Bab 1: Taman dan Warung KOTAGG
Suara bel istirahat menggema, membuat halaman sekolah penuh dengan riuh tawa. Sebagian siswa berlarian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan, dan sebagian memilih ke warung kecil di samping taman sekolah yang sudah jadi tempat favorit: warung KOTAGG.
Naya, siswi kelas dua yang dikenal pendiam, memilih duduk di bangku kayu dekat taman, membawa buku catatannya. Ia memang bukan tipe yang suka ramai-ramai, lebih nyaman mengamati dari jauh.
Warung KOTAGG hari itu ramai. Anak-anak antre beli gorengan, es teh, atau mie instan. Naya hanya memesan segelas es teh, lalu kembali ke bangkunya di taman.
Saat itulah, seseorang tiba-tiba duduk di bangku sebelahnya.
Ardi, siswa populer di sekolah, dengan senyum santainya menyapa."Hai, ini bangku favoritmu ya? Aku sering lihat kamu di sini."
Naya kaget, menoleh dengan gugup. "Eh… iya. Aku suka duduk di sini karena sepi."
Ardi tertawa kecil, membuka botol minumannya. "Sepi? Justru aku pilih duduk di sini karena bisa lihat semua orang dari jauh. Rasanya seru, kayak nonton film."
Naya hanya tersenyum tipis, tak tahu harus menjawab apa.
Beberapa menit kemudian, Ardi menyodorkan gorengannya."Mau? Katanya gorengan di warung KOTAGG nggak ada tandingannya."
Naya ragu sejenak, lalu mengambil satu. "Makasih…"
Ardi menatapnya sebentar, senyumnya mengembang. "Ternyata kamu nggak seserius yang orang-orang bilang."
Naya menunduk, wajahnya memanas.
Saat bel masuk berbunyi lagi, Ardi berdiri."Sampai ketemu lagi di sini, ya."
Naya menatap punggungnya yang menjauh, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Malamnya, di buku hariannya, ia menulis:"Warung KOTAGG selalu jadi tempat biasa bagiku. Tapi hari ini, entah kenapa, semuanya terasa berbeda. Mungkin karena ada seseorang yang duduk di bangku sebelahku."
Bab 2: Kebiasaan yang Jadi Penantian
Hari-hari berikutnya, Naya mendapati sesuatu yang aneh. Setiap kali ia duduk di bangku taman dengan segelas es teh dari warung KOTAGG, Ardi selalu muncul. Kadang dengan gorengan, kadang dengan mie instan, kadang hanya dengan botol air mineral.
Awalnya, Naya mengira itu kebetulan. Tapi setelah seminggu, ia mulai sadar—Ardi memang sengaja datang.
"Kayaknya kamu suka banget ya sama es teh?" Ardi membuka percakapan suatu siang.
Naya mengangguk pelan. "Iya, rasanya sederhana tapi selalu bikin tenang."
Ardi tersenyum, menyodorkan gorengan panas. "Kalau gitu, es teh sama gorengan adalah kombinasi paling aman di dunia."
Naya terkekeh kecil. "Kamu suka lebay."
"Tapi kamu ketawa," balas Ardi cepat, membuat Naya buru-buru menunduk malu.
Semakin lama, obrolan mereka makin meluas. Dari sekadar makanan, bergeser ke cerita tugas sekolah, hobi, bahkan impian masa depan.
"Aku pengen kuliah di luar kota nanti, biar bisa lihat dunia yang lebih luas," kata Ardi suatu sore.
Naya menatapnya sebentar, lalu berbisik, "Aku… pengen jadi penulis. Tapi mungkin cuma mimpi."
Ardi menoleh, matanya serius. "Kenapa cuma mimpi? Kalau kamu suka nulis, kenapa nggak berani wujudin? Aku yakin kamu bisa."
Naya tercekat, hatinya bergetar mendengar dukungan itu. Selama ini tidak ada yang pernah benar-benar peduli dengan mimpinya.
