Ficool

Meeting Room Rasa Rindu

ICONPLAYGGonline
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
97
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Meeting Room Rasa Rindu

📖 Sinopsis – Meeting Room Rasa Rindu

Di ruang meeting ICONPLAY, semua hal harus profesional: laporan, presentasi, deadline.Tapi bagi Alya, ruang itu juga menyimpan rahasia lain—rindu yang tumbuh diam-diam untuk Raka, seniornya yang dingin dan tegas.

Awalnya hanya tatapan singkat di balik meja panjang, lalu proyek besar membuat mereka semakin sering bersama. Dari lembur hingga percakapan singkat, perlahan jarak di antara mereka memudar.

Namun gosip kantor tidak bisa dihindari. Alya terjebak dalam tekanan, sementara Raka justru mulai menunjukkan keberanian. Sampai akhirnya, satu keputusan di ruang meeting mengubah segalanya.

✨ Apakah rindu yang dipendam diam-diam bisa bertahan di tengah gosip dan aturan kantor? Atau justru berubah menjadi cinta yang berani diperjuangkan?

Bab 1: Tatapan di Balik Meja Panjang

Ruang meeting kantor ICONPLAY selalu penuh formalitas. Aroma kopi, suara ketikan laptop, dan layar presentasi yang menyala jadi pemandangan rutin setiap pagi.

Namun bagi Alya, ruangan itu bukan sekadar tempat rapat. Di sana, ada satu sosok yang selalu membuat jantungnya berdegup lebih cepat—Raka, seniornya yang tegas dan selalu fokus pada pekerjaan.

Hari itu, Alya duduk di ujung meja sambil mencatat poin rapat. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Raka yang duduk di seberang, dengan jas hitam rapi dan wajah serius. Tatapan matanya hanya tertuju pada layar, seakan dunia di luar data dan grafik tidak penting.

Tapi sesaat, mata mereka bertemu. Alya buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menulis. Kenapa setiap kali dia menatapku, rasanya seperti ada sesuatu yang tak bisa aku kendalikan?

Rapat berlangsung panjang. Ketika semua orang sibuk berdiskusi, hanya Alya dan Raka yang diam-diam saling melirik. Tak ada kata-kata, hanya tatapan singkat yang penuh arti.

Dan di balik meja panjang ruang meeting itu, ada rindu yang tumbuh tanpa pernah mereka ucapkan.

Malamnya, Alya menulis di catatan pribadinya:"Hari ini aku kembali duduk di ruang meeting yang sama dengannya. Tidak ada kata, tapi cukup satu tatapan untuk membuatku yakin—rindu ini nyata, meski hanya bisa kusimpan diam-diam."

Bab 2: Proyek yang Memaksa Dekat

Beberapa hari setelah rapat itu, sebuah email resmi masuk ke kotak masuk Alya.Subject:Project Partnership – Tim UtamaIsi:Alya akan mendampingi Raka sebagai koordinator administrasi untuk proyek ICONPLAY dengan klien utama.

Alya menatap layar dengan campuran rasa panik dan bahagia. Kenapa harus aku?

Hari pertama mereka bekerja sama terasa canggung. Alya sibuk menyiapkan data, sementara Raka berdiri di sampingnya, matanya fokus pada layar laptop.

"Coba cek bagian ini lagi," katanya, menunjuk tabel.

Alya menelan ludah, jemarinya bergetar saat mengetik. "S-sudah saya revisi, Pak."

Raka menoleh, suaranya sedikit melunak. "Aku tahu kamu bisa. Jangan terlalu tegang."

Alya terdiam, hatinya berdebar. Raka jarang bicara lembut, tapi setiap kali ia melakukannya, rasanya seperti seluruh ruang meeting mendadak hening.

Hari demi hari, kedekatan mereka semakin nyata. Mereka lembur bersama, menyusun strategi presentasi, bahkan berbagi kopi saat malam sudah larut.

Suatu malam, Alya nyaris tertidur di meja rapat. Raka menyodorkan gelas kopi."Minum ini. Kalau kamu sakit, proyek ini bisa berantakan."

