Bab 1: Villa di Tengah Gerimis
Gerimis sore turun perlahan di hutan hijau yang sejuk. Pepohonan tinggi berderet rapi, kabut tipis menyelimuti jalan setapak yang licin. Di tengah hutan itu berdiri sebuah villa kayu modern dengan papan nama sederhana: Villa Duniabet.
Naya menurunkan kopernya, napasnya masih tersengal setelah perjalanan panjang. Ia menatap bangunan villa yang tampak tenang di tengah hutan, tempat ia akan menginap selama liburan singkat.
"Sepertinya sepi…" gumamnya. Itu yang ia harapkan—ketenangan.
Namun begitu ia masuk, suara langkah lain terdengar. Seorang pria dengan kemeja santai dan jaket tipis muncul dari ruang tengah.
"Oh, jadi kamu juga tamu di sini?" tanyanya sambil tersenyum ramah.
Naya sedikit terkejut. "Iya. Kamu?"
"Ardi," jawabnya ringan. "Sepertinya kita harus berbagi villa ini. Aku baru sampai kemarin."
Naya menghela napas. Jadi, rencana liburannya tidak sepenuhnya tenang. Ada orang asing yang harus berbagi ruang dengannya.
Sore itu, hujan semakin deras. Naya duduk di teras villa dengan secangkir teh, menatap pepohonan basah. Ardi muncul dengan payung transparan di tangannya.
"Biasanya aku nggak suka hujan," katanya sambil duduk di kursi sebelah. "Tapi di sini… entah kenapa rasanya hangat."
Naya meliriknya sekilas, lalu kembali menatap hutan. "Mungkin karena suasananya."
Ardi tersenyum tipis. "Atau mungkin karena ada teman duduknya."
Naya menahan senyum yang hampir muncul. Ia tak ingin terlihat terbuka, tapi dalam diamnya, ada sesuatu yang berbeda. Kehadiran Ardi—meski baru sekejap—membuat villa itu tak lagi terasa asing.
Dan di tengah gerimis sore itu, tanpa mereka sadari, sebuah rasa kecil mulai tumbuh. Pelan, sederhana, tanpa permisi.
Bab 2: Kehangatan di Antara Hujan
Hari-hari di villa Duniabet berjalan lebih cepat dari yang Naya kira. Setiap pagi, kabut tipis menyelimuti hutan, dan setiap sore hujan turun seolah menjadi irama tetap.
Awalnya, Naya hanya ingin menikmati ketenangan. Namun, keberadaan Ardi membuatnya tak lagi bisa sendirian sepenuhnya.
Suatu pagi, Naya duduk di teras dengan buku di tangannya. Ardi datang membawa dua cangkir kopi panas."Sepertinya buku itu terlalu serius buat dibaca pagi-pagi. Coba temani dengan kopi, mungkin jadi lebih hangat."
Naya meliriknya. "Kamu selalu suka ikut campur, ya?"
Ardi terkekeh. "Kalau itu membuatmu tersenyum, aku nggak keberatan."
Dan memang, tanpa sadar, bibir Naya melengkung tipis.
Siang harinya, mereka berjalan di jalan setapak menuju air terjun kecil di dalam hutan. Hujan rintik turun, membuat tanah sedikit becek. Naya hampir terpeleset, tapi tangan Ardi sigap menangkapnya.
"Hati-hati," katanya lembut.
Naya buru-buru menarik tangannya, pipinya memerah. "Aku bisa jalan sendiri."
"Tapi nggak ada salahnya kalau aku jagain," balas Ardi sambil tersenyum.
Malam itu, listrik villa sempat padam karena hujan deras. Dalam gelap, Ardi menyalakan lilin dan menaruhnya di meja. Mereka duduk berdua, mendengar suara hujan yang menetes di atap kayu.
"Dari semua tempat yang pernah kukunjungi," kata Ardi pelan, "aku nggak nyangka hutan bisa jadi tempat paling tenang. Apalagi kalau ada yang menemani."
Naya menunduk, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak menjawab, hanya menatap nyala lilin yang bergoyang. Namun hatinya tahu—ada sesuatu yang mulai berubah.
Bukan hanya tentang villa, bukan hanya tentang hutan, tapi tentang seseorang yang tanpa permisi sudah masuk ke dalam dunianya.
Bab 3: Bisik-Bisik di Tengah Hutan
Hari itu hujan reda lebih cepat, memberi kesempatan bagi Naya dan Ardi untuk berjalan ke pasar kecil di dekat kaki bukit. Pasar itu ramai dengan penduduk lokal yang menjual sayuran segar, buah, dan camilan khas desa.
Mereka berjalan beriringan di jalan setapak. Ardi membawa payung meski langit sudah cerah, sementara Naya sibuk menenteng keranjang belanja. Dari kejauhan, mereka tampak seperti pasangan muda yang sedang berlibur.