Sejak hari itu, warung KOTAGG bukan lagi sekadar tempat jajan. Bagi Naya, itu menjadi tempat yang selalu ia tunggu, karena di sana ada seseorang yang perlahan membuatnya merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Malamnya, ia menulis lagi di buku hariannya:"Entah sejak kapan, aku jadi menunggu jam istirahat. Mungkin bukan karena es teh, bukan pula karena gorengan. Tapi karena seseorang yang selalu muncul tanpa diminta—Ardi."
Bab 3: Bisik-Bisik yang Mengganggu
Hari itu, Naya baru saja keluar dari warung KOTAGG bersama Ardi. Mereka tertawa kecil karena gorengan yang mereka beli terlalu panas, sampai-sampai Ardi meniup-niup lidahnya sendiri.
Namun begitu masuk ke koridor kelas, tawa mereka langsung hilang. Suasana terasa berbeda—mata teman-teman banyak yang menatap, beberapa sambil berbisik-bisik.
"Eh, itu mereka lagi bareng lagi.""Fix deh, Naya sama Ardi ada apa-apa.""Nggak nyangka sih, Ardi yang populer itu sama cewek pendiam kayak Naya."
Naya merasakan pipinya memanas. Ia menunduk cepat, melangkah lebih dulu masuk ke kelas. Ardi hanya tersenyum tipis, seakan tidak peduli.
Di kelas, Nadia—teman sebangkunya—menyenggol pelan."Nay, beneran kamu deket sama Ardi? Semua orang ngomongin, lho."
Naya gelagapan. "Ngg… nggak, aku sama Ardi cuma… ya, ngobrol biasa aja."
Nadia tersenyum penuh arti. "Obrolan biasa kok bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri?"
Naya terdiam, tidak bisa menyangkal.
Sementara itu, di kelas lain, teman-teman Ardi juga mulai ribut."Bro, lo serius sama Naya? Bukan taruhan, kan?"Ardi menoleh dengan tatapan datar. "Kenapa harus taruhan? Kalau gue deket sama dia, ya karena gue mau."
Jawaban itu membuat teman-temannya terdiam. Ardi tidak pernah bicara serius soal siapa pun sebelumnya.
Siang itu, Naya memilih duduk lebih jauh di bangku taman, berharap Ardi tidak datang. Tapi seperti biasa, langkah santai itu kembali muncul.
"Kenapa duduknya di sini?" tanya Ardi sambil ikut duduk.
Naya menggigit bibir. "Ardi, orang-orang udah banyak ngomongin kita…"
Ardi menoleh, matanya tenang. "Biarin aja. Mereka nggak tahu apa-apa. Yang penting, kamu nyaman sama aku, kan?"
Naya menatapnya, lalu menunduk pelan. "Iya… nyaman."
Ardi tersenyum lebar. "Kalau gitu, itu sudah cukup."
Malamnya, Naya kembali menulis di buku hariannya:"Hari ini gosip mulai ramai. Aku takut… tapi saat Ardi bilang kalau aku nyaman bersamanya, itu cukup, aku merasa tenang. Mungkin, rasa ini sudah tumbuh terlalu jauh untuk bisa dihentikan."
Bab 4: Menjaga Jarak
Gosip tentang kedekatan Naya dan Ardi semakin menjadi-jadi. Setiap kali mereka terlihat keluar dari warung KOTAGG bersama, pasti ada saja yang bersuara.
"Wih, couple baru sekolah.""Eh, jangan-jangan Naya cuma numpang populer?""Ardi tuh biasanya sama anak hits, kok bisa sama dia?"
Naya mendengarnya, meski pura-pura menutup telinga. Hatinya makin sesak.
Hari berikutnya, ia sengaja tidak ke warung KOTAGG saat istirahat. Ia membawa bekal sendiri dan makan di kelas. Saat teman-teman lain ribut, ia hanya menunduk, berusaha terlihat sibuk dengan bukunya.
Namun, langkah yang ia kenal baik akhirnya muncul. Ardi berdiri di depan mejanya, menatap langsung ke arahnya.
"Naya, kenapa nggak ke warung?" tanyanya.
Naya gugup, suara kecil keluar. "Aku… lagi nggak pengen."
Ardi menyipitkan mata, seolah tahu alasannya. "Kamu menghindar karena gosip, ya?"