Alya menerimanya pelan. "Terima kasih… Raka."

Raka terdiam sejenak mendengar namanya disebut tanpa embel-embel jabatan. Senyum samar muncul di bibirnya. "Akhirnya kamu berani panggil aku begitu juga."

Meski semua terlihat profesional di permukaan, hanya mereka berdua yang tahu: ruang meeting yang biasanya penuh formalitas kini diam-diam menyimpan sesuatu yang lebih dalam—rasa rindu yang makin sulit dikendalikan.

Bab 3: Gosip di Balik Pintu Kaca

Semakin sering Alya dan Raka bekerja bersama, semakin jelas kedekatan mereka terlihat oleh rekan kerja lain. Mereka berdua hampir selalu duduk berdampingan di ruang meeting, pulang larut malam bersama, bahkan sering terlihat mengobrol lebih lama setelah rapat selesai.

Suatu siang, ketika Alya masuk pantry untuk mengambil air, ia mendengar bisik-bisik."Kayaknya Alya sama Pak Raka deh.""Serius? Pantesan dia sering dipasangkan, ya.""Wah, kalau bener, berani banget tuh si Alya."

Alya menegang, wajahnya memanas. Ia buru-buru keluar sebelum ketahuan mendengar. Dadanya sesak. Aku tidak bermaksud jadi bahan gosip…

Sore itu, saat rapat evaluasi selesai, Alya memberanikan diri bicara pada Raka."Pak… eh, Raka. Kita terlalu sering terlihat bareng. Orang-orang mulai salah paham."

Raka menatapnya lekat. "Dan itu masalah buatmu?"

Alya menunduk. "Tentu saja. Aku tidak mau dianggap naik karena dekat dengan atasan. Aku… aku hanya ingin dihargai karena kerja keras."

Raka terdiam lama. Lalu ia bersandar di kursi, nadanya tenang tapi tegas."Alya, aku paham kekhawatiranmu. Tapi aku tidak akan pura-pura jaga jarak hanya karena takut gosip. Lagipula…" ia berhenti sejenak, matanya menatap dalam, "…mungkin gosip itu tidak sepenuhnya salah."

Alya terperangah. "Maksudmu?"

Raka tersenyum samar, berbeda dari biasanya. "Aku tidak pernah sering duduk di ruang meeting dengan siapa pun sebelumnya. Hanya denganmu. Itu bukan kebetulan, Alya."

Hati Alya bergetar hebat. Raka bukan lagi hanya atasan dingin di ruang meeting. Ia kini pria yang, tanpa malu, mulai membuka sedikit demi sedikit isi hatinya.

Dan untuk pertama kalinya, Alya merasa rindu itu tidak lagi tumbuh sendirian.

Bab 4: Antara Gosip dan Keberanian

Hari Senin pagi, suasana kantor ICONPLAY terasa lebih berat dari biasanya. Alya dipanggil ke ruang HRD. Kepala HR menatapnya serius.

"Alya, gosip mengenai kedekatanmu dengan Pak Raka sudah sampai ke manajemen. Kami khawatir hal ini bisa memengaruhi citra perusahaan. Apakah benar ada hubungan di luar pekerjaan antara kalian?"

Alya tercekat. Tangannya dingin, keringat dingin mengalir di pelipis. "T-tidak, Bu. Kami hanya bekerja…"

Meski bibirnya berbohong, hatinya menjerit. Kenapa harus aku yang selalu salah?

Siang harinya, gosip semakin panas. Beberapa rekan kerja sengaja berbisik ketika Alya lewat."Itu dia yang katanya dekat sama Pak Raka.""Duh, bisa bahaya tuh kalau beneran."

Alya menunduk, merasa semakin kecil.

Sore itu, setelah rapat proyek, Alya memberanikan diri bicara dengan Raka di ruang meeting yang sudah kosong.

"Raka, aku tidak bisa begini terus. Gosip itu sudah sampai ke manajemen. Karierku bisa hancur."

