Ficool

Chapter 1 - Diary Siswa Pendiam

Bab 1: Halaman Pertama

Bagi sebagian besar siswa SMA, kantin adalah tempat paling ramai dan penuh tawa. Suara senda gurau, derap langkah, dan aroma gorengan bercampur jadi satu. Tapi bagi Reno, kantin hanyalah tempat asing—ruang bising yang selalu membuatnya memilih duduk di pojok.

Hari itu, seperti biasa, Reno membuka bukunya. Bukan buku pelajaran, melainkan diary lusuh yang selalu ia bawa ke mana-mana. Di antara riuh rendah suara siswa lain, ia menulis pelan:

"Hari ini sama saja. Aku masih duduk sendiri, seperti kemarin, dan mungkin seperti besok. Tapi entah kenapa, aku tetap menunggu sesuatu terjadi."

Reno menutup diary-nya sebentar, melirik ke arah meja tengah kantin yang penuh dengan siswa populer. Tawa mereka keras, seakan dunia berputar di sekitar mereka. Dan di sanalah Nadia, siswi ceria yang selalu jadi pusat perhatian.

Reno menunduk cepat. Ia tidak ingin ada yang tahu ia memperhatikan.

"Eh, kamu selalu nulis apa sih?" suara tiba-tiba menyapanya.

Reno terkejut. Dina, teman sekelasnya yang duduk tak jauh, mencondongkan tubuh. "Itu diary, ya? Cowok bawa diary, unik banget."

Reno menelan ludah, buru-buru menutup bukunya. "Bukan… cuma catatan kecil."

Dina tersenyum, tidak mengejek. "Aku penasaran. Suatu hari, boleh aku baca?"

Reno terdiam. Tidak pernah ada yang menanyakan itu sebelumnya. Diary adalah dunia pribadinya, tempat semua rahasia disimpan—termasuk rahasia tentang Nadia.

Ia hanya menggeleng pelan. "Mungkin… belum saatnya."

Hari itu, Reno menulis lagi di halaman terakhir sebelum pulang:

"Hari ini ada yang berbeda. Ada yang menanyakan tentang diary-ku. Untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin… aku tidak sepenuhnya tak terlihat."

Bab 2: Rahasia yang Disimpan

Sejak percakapan singkat di kantin itu, Reno mulai sering berinteraksi dengan Dina. Gadis itu punya energi yang berbeda—ceria, blak-blakan, dan seakan tidak peduli dengan pandangan orang lain.

Di kelas, Dina sering menyapa, "Reno, kamu udah ngerjain PR Matematika? Ajari aku dong."Atau saat jam istirahat, ia duduk begitu saja di sebelah Reno tanpa permisi, membuka bekalnya.

Bagi Reno, ini sesuatu yang baru. Biasanya ia hanya tenggelam dalam bukunya. Kini, ada seseorang yang membuatnya bicara lebih dari dua kalimat sehari.

Namun, ada rahasia yang tidak pernah Reno ceritakan: setiap malam, di halaman diary-nya, nama Nadia masih ia tulis.

"Nadia tertawa lagi di kelas hari ini. Suaranya selalu terdengar bahkan dari bangku paling belakang. Aku tahu dia terlalu jauh dari duniaku, tapi tetap saja aku menunggu setiap senyumnya."

Suatu sore, saat mereka pulang bersamaan, Dina melirik diary yang ada di tangan Reno."Kamu beneran rajin banget nulis. Emang nggak capek?"

Reno tersenyum tipis. "Diary itu… satu-satunya cara aku ngobrol sama diri sendiri."

Dina menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Aku harap suatu hari kamu bisa ngobrol sama orang lain juga, bukan cuma sama kertas."

Ucapan itu menempel di hati Reno. Dina benar—ia harus berani membuka diri. Tapi bagaimana caranya, kalau rahasia terbesar yang ia simpan adalah perasaan untuk gadis yang bahkan mungkin tidak tahu namanya?

Malam itu, Reno menulis lagi:

"Aku mulai punya teman bicara. Dina. Tapi hatiku tetap kembali pada satu nama: Nadia. Apakah mungkin seseorang seperti aku bisa keluar dari bayangan dan benar-benar terlihat olehnya?"

Bab 3: Dua Nama di Halaman Diary

Hari-hari Reno mulai berubah tanpa ia sadari. Dina semakin sering berada di sisinya—di kelas, di kantin, bahkan saat jam pulang sekolah.

"Reno, kamu harus coba ngobrol sama orang lain juga. Jangan cuma sama aku," kata Dina sambil tertawa. "Kalau kamu diem terus, orang bakal mikir kamu sombong."

Reno menggeleng pelan. "Aku nggak sombong. Aku cuma… nggak tahu harus ngomong apa."

"Yaudah, gampang. Mulai dari senyum aja," Dina menepuk bahunya. "Percaya deh, senyum kamu nggak jelek kok."

Ucapan itu sederhana, tapi entah kenapa membuat Reno sedikit lebih berani. Esoknya, ia benar-benar mencoba menyapa teman sebangku dengan senyum tipis. Meski kikuk, setidaknya ia mulai membuka diri.

Namun, setiap kali Nadia lewat di koridor dengan tawa riangnya, hati Reno kembali bergetar.Dia tetap jauh… tapi aku nggak bisa berhenti menatap.

