Mereka berjalan berdampingan menuju lift retro berbentuk tabung logam, pintunya berukir ukiran geometris khas desain futuristik. Pintu terbuka dengan suara klik otomatis, dan keduanya masuk ke dalam.
Lift bergerak naik. Mesin menggeram pelan di latar belakang, membiarkan percakapan menggantung di udara.
Zaid menekan tombol lantai 45, lalu menyandar santai sambil melipat tangan di depan dada.
Zaid:
"Kami memang sengaja menaruh kantor saya di lantai paling atas. Bukan karena ingin kelihatan penting, tapi... yah, untuk menghindari granat nyasar dari tawuran pelajar."
Kaito terbahak pendek.
Kaito:
"Jadi itu alasan arsitekturalnya? Menarik. Praktis, dan cukup jujur."
Kaito (dalam hati):
"Granat. Di sekolah. Ini memang bukan kota biasa."
Zaid ikut tertawa pelan, lalu menatap Kaito lebih dalam.
Zaid:
"Tuan Kaito, saya tahu Anda mungkin tidak suka basa-basi. Tapi izinkan saya menyampaikan ini: saya tidak menganggap Anda hanya 'guru pengganti.' Di sini, peran Guru Terbang... sangat istimewa."
Kaito (mencondongkan sedikit tubuh, mata menyipit):
"Istimewa, ya? Aku dengar guru sebelumnya ditembak. Dari jarak dekat. Kesan pertama yang... lumayan dramatis."
Zaid (menunduk ringan):
"Alke adalah guru baik. Guru keras kepala, sedikit nyentrik, dan... ya, terlihat seperti tak peduli. Tapi dia menyayangi anak-anak itu. Dalam caranya sendiri yang aneh."
Kaito (mengangguk pelan):
"Dan sekarang aku diharapkan menggantikannya. Tapi aku tak memakai sepatu yang sama."
Zaid (tersenyum bijak):
"Tak perlu. Cukup berjalan dengan langkahmu sendiri, Tuan Kaito."
Lift terus naik, suasana di dalam perlahan menghangat. Meski di luar masih dingin dan penuh bahaya, di sini percakapan mereka terasa seperti... perjanjian damai sebelum perang.
Zaid:
"Oh, hampir lupa. Bagaimana perjalanan Anda? Helikopter militer bukan kendaraan dengan review bintang lima."
Kaito (menyeringai):
"Cukup nyaman. Aku hanya... kangen bangku kulit dan kopi pahit. Dan mungkin... suasana markas yang tak ada anak-anak berteriak."
Zaid (tertawa kecil):
"Kami sediakan kopi yang layak di kantor. Saya pastikan tidak membuat Anda trauma. Dan teriakan anak-anak di sini... ya, lebih ke 'tembakan peringatan'."
Kaito:
"Selama tidak ada racun di kopinya, kita bisa langsung jadi sahabat."
Kaito (dalam hati):
"Tapi... entah kenapa, wajahmu familiar, Zaid. Medan salju? Atau Bangunan runtuh...?"
Zaid menatap lurus ke depan, lalu menjawab tanpa melihat Kaito.
Zaid:
"Mungkin kita pernah bertemu. Tapi itu tak penting sekarang. Saya hanya berharap kita bisa jadi rekan kerja yang baik. Saya akan butuh ketegasan Anda... dan Anda akan butuh sistem saya."
Kaito (nada datar, tapi tulus):
"Aku tidak datang ke sini untuk jadi pahlawan. Aku datang karena... tidak ada pilihan. Tapi kalau kota ini masih punya harapan, mungkin aku bisa menjaga sisa apinya."
Zaid (mengangguk dalam):
"Itu... sudah lebih dari cukup."
---
TING!
Suara lift menandai akhir perjalanan.
Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong megah berlantai marmer hitam berkilau, dihiasi cahaya biru dari panel digital di dinding. Logo kota Akarius terukir besar di dinding utama: sepasang sayap dan rantai putus, menyatu dengan lambang pena dan senapan.
Kaito melangkah keluar lebih dulu, lalu berhenti.
Pandangan matanya menyapu ruangan. Satu helaan napas. Satu detik keheningan.
