Ficool

Chapter 1 - Rindu yang Tak Sempat Terucap

Bab 1: Sudut Duniabet Coffee

Hujan sore menetes perlahan di luar kaca besar Duniabet Coffee. Lampu gantung kuning temaram membuat suasana café itu terasa hangat meski udara di luar begitu dingin. Aroma kopi bercampur dengan suara denting sendok dari meja-meja lain.

Di sudut ruangan, Aluna duduk sendirian. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, matanya kosong menatap ke luar jendela. Di tangannya ada secangkir cappuccino yang uapnya sudah mulai menghilang.

Tempat itu sudah seperti rumah kedua baginya. Setiap minggu, ia kembali ke sudut yang sama, seolah berharap waktu bisa berputar mundur.

Sudut itu bukan sekadar tempat biasa. Itu adalah meja yang dulu sering ia duduki bersama Arka.

Aluna tersenyum pahit, mengingat bagaimana Arka dulu selalu bercanda tentang cappuccino miliknya. "Kamu selalu pesan yang sama. Bosan nggak sih?" Begitu suaranya dulu.

Kini, yang tersisa hanyalah gema kenangan—dan rindu yang tak pernah ia ucapkan.

Pelayan datang menghampiri. "Mbak Aluna, mau pesan sesuatu lagi?"

Aluna menggeleng. "Tidak, terima kasih. Seperti biasa saja."

Pelayan itu tersenyum mengerti. Semua orang di café tahu kebiasaan Aluna. Tapi tidak ada yang tahu alasan sebenarnya.

Pintu café berderit pelan. Seorang pria masuk, membasuh rambutnya yang basah oleh hujan. Aluna tidak berniat menoleh, tapi suara langkah itu terasa begitu familiar.

Hatinya bergetar. Tidak mungkin…

Namun saat ia akhirnya menoleh, jantungnya berhenti berdetak.

Arka.

Dengan kemeja basah yang menempel di tubuhnya, dengan wajah yang nyaris tidak berubah. Ia berdiri di dekat pintu, matanya menyapu café, hingga akhirnya berhenti tepat di sudut tempat Aluna duduk.

Waktu seakan membeku.

Dan tanpa sadar, setetes air mata jatuh di pipi Aluna. Rindu yang selama ini ia pendam, kini kembali hadir—tanpa sempat ia ucapkan.

Bab 2: Percakapan yang Membuka Luka

Arka melangkah pelan, matanya tak lepas dari sosok Aluna yang masih duduk di sudut café. Senyum kecil muncul di wajahnya, ragu tapi hangat.

"Aluna…" suaranya terdengar pelan, nyaris tenggelam oleh musik akustik yang mengalun dari pengeras suara.

Aluna mengangkat wajah, cepat-cepat menyeka air mata di pipinya. "Arka…"

Ada jeda panjang di antara mereka, seolah bertahun-tahun perpisahan hanya berakhir pada satu kata itu.

Akhirnya, Arka menarik kursi dan duduk di depannya. Pelayan datang tanpa diminta, meletakkan secangkir kopi hitam di hadapannya. Rupanya, pesanan lamanya masih sama.

"Seperti biasa?" tanya Aluna dengan suara bergetar.

Arka tersenyum tipis. "Seperti biasa. Rasanya aneh ya, setelah sekian lama, café ini nggak berubah sama sekali."

Aluna menatap cangkirnya sendiri, tidak berani menatap mata Arka. "Café ini memang nggak berubah. Yang berubah… orang-orang di dalamnya."

Keheningan kembali jatuh. Arka menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku minta maaf, Aluna. Atas kepergianku waktu itu… atas semua kata yang nggak sempat kujelaskan."

Hati Aluna bergetar, tapi juga panas. "Kamu pergi tanpa pamit, Arka. Tiba-tiba hilang, seakan semua janji yang kita buat hanya lelucon."

"Bukan begitu," Arka buru-buru menimpali. "Aku harus pindah ke luar kota karena pekerjaan Ayah. Aku… aku nggak tahu bagaimana cara pamit padamu. Aku takut kalau aku bilang, kamu akan menahanku. Dan aku nggak punya pilihan waktu itu."

Air mata Aluna jatuh, bukan karena lemah, tapi karena semua perasaan yang ia pendam terlalu lama akhirnya pecah. "Kamu pikir lebih mudah bagiku? Menunggu tanpa kepastian? Duduk di sini setiap minggu, berharap kamu datang, sementara aku tahu kamu nggak akan pernah kembali?"

Arka menunduk, jemarinya gemetar memegang cangkir kopi. "Aku salah. Aku seharusnya berani jujur. Tapi satu hal yang nggak pernah berubah, Aluna… aku masih merindukanmu."

Aluna terdiam, jantungnya berdetak tak karuan. Kata itu—rindu—adalah yang selama ini ia simpan rapat-rapat, takut mengakuinya.

Dan kini, ia mendengar Arka mengucapkannya dengan mata yang berkaca-kaca.

Di sudut café yang sama, luka lama terbuka lagi. Tapi bersama luka itu, ada sesuatu yang lain yang tak bisa mereka abaikan: rindu yang belum pernah sempat terucap.