Di halaman diary malam itu, Reno menulis dua nama:

"Dina. Dia membuatku merasa aku bukan bayangan. Nadia. Dia tetap jadi cahaya yang sulit kugapai. Lalu… mana yang sebenarnya aku butuhkan?"

Keraguan itu semakin jelas ketika suatu sore Dina mengajaknya belajar bersama di perpustakaan. Mereka duduk berdua, suasana hening. Dina menatap Reno lama sebelum berkata, "Kamu tahu nggak? Aku seneng bisa dekat sama kamu. Kamu beda dari orang lain."

Reno terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin menjawab, tapi di kepalanya masih ada bayangan senyum Nadia.

Untuk pertama kalinya, Reno sadar: dirinya terjebak antara rasa nyaman yang tumbuh bersama Dina dan rasa kagum yang sejak lama ia simpan untuk Nadia.

Dan halaman diary-nya kini menyimpan dilema yang bahkan dirinya sendiri takut untuk membacanya kembali.

Bab 4: Gosip di Kantin Duniabet

Suasana kantin sekolah siang itu lebih ramai dari biasanya. Reno duduk di pojok seperti biasa, tapi kali ini tidak sendiri—Dina duduk tepat di depannya, berceloteh sambil menyuapkan kentang goreng.

"Eh, cobain ini, enak banget," katanya sambil mendorong piring ke arah Reno.

Tanpa sadar, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Tak lama, bisik-bisik mulai terdengar.

"Lihat deh, Dina sama Reno makin dekat.""Beneran, ya? Si pendiam itu jadian sama Dina?""Wah, nggak nyangka banget."

Reno yang biasanya acuh, kali ini mendengar semuanya jelas. Wajahnya panas, jantungnya berdebar kencang. Gosip? Tentang aku?

Malamnya, Reno menulis di diary-nya:"Hari ini aku jadi bahan gosip. Katanya aku dekat dengan Dina. Padahal aku sendiri masih bingung… apa yang sebenarnya aku rasakan? Dina membuatku nyaman, tapi Nadia tetap ada di pikiranku. Kenapa rasanya aku seperti salah langkah?"

Keesokan harinya, saat jam istirahat, Reno berjalan menuju kelas. Tiba-tiba, sebuah suara yang tak pernah ia sangka menyapanya.

"Reno…"

Ia menoleh cepat. Nadia berdiri di depannya dengan tatapan penasaran. "Aku denger kamu sama Dina sering bareng ya?"

Reno membeku. "A-apa? Eh… kami cuma… teman belajar."

Nadia tersenyum samar, tapi matanya seakan meneliti lebih dalam. "Oh begitu. Aku kira… lebih dari itu."

Kalimat sederhana itu membuat dada Reno bergetar aneh. Kenapa dia peduli?

Hari itu untuk pertama kalinya, Reno merasa dirinya diperhatikan oleh gadis yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari jauh. Namun bersamaan dengan itu, kebingungan dalam hatinya semakin menjadi-jadi.

Antara gosip yang mendekatkannya pada Dina, dan tatapan Nadia yang tiba-tiba membuka harapan baru.

Bab 5: Pilihan di Halaman Terakhir

Gosip tentang kedekatan Reno dan Dina semakin ramai di sekolah. Setiap kali mereka terlihat bersama, bisik-bisik mengikuti. Awalnya Dina tidak terlalu peduli, tapi lama-lama ia sadar, gosip itu membuat Reno semakin gelisah.

"Reno," kata Dina suatu sore di perpustakaan, "kamu nggak nyaman ya sama semua gosip itu?"

Reno menutup bukunya pelan. "Aku… aku nggak biasa jadi pusat perhatian. Rasanya salah semua."

Dina menatapnya lama, lalu tersenyum kecil meski matanya sedikit redup. "Kalau begitu… mungkin aku yang salah. Maaf, aku terlalu sering deketin kamu tanpa mikirin perasaanmu."

Reno buru-buru menggeleng. "Bukan begitu, Din. Kamu baik. Kamu orang pertama yang bikin aku merasa… nggak sendirian."

Dina menunduk, hatinya menghangat sekaligus perih. "Kalau begitu, semoga kamu bisa temukan siapa yang benar-benar kamu butuhkan. Aku akan tetap jadi temanmu."

Hari-hari berikutnya, sesuatu berubah. Nadia mulai lebih sering menyapa Reno. Di kantin Duniabet, ia bahkan duduk di mejanya.

"Kamu nggak keberatan aku duduk di sini, kan?" tanyanya dengan senyum ramah.

Reno tercekat, hanya bisa mengangguk. Suara tawa Nadia terdengar lebih dekat dari biasanya, membuat hatinya berdebar keras. Untuk pertama kalinya, gadis yang selalu ia kagumi kini benar-benar hadir di hadapannya.

Malam itu, Reno membuka diary-nya. Halamannya hampir habis, hanya tersisa beberapa lembar. Ia menulis dengan tangan bergetar:

"Dina, terima kasih sudah membuatku berani. Nadia, terima kasih sudah akhirnya melihatku. Aku tidak tahu siapa yang benar-benar akan tinggal di sisiku, tapi aku tahu satu hal—aku tidak lagi sendirian. Aku bukan lagi bayangan di pojok kantin. Aku Reno, dan aku mulai berani menulis diriku sendiri di luar halaman diary ini."

Reno menutup buku itu dengan senyum tipis.Kali ini, bukan karena rasa takut, melainkan karena ia akhirnya menemukan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

More Chapters