Raka menatapnya dalam. "Jadi kamu mau aku berhenti mendekatimu?"

Alya menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu… tapi aku tidak kuat kalau harus menanggung ini sendirian."

Raka berdiri, berjalan ke arah jendela kaca besar ruang meeting. Dari sana, terlihat kota dengan lampu-lampu mulai menyala. Ia terdiam lama, lalu berkata pelan namun tegas:

"Alya, aku sudah memikirkannya. Aku tidak bisa pura-pura lagi. Jika harus memilih antara menjaga citra dan menjaga kamu… aku akan memilih kamu."

Alya menatapnya dengan mata lebar, hatinya berdebar tak karuan.

Raka melanjutkan, "Aku tahu risikonya. Tapi aku lebih takut kehilanganmu daripada kehilangan reputasi. Biarkan orang lain bicara. Biarkan manajemen menilai. Aku akan berdiri di sampingmu, apapun yang terjadi."

Air mata Alya jatuh. Ia merasa lega sekaligus takut. Namun di balik rasa itu, ada keyakinan baru—bahwa rindu yang tumbuh diam-diam di ruang meeting itu akhirnya menemukan keberanian untuk disebut dengan namanya sendiri: cinta.

Bab 5: Keberanian di Meja Panjang

Hari itu, ruang meeting ICONPLAY kembali penuh. Proyek besar sudah mendekati final, semua divisi hadir. Namun suasana tidak hanya tentang kerja—gosip tentang Alya dan Raka masih bergaung, seperti bayangan yang tidak mau hilang.

Seorang manajer senior berdehem. "Sebelum kita mulai, saya harap profesionalisme dijaga. Jangan sampai ada hal pribadi yang merusak jalannya proyek." Tatapannya sekilas mengarah ke Alya, membuat wajahnya memanas.

Alya menunduk, jantungnya berdetak tak karuan. Aku tidak sanggup lagi...

Namun sebelum ia sempat bicara, Raka berdiri. Suaranya dalam dan tegas."Kalau yang dimaksud adalah kedekatanku dengan Alya, biar saya yang klarifikasi. Alya dipilih di proyek ini karena kemampuannya, bukan karena kedekatan pribadi."

Ruangan hening. Semua mata menatapnya.

"Tapi kalau soal gosip—" Raka berhenti sejenak, lalu menatap Alya yang masih menunduk, "—aku tidak akan menyangkal. Ya, aku dekat dengannya. Dan aku tidak menyesalinya."

Alya terperanjat. Ia menoleh, matanya membesar.

Raka melanjutkan, "Profesionalisme tetap nomor satu. Tapi aku juga tidak akan pura-pura seolah tidak ada apa-apa. Aku percaya, kebenaran lebih baik daripada bersembunyi."

Setelah rapat usai, banyak bisik-bisik, tapi Alya merasa berbeda. Kali ini, ia tidak merasa sendirian. Di koridor, Raka mendekatinya.

"Kamu marah aku bicara terbuka?" tanyanya.

Alya menggeleng pelan, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. "Aku justru lega. Selama ini aku menanggung semuanya sendiri. Sekarang… aku tahu aku tidak sendirian."

Raka tersenyum samar, lalu menepuk pundaknya lembut. "Mulai sekarang, kita hadapi bersama. Rindu itu sudah terlalu lama tumbuh diam-diam. Saatnya kita biarkan semua orang tahu bahwa rasa ini nyata."

Beberapa minggu kemudian, proyek ICONPLAY selesai dengan sukses. Gosip perlahan mereda, tergantikan oleh prestasi tim. Alya tetap bekerja di divisinya, Raka tetap memimpin dengan wibawa. Bedanya, kini tidak ada lagi jarak yang mereka sembunyikan.

Dan setiap kali Alya masuk ke ruang meeting, duduk di meja panjang itu, ia selalu tersenyum. Karena di sana, tempat yang dulu penuh formalitas, kini menjadi saksi lahirnya sebuah cinta yang berani.