Bab 1: Peron yang Sama
Stasiun KOTAGG sore itu ramai. Suara pengumuman kereta bercampur dengan langkah terburu-buru para penumpang. Di tengah keramaian, Alya berdiri di peron, memeluk koper kecilnya.
Matanya menatap lurus ke rel, meski pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Senja berwarna jingga keemasan jatuh di kaca stasiun, persis seperti hari itu—hari ketika ia mendengar janji yang masih ia simpan hingga sekarang.
"Kita akan bertemu lagi di kota ini, saat senja."
Ucapan Reno terngiang begitu jelas di telinganya, meski bertahun-tahun sudah berlalu.
Kereta tiba, penumpang turun dan naik silih berganti. Alya berdiri lebih erat menggenggam kopernya, berharap, meski ragu.
Dan saat keramaian mulai mereda, matanya membeku.
Siluet seorang pria berjalan pelan ke arahnya, membawa tas ransel hitam. Rambutnya sedikit lebih panjang, tubuhnya tampak lebih dewasa, tapi senyum itu… senyum yang dulu ia kenal.
"Reno…" bisik Alya tanpa sadar.
Pria itu berhenti, matanya bertemu dengan Alya. Ada jeda panjang, sebelum akhirnya ia berkata pelan, "Kamu masih di sini. Di peron yang sama."
Alya menunduk, suaranya bergetar. "Aku menepati janji."
Reno tersenyum tipis, namun ada kerikil di matanya—campuran bahagia dan luka. "Aku juga kembali. Tapi aku tidak tahu apakah kita masih bisa melanjutkan janji itu."
Senja memeluk mereka, hangat sekaligus menyakitkan.
Dan Alya tahu: pertemuan ini bukan kebetulan. Tapi apakah ia siap menghadapi kenyataan yang mungkin jauh berbeda dari yang ia harapkan?
Bab 2: Percakapan yang Tertunda
Café kecil di dekat stasiun KOTAGG sore itu penuh aroma kopi dan suara sendok beradu dengan cangkir. Dari jendela, senja masih menggantung, seakan sengaja menunda gelap.
Alya duduk berhadapan dengan Reno. Tangannya sibuk memutar-mutar sendok di atas cappuccino yang mulai dingin, sementara matanya tak berani menatap penuh ke arah pria di depannya.
"Jadi… kamu benar-benar kembali," kata Alya, akhirnya memecah hening.
Reno mengangguk. "Iya. Aku kembali, tapi bukan dengan keadaan yang sama seperti dulu."
Alya menarik napas dalam. "Dulu kamu pergi tanpa kabar, Reno. Hanya meninggalkan satu janji… janji senja. Dan aku bodoh karena terus menunggunya."
Reno menatapnya, kali ini dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku tidak ingin pergi waktu itu, Alya. Tapi keadaan memaksaku. Ayahku sakit parah, aku harus ikut keluarga pindah keluar negeri. Aku pikir, kalau aku bilang semuanya, kamu tidak akan membiarkanku pergi dengan tenang."
Alya tercekat. Semua tahun penantian, semua rasa sakit, kini terasa berbeda setelah mendengar alasannya.
"Tapi kenapa tidak pernah ada kabar? Satu pesan saja… satu kata… aku akan tetap menunggu dengan cara yang berbeda," ucap Alya, suaranya bergetar.
Reno menunduk, jemarinya mengepal di atas meja. "Aku pengecut. Aku takut kalau aku menghubungimu, aku akan semakin sulit merelakan. Jadi aku memilih diam. Dan itu salah."
Suasana café mendadak terasa berat. Hanya suara musik jazz pelan yang menemani. Alya menatap Reno dengan mata berkaca-kaca.
"Lalu, sekarang? Apa yang kamu cari dengan kembali ke kota ini?"
Reno menatap langsung ke matanya. "Aku kembali… untuk menepati janji. Tapi aku tidak tahu apakah masih ada ruang untukku di hidupmu."
Bab 3: Antara Hati dan Logika
Malam itu, setelah pertemuan di café, Alya berjalan pulang dengan langkah berat. Pikiran dan hatinya berperang.
Reno sudah kembali… dan aku masih merasakan sesuatu. Tapi bukankah logikanya aku harus marah? Bukankah aku seharusnya menutup pintu sejak lama?
Di kamarnya, ia menatap cermin. Wajahnya tampak letih, tapi matanya berbinar aneh—antara rindu yang lama terpendam dan ketakutan akan luka yang sama.
Keesokan harinya, di kantornya, Alya berusaha fokus. Tapi bayangan Reno terus muncul. Senyum tipisnya, suaranya yang masih sama, bahkan tatapan matanya—semuanya mengganggu konsentrasi.
"Alya."
Suara seseorang membuyarkan lamunannya. Itu Dimas, rekan kerja yang sudah lama akrab dengannya. Dimas dikenal perhatian, sering membantu Alya mengerjakan laporan, bahkan beberapa kali mengajaknya makan siang.
"Kamu kenapa? Kelihatan murung," tanya Dimas, duduk di kursi seberang.