Beberapa ibu-ibu pedagang saling berbisik sambil tersenyum."Itu tamu dari villa Duniabet, ya?""Iya, sering keliatan bareng, tuh.""Cantik sama ganteng, cocok banget."
Naya yang mendengar potongan bisik-bisik itu langsung menunduk, wajahnya memerah. Ardi justru santai, bahkan sempat melambaikan tangan ke salah satu pedagang yang tersenyum nakal.
Dalam perjalanan pulang, Naya akhirnya buka suara."Kamu sadar nggak, orang-orang tadi ngomongin kita?"
Ardi menoleh, ekspresinya tenang. "Sadar. Kenapa?"
Naya menggigit bibir, suaranya pelan. "Aku… nggak biasa jadi pusat perhatian."
Ardi tersenyum lembut. "Kalau kamu nggak nyaman, aku bisa jalan dua langkah di belakangmu. Tapi jujur, aku nggak keberatan mereka salah paham… selama aku bisa tetap ada di sampingmu."
Naya menoleh sekilas, jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata Ardi terlalu sederhana untuk disebut gombal, tapi cukup tulus untuk membuat hatinya bergetar.
Malamnya, saat duduk di teras villa sambil mendengar suara hutan, Naya termenung.Kenapa aku jadi peduli dengan gosip orang lain? Kenapa aku takut terlihat terlalu dekat dengan Ardi?
Jawabannya muncul pelan di dadanya—karena ia tahu, rasa itu memang sudah tumbuh. Bukan hanya terlihat oleh orang luar, tapi juga mulai jelas terasa di hatinya sendiri.
Bab 4: Menjaga Jarak
Sejak gosip di pasar kecil itu, Naya mulai merasa gelisah. Kata-kata orang asing tak seharusnya berarti, tapi entah kenapa hatinya jadi ragu.
Hari-hari berikutnya, ia sengaja menghindar. Jika biasanya mereka duduk bersama di teras villa, kini Naya lebih sering mengurung diri di kamar. Saat Ardi mengajak jalan ke air terjun, ia menolak dengan alasan lelah.
Ardi tentu menyadarinya. Suatu sore, ia mengetuk pintu kamar Naya, membawa secangkir teh hangat."Kamu kenapa? Kalau aku salah, bilang aja. Jangan malah menghilang begini."
Naya menerima teh itu tanpa berani menatap. "Aku cuma… nggak mau salah langkah, Ardi. Kita cuma bertemu karena kebetulan, tinggal di villa yang sama. Aku takut semua ini cuma sementara."
Ardi menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Naya, kalau aku memilih untuk tetap tinggal… apa itu masih kamu anggap kebetulan?"
Hening. Naya tidak bisa menjawab. Hatanya tahu—ia mulai terjebak dalam rasa yang tidak bisa lagi ia abaikan.
Bab 5: Rasa yang Tak Bisa Disembunyikan
Hari terakhir liburan tiba. Gerimis turun, membasahi pepohonan hutan. Naya berdiri di teras villa Duniabet, koper kecilnya sudah siap.
Ardi datang menghampiri, membawa payung transparan yang dulu selalu ia pakai. "Kamu sudah siap pulang?"
Naya mengangguk, menahan rasa yang berkecamuk di dadanya. "Iya. Waktunya kembali ke dunia nyata."
Ardi menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Kalau gitu, izinkan aku jujur sebelum kamu pergi. Naya… aku nggak peduli kalau orang bilang ini kebetulan. Bagiku, pertemuan kita adalah pilihan—pilihan hatiku yang nggak bisa kuabaikan lagi. Aku suka kamu."
Naya tercekat. Gerimis membasahi rambutnya, tapi matanya hangat oleh air mata yang tertahan. "Ardi…"
Ia ingin berkata tidak, ingin tetap menjaga jarak. Tapi bibirnya justru melengkung dalam senyum tipis."Rasa ini datang tanpa permisi… dan aku juga nggak bisa mengusirnya lagi."
Ardi tertawa lega, lalu mengulurkan payung. Mereka berjalan bersama menembus gerimis hutan, langkah mereka seirama.
Dan di bawah langit abu-abu, villa Duniabet menjadi saksi bahwa cinta kadang tidak perlu janji, tidak perlu rencana—cukup hadir, tumbuh pelan-pelan, hingga akhirnya tak bisa lagi disembunyikan.
✨ Tamat ✨
Penutup cerita:
Naya sempat menjaga jarak, tapi akhirnya menyerah pada rasa yang sudah tumbuh.
Ardi jujur mengungkapkan perasaan, dengan sederhana namun tulus.
Ending manis: mereka berjalan bersama di bawah gerimis, simbol cinta yang lahir tanpa permisi.