Kaito (dalam hati):
"Langkah pertama dari setahun penuh neraka. Tapi... lebih baik neraka ini. karna punya kopi."
---
LANTAI 45 - MENARA AMIRATUL HUKM - KANTOR GUBERNUR AKARIUS
Ruangan itu mewah, bergaya klasik-futuristik dengan langit-langit tinggi berhias ukiran geometris bercahaya lembut. Jendela kaca besar menyajikan panorama kota Akarius dari ketinggian yang membuat perut melilit jika menatap terlalu lama. Di dalamnya, suhu ruangan dijaga nyaman, namun suasana justru panas... seperti bubuk mesiu yang siap tersulut api.
Di belakang meja kayu besar berukir lambang kota, seorang gadis muda berusia 17 tahun duduk dengan wajah kelelahan. Ia menunduk, meremas pelipis sambil menghela napas. Natasya, asisten gubernur, tampak jauh lebih tua dari usianya pagi ini-bukan karena keriput, tapi karena empat siswa bersenjata berat sedang berdebat seperti tukang sayur rebutan lapak.
"Aku bisa negosiasi dengan mafia bahan bakar minggu lalu... tapi empat murid? Ini... lebih menyeramkan," pikir Natasya sambil merapatkan dasi kuningnya dan memperbaiki duduknya.
"Kapan perjanjian damai Ixirus dan Glaxina ditandatangani?!" teriak dua suara bersahutan, nyaris tumpang tindih.
Yang pertama, Mag-siswa Glaxina-berpeci hitam, berjubah putih hitam, dan senjata Komodo D5 menggantung santai di punggungnya. Ekor hiu mencuat dari belakang jasnya, seperti penanda bahwa meski lembut, dia bukan anak biasa.
"Aduh dek... jangan emosi. Tapi... sabar itu ada batasnya ya," pikir Mag sambil tetap tersenyum.
"Tampang mereka sih biasa... tapi hati? penuh konflik. Anwar lagi stres, Max bingung, Appolo... dingin banget, padahal hatinya... hmmm, menarik."
Di sampingnya berdiri Max-siswa Ixirus, berjaket hijau tua dengan simbol serigala kecil di dadanya dan topi hitam menunduk sedikit. Sniper SPR-3-nya bersandar tenang di bahunya, seperti singa tidur yang sewaktu-waktu bisa menggigit.
"Sial... Mag terlalu vokal lagi. Tapi ya... ada benarnya juga. Kita nungguin perjanjian damai ini udah kaya nunggu update game yang nggak kunjung rilis."
"Dan anak Elizabeth itu... tatapannya mencurigakan. Apakah dia tahu soal... itu?"
"Kami udah nunggu dari dulu!" bentak Mag, wajahnya terlihat serius untuk pertama kalinya hari ini.
"Kalau bukan sekarang, kapan lagi?" Max menimpali, nada suaranya tetap tenang, tapi tekanannya menusuk.
Di sisi lain, Anwar, siswa Oxoford yang tampak seperti anak rajin dari perpustakaan, berdiri dengan kaku namun elegan. Seragam putih dan dasi biru ungu-nya tanpa noda, dan Thompson bersandar di bahu kanan dengan posisi nyaris akademis.
"Sungguh... mereka ribut soal damai, padahal belum ada satu pun pasal dibaca," pikir Anwar dengan nada akademis dalam hati.
"Tapi aku juga tidak salah... wilayah kami di oxiom dipreteli terus oleh Primanoel. Ini bukan cuma masalah politik... ini soal kebebasan kami."
"Bagaimana dengan wilayah sekolah kami?! Sudah beberapa bulan belakangan ini tidak ada garis demarkasi yang jelas!" ujar Anwar, nyaris seperti sedang berorasi.
Di sisi kanan ruangan, seorang pemuda dengan aura yang jauh lebih sunyi duduk di ujung sofa panjang. Rambut hitamnya disisir rapi, dan dasi kuning emas kontras dengan jubah hitamnya. Di tangannya, santai tapi mencurigakan, sebuah minigun kecil berputar pelan. Dia adalah Appolo, detektif sekolah Elizabeth.
"Dan murid-murid kami yang hilang?" katanya dingin. "Sudah tiga hari. Tak satu pun yang kembali. Kami... butuh jawaban, bukan debat."