Bab 3: Antara Luka dan Rindu

Aluna menggenggam cangkirnya erat-erat. Uap kopi sudah hilang, tapi hatinya justru semakin panas oleh benturan emosi yang tak terkendali.

"Kamu nggak tahu, Ark… betapa sakitnya ditinggal tanpa kata. Aku mencoba benci, mencoba lupa… tapi entah kenapa, kenangan ini tetap menolak pergi," ucapnya pelan, suaranya bergetar.

Arka menatapnya dalam, matanya dipenuhi penyesalan. "Aku tahu aku sudah salah. Tapi semua waktu yang kita lewatkan… aku juga merindukannya. Aku merindukanmu."

Aluna menutup mata, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya berteriak ingin menerima, tapi logikanya menolak keras.Bagaimana kalau dia pergi lagi? Bagaimana kalau luka itu kembali lebih dalam?

Café mulai ramai oleh pengunjung baru, tapi dunia Aluna dan Arka seakan hanya berputar di meja kecil itu.

"Kalau aku maafin kamu," bisik Aluna lirih, "apa jaminannya aku nggak akan disakiti lagi?"

Arka terdiam lama. Ia tidak menjawab dengan janji manis, melainkan dengan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Nggak ada jaminan, Aluna. Aku cuma bisa tunjukkan dengan caraku—tetap di sini, kali ini nggak pergi. Aku akan buktikan, kalau rindu ini bukan hanya kata-kata."

Aluna menatap matanya. Ada kejujuran di sana, tapi juga ada bayangan masa lalu yang membuatnya ragu.

Ketika hujan di luar mereda, cahaya senja masuk lewat kaca jendela. Aluna menarik napas panjang, menatap keluar.

Antara luka dan rindu, aku masih terjebak. Hatiku belum siap melepaskan, tapi juga takut untuk kembali merasakan.

Arka hanya menunggu, tidak mendesak. Dan dalam diam itu, Aluna sadar—perasaan yang ia simpan selama ini memang belum pernah benar-benar hilang.

Bab 4: Bukti yang Diam

Sejak pertemuan itu, Arka mulai sering hadir di Duniabet Coffee. Tidak selalu untuk berbicara, tapi cukup duduk di meja lain, membaca buku, atau hanya memesan kopi hitam favoritnya.

Aluna memperhatikannya diam-diam. Awalnya ia kesal. Untuk apa dia di sini? Tapi semakin lama, ia sadar: kehadiran Arka bukan sekadar basa-basi. Ia benar-benar berusaha membuktikan sesuatu.

Suatu sore, Aluna datang terlambat. Meja favoritnya sudah penuh. Saat ia ragu hendak pulang, suara Arka terdengar."Duduk di sini aja."

Arka sudah memesan dua cangkir cappuccino, sama seperti pesanan Aluna. "Kupikir kamu bakal datang."

Aluna terdiam. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya—bukan karena kopi, tapi karena seseorang yang kini memilih tetap menunggu.

Hari-hari berikutnya, Arka tidak banyak bicara. Ia tidak lagi mengumbar janji, tapi setiap kali Aluna datang, ia selalu ada. Membawa payung saat hujan, menyodorkan buku catatan saat Aluna lupa, atau sekadar menyalakan lilin kecil ketika listrik café sempat padam.

Semua hal kecil itu perlahan meruntuhkan tembok yang selama ini Aluna bangun. Ia diuji: apakah ia cukup berani memberi kesempatan lagi, atau tetap terikat pada luka lama?

Bab 5: Rindu yang Akhirnya Bicara

Sore itu, café sepi. Hanya ada Aluna dan Arka di meja dekat jendela. Matahari senja memantul di kaca, menciptakan cahaya keemasan yang lembut.

Aluna menatap cappuccino-nya, lalu mendongak. "Arka… aku takut. Kalau aku kasih kamu kesempatan lagi, bagaimana kalau kamu pergi lagi?"

Arka menatapnya serius, kedua tangannya meraih cangkir kopi. "Aku nggak bisa janji dunia akan selalu mudah. Tapi aku bisa janji satu hal—kali ini aku nggak akan lari. Kalau ada masalah, aku akan hadapi bersama kamu."

Hening. Aluna menatap matanya, mencari kebohongan, tapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.

Perlahan, ia tersenyum kecil, lalu berkata lirih, "Selama ini aku menyimpan rindu yang nggak pernah sempat terucap. Dan sekarang… aku nggak mau lagi menyimpannya sendirian."

Arka menahan napas, lalu senyum lega menghiasi wajahnya. Ia mengangguk pelan. "Terima kasih, Aluna. Untuk kesempatan kedua ini."

Di luar, senja perlahan tenggelam, meninggalkan jejak jingga di langit.Dan di sudut Duniabet Coffee, rindu yang lama terpendam akhirnya menemukan suara.

✨ Tamat ✨

Penutup cerita:

Arka membuktikan lewat tindakan nyata bahwa ia benar-benar tinggal.

Aluna akhirnya memberi kesempatan kedua, dengan keberanian untuk tidak lagi menyimpan rindunya sendirian.

Duniabet Coffee menjadi simbol kenangan yang dulu menyakitkan, kini berubah jadi awal baru.

More Chapters