Naya terdiam. Hanya genggaman erat pada bukunya yang jadi jawabannya.
Ardi menarik kursi dan duduk di sebelahnya, membuat semua teman sekelas langsung menoleh. "Kalau gitu, mulai sekarang aku yang temenin kamu di sini. Biar mereka lihat sendiri, aku nggak peduli sama gosip."
Wajah Naya memanas, jantungnya berdetak kencang. "Ardi… jangan gini…"
Ardi tersenyum, nadanya serius tapi hangat. "Naya, aku bilang dari awal, yang penting itu kamu. Selama kamu nyaman, aku akan tetap ada. Gosip? Itu cuma suara kosong."
Hari itu, meski teman-teman makin heboh, Naya merasa berbeda. Ada rasa tenang yang sulit dijelaskan—seakan jarak yang coba ia buat langsung runtuh oleh keberanian Ardi.
Malamnya, ia menulis lagi di buku hariannya:"Aku mencoba menjauh, tapi dia tidak membiarkanku. Mungkin, rasa yang tumbuh ini memang tak bisa dihentikan—karena ada seseorang yang memilih tetap tinggal meski semua orang meributkannya."
Bab 5: Pengakuan di Warung KOTAGG
Hari itu, langit sore agak mendung. Angin berembus lembut melewati halaman sekolah. Warung KOTAGG tidak seramai biasanya; hanya beberapa siswa yang mampir sebentar lalu pergi.
Naya duduk di bangku kayu, menatap es tehnya yang mulai berembun. Ia hampir tidak sadar ketika seseorang menjatuhkan kantong gorengan di atas mejanya.
"Panas-panas begini, tetap cocok ditemani gorengan," suara itu terdengar familiar.
Naya mendongak. Ardi sudah duduk di depannya, wajahnya santai seperti biasa.
"Kamu tahu," katanya sambil membuka satu gorengan, "aku sering ditanya kenapa betah nongkrong sama kamu. Kenapa bukan sama anak-anak lain yang lebih rame, lebih populer."
Naya terdiam, menunduk. "Dan… kamu jawab apa?"
Ardi menatapnya, kali ini dengan serius. "Aku jawab, karena di sini aku ngerasa nyaman. Sama kamu, semuanya terasa sederhana tapi pas. Dan aku nggak butuh alasan lain untuk tetap datang."
Jantung Naya berdegup keras. Tangannya gemetar memegang gelas. "Ardi… maksudmu apa?"
Ardi tersenyum kecil, matanya menatap lurus. "Maksudku… aku suka kamu, Naya. Dari semua gosip, semua canda, yang aku tahu cuma satu—rasa ini tumbuh, tanpa permisi. Dan aku nggak ingin menghapusnya."
Naya terdiam lama. Hatinya seperti dihantam ombak besar—antara takut, malu, tapi juga bahagia. Ia menggenggam erat gelas es tehnya, lalu pelan-pelan mengangkat wajah.
"Aku juga… merasakannya," ucapnya nyaris berbisik.
Ardi tersenyum lebar, seperti baru saja memenangkan sesuatu yang paling berharga. Ia menggeser kantong gorengan ke arah Naya."Kalau gitu, mulai hari ini… biarin warung KOTAGG jadi saksi kita, ya?"
Naya tertawa kecil, wajahnya memerah. "Dasar kamu."
Sore itu, suara hujan ringan mulai turun, mengetuk atap seng warung. Mereka duduk berdua, berbagi gorengan dan es teh, dengan hati yang kini lebih ringan.
Dan di buku hariannya malam itu, Naya menulis:"Aku pikir rasa ini akan selalu jadi rahasia. Tapi ternyata, tanpa permisi, ia sudah tumbuh dan menemukan jalannya sendiri. Di warung KOTAGG, di bangku sederhana, bersama seseorang yang selalu hadir tanpa diminta—Ardi."
✨ Tamat ✨
Ceritanya ditutup dengan:
Ardi berani mengungkapkan perasaan dengan cara sederhana.
Naya akhirnya berani menerima bahwa rasa itu nyata.
Warung KOTAGG menjadi simbol saksi cinta remaja mereka.