan." Ia meyakinkan ku. "Tenang saja. Aku sudah banyak membaca buku fiksi buatan orang-orang di duniaku. Serahkan saja padaku." Jawabnya yakin.
Tetap saja aku khawatir dengan itu, dengan berat hati aku berdiri. "Baiklah." Mulai melangkah ke hutan. Aku aku menuruti apa kata dia, demi tujuanku untuk membalas dendam kepada orang yang membunuh orang tuaku... Dan... Membalas budi kepada wanita itu.