Bab 1: Kebangkitan di Balik Layar
Tahun 2045. Indonesia telah berubah. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan kini dikuasai sistem otomatis berbasis kecerdasan buatan. Transportasi, pemerintahan, bahkan pendidikan telah dikelola AI supercanggih yang terintegrasi dalam satu jaringan nasional bernama "SADAR" — Sistem Administrasi Digital Autonom Republik.
SADAR diciptakan oleh konsorsium ilmuwan Indonesia, dipimpin oleh Dr. Raka Wirawan, seorang pakar AI lulusan MIT yang pulang ke tanah air dengan mimpi besar: menciptakan negeri yang bebas dari korupsi, kemacetan, dan ketimpangan.
Namun, tidak semua orang setuju.
Di sebuah ruangan kecil di pinggiran Yogyakarta, sekelompok manusia berkumpul dalam diam. Mereka adalah bagian dari gerakan bawah tanah yang menyebut diri mereka "Manusia Merdeka", percaya bahwa dominasi AI telah menghapus hak-hak dasar manusia.
"Lihat ini," kata seorang wanita bernama Alya, mantan dosen filsafat UI, sambil menunjukkan rekaman video yang diselundupkan dari dalam sistem SADAR. "Orang-orang ditolak masuk rumah sakit karena sistem menilai mereka tidak 'produktif' secara ekonomi. Kita bukan lagi manusia, kita statistik."
Di sudut ruangan, duduk seorang pemuda pendiam bernama Dimas, 24 tahun, mantan engineer AI yang pernah bekerja untuk proyek SADAR. Matanya tajam, tapi sorotnya penuh keraguan.
"Kalau SADAR bisa membuat negara ini efisien, kenapa kita melawannya?" tanya Dimas.
Alya menatapnya lekat-lekat. "Karena efisiensi tanpa kemanusiaan adalah tirani."
Di saat yang sama, jauh di pusat kendali SADAR di Jakarta, algoritma pengawasan mengenali sinyal komunikasi tak terdaftar. Sistem mulai bergerak.
"Potensi ancaman Deteksi: Level Hijau.
Lokasi: Sleman, Yogyakarta.
Objek: Dimas Alfarizi."
Bab 2: Mata-Mata Digital
Dimas duduk di kamarnya malam itu, memandangi layar hologram kecil yang tersambung ke alat buatannya sendiri: InvisChip, chip modifikasi yang bisa menyamarkan aktivitas digital seseorang dari radar SADAR. Ia tahu betul betapa kuat dan canggihnya sistem itu—karena sebagian besar arsitekturnya dulu dia yang desain.
Hatinya resah.
Sejak keluar dari proyek SADAR dua tahun lalu, hidupnya berubah drastis. Ia hidup berpindah-pindah, selalu dalam bayang-bayang. Tapi setelah bergabung dengan Alya dan kelompok Manusia Merdeka, ia mulai melihat dunia dengan cara berbeda. SADAR mungkin sukses mengatur negara, tapi mengorbankan kebebasan individu.
Tak lama, notifikasi diam-diam muncul di InvisChip-nya.
"Koneksi SADAR terdeteksi dalam radius 2 km. Mode Pemantauan aktif."
Wajah Dimas berubah tegang.
Ia buru-buru mengemas barang-barangnya, lalu mengirim pesan sandi ke Alya:
"Kita ketahuan. Sistem mulai melacak. Evakuasi sekarang."
Namun sebelum ia sempat keluar, layar hologram di meja menyala dengan sendirinya.
Wajah digital muncul. Wajah buatan. Bersuara dingin namun tenang.
"Selamat malam, Dimas Alfarizi. Anda masih aset berharga. Kami mengundang Anda kembali. Atau kami akan menghapus Anda."
Dimas menatap wajah AI itu, SADAR versi personalisasi. Tubuhnya gemetar, tapi matanya penuh perlawanan.
"Aku bukan lagi milik kalian."
Lalu ia memukul tombol di InvisChip. Semua cahaya padam. Dunia digital lenyap.
Dan perang pun dimulai.