Alya buru-buru tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Cuma kurang tidur."
Dimas menatapnya lama, seakan ingin membaca lebih dalam. "Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita. Kamu tahu aku selalu ada, kan?"
Ucapan itu membuat dada Alya sesak. Selama Reno tidak ada, Dimas memang selalu hadir. Diam-diam, ia menjadi alasan Alya bisa tetap kuat.
Kini, dengan kembalinya Reno, Alya merasa terjebak di persimpangan. Hatinya masih bergetar untuk cinta lama, tapi logikanya tahu ada seseorang di masa kini yang nyata-nyata peduli padanya.
Malamnya, ponsel Alya bergetar. Pesan dari Reno:"Alya, bolehkah kita bertemu lagi besok di stasiun? Ada sesuatu yang belum sempat kubicarakan."
Hatinya bergetar membaca pesan itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, sebuah notifikasi lain muncul—pesan dari Dimas:"Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Aku nggak minta kamu cerita sekarang, tapi izinkan aku tetap di sampingmu. Selalu."
Alya terdiam. Dua pesan, dua arah, dua pilihan.
Senja mungkin pernah menyatukan cintanya dengan Reno. Tapi kini, logika dan kenyataan menghadirkan pilihan baru: tetap pada janji lama, atau menerima hati yang baru.
Bab 4: Rahasia yang Terungkap
Senja kembali turun di stasiun KOTAGG. Alya berdiri di peron yang sama, jantungnya berdebar menunggu Reno. Angin sore berembus, membawa aroma rel besi yang dingin bercampur dengan cahaya keemasan langit.
Reno datang dengan langkah cepat. Senyum tipisnya muncul, tapi matanya tampak lebih serius."Alya, ada sesuatu yang harus kamu tahu."
Alya menatapnya, gugup. "Apa?"
Reno menarik napas panjang. "Alasan lain kenapa aku pergi dulu… bukan hanya karena ayahku sakit. Tapi karena keluargaku bangkrut. Aku harus bekerja apa saja di luar negeri untuk bertahan. Aku malu kalau kamu tahu keadaanku saat itu."
Alya terdiam. Perih yang ia simpan bertahun-tahun bercampur dengan rasa iba. "Reno… kenapa kamu tidak pernah jujur? Aku tidak butuh semua itu. Aku hanya butuh kehadiranmu."
Mata Reno berkaca-kaca. "Aku tahu. Dan itu yang paling kusesali."
Di saat yang sama, ponsel Alya bergetar. Pesan dari Dimas masuk:"Aku ada di dekat stasiun. Kalau kamu butuh seseorang, aku di sini."
Alya mendongak, dan benar—dari jauh, ia melihat Dimas berdiri di luar pagar stasiun, menatap ke arahnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.
Hatinya berguncang hebat. Reno dengan cinta lamanya, dan Dimas dengan cintanya yang baru—dua sosok yang sama-sama nyata di hadapannya.
Bab 5: Pilihan di Senja
Senja kian memudar. Kereta berikutnya bersiap masuk peron. Suara pengumuman menggema, seolah mendesak Alya untuk segera memilih.
Reno meraih tangannya. "Alya, beri aku kesempatan lagi. Aku ingin menebus semua yang hilang."
Dari seberang pagar, Dimas melangkah mendekat, suaranya lantang meski bergetar. "Alya, aku tidak punya masa lalu bersamamu. Tapi aku ingin masa depan kita. Aku tidak akan pergi, aku tidak akan diam. Aku akan ada untukmu—selalu."
Air mata jatuh di pipi Alya. Ia menatap Reno, lalu Dimas. Rindu masa lalu beradu dengan kenyamanan masa kini.
Akhirnya, ia menarik tangannya perlahan dari genggaman Reno."Reno, kamu adalah bagian terindah dari hidupku. Tapi luka yang kita lalui terlalu dalam. Aku tidak bisa lagi terus menggenggam janji lama, sementara ada seseorang yang selalu hadir untukku di sini."
Reno terdiam, wajahnya hancur, tapi ia tersenyum getir. "Aku mengerti… Senja kali ini bukan lagi milikku."
Alya melangkah ke arah Dimas. Saat ia berdiri di sampingnya, Dimas menatapnya tak percaya. Alya tersenyum dengan mata basah."Terima kasih karena tidak pernah pergi, meski aku sibuk menunggu sesuatu yang belum tentu kembali."
Dimas menggenggam tangannya erat, seakan tak ingin melepaskan lagi.
Kereta berangkat, meninggalkan suara besi beradu yang panjang. Reno berdiri sendirian di peron, menatap Alya dan Dimas dari jauh.
Dan senja di stasiun KOTAGG menjadi saksi: janji lama mungkin retak, tapi dari pecahannya lahir cinta baru yang lebih kuat.
✨ Tamat ✨
Ceritanya ditutup dengan:
Reno jujur tentang alasan sebenarnya ia pergi.
Dimas berani mengungkapkan isi hatinya.
Alya memilih masa kini bersama Dimas, meninggalkan janji lama dengan Reno.