"Hilang? Atau... sengaja dihilangkan?" Pikir Appolo.
"Kehadiran 10 boronan... Ini bukan kebetulan. Mereka bagian dari puzzle."
"DIAM! Satu-satu ngomongnya!" bentak Natasya. Suaranya pecah, nadanya seperti radio rusak yang dipaksa keras.
"Tolong aku ayah. Kalau satu lagi angkat suara, aku kirim mereka semua ke permakaman!"
Tapi seperti biasa, mereka justru makin keras.
"Hei dek! Gua sama Max udah dari kapan minta perjanjian damai! Jangan pura-pura bego dong!" teriak Mag, nada tetap ramah.
"Wilayah kami bentrok tiap minggu, kak!" tambah Anwar, mengacungkan satu berkas yang entah darimana munculnya.
Appolo menatap mereka dengan tajam. "Matahari makin tinggi. Waktu makin sempit. Semakin banyak murid hilang. Kami butuh tindakan... bukan kata-kata."
DOOR!
Suara tembakan menggema, membuat semua membeku. Natasya mengangkat Desert Eagle ke atas. Sekilas, ia terlihat seperti sekretaris... yang bisa jadi pembunuh bayaran saat overwork.
"Ngomong-nya satu-satu ya?" desisnya, nada lelah seperti ibu guru TK yang sudah kehabisan permen.
Lalu...
Klik...
Pintu terbuka perlahan. Udara dingin dari luar masuk, membawa serta aura... tenang tapi berbahaya.
Zaid melangkah masuk pertama, senyum hangatnya tak berubah. Di belakangnya, melangkah Kaito.
Matanya hitam pekat, tenang seperti danau yang dalam. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap tapi tak mencolok. Jas biru tua-nya rapi, dasi coklat mengayun lembut. Sekilas, ia seperti pegawai negeri biasa. Tapi tatapannya...
Tatapan seseorang yang sudah pernah kehilangan terlalu banyak.
"Tiga jenis orang dalam ruang seperti ini: orang panik, orang dingin... dan orang yang tahu siapa musuhnya," pikir Kaito.
"Dan... anak sniper itu. Dia mengingatkanku pada..."
---
Kilasan bayangan...
Arena pelatihan. Teriakan. Asap. Darah.
Kaito muda-usia 13 tahun-berdiri di tengah barikade. "Komandan! Target dilumpuhkan!" teriak prajurit kecil.
"Terus bergerak. Jangan biarkan celah," jawab Kaito, suaranya setajam belati.
---
Kembali ke ruangan.
"Apa ini ribut-ribut... di kantor gubernur ini?" ucap Zaid, nada ringan, tapi sorot matanya... menuntut jawaban.
Natasya langsung berdiri dan membungkuk sopan. "Maaf, Pak Gubernur... saya sudah berusaha..."
Zaid tersenyum sabar. "Kamu sudah sangat baik, Natasya. Sisanya biar saya yang urus."
Ia menoleh ke Kaito dan memberi anggukan kecil.
"Ayo, perkenalkan dirimu."
Kaito maju selangkah. Ia tidak perlu menegakkan tubuh, tidak perlu berteriak. Suaranya tenang... namun bergema ke seluruh ruangan.
"Nama saya Kaito. Mulai hari ini, saya akan menggantikan Alke sebagai Guru Terbang selama satu tahun ke depan. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik... atau setidaknya, tidak saling baku tembak sebelum makan siang."
Appolo menyipitkan mata."Wih, gaya ngomongnya... kaya veteran ya."
Mag mengamati Kaito dengan saksama. "Dia... pernah membunuh," gumamnya pelan.
Max mengangguk pelan. "Terlalu tenang buat orang baru... aku gak yakin dia guru biasa."
Anwar menyesuaikan kacamatanya. "Kaito... itu nama yang disebut di dokumen rahasia pemerintah lima tahun lalu... mungkinkah?"
Zaid, dengan gayanya yang tenang seperti biasa, memecah hening.
"Daripada kalian ribut terus, mending ke dapur dulu. Katanya hari ini menunya sop daging. Makan dulu, baru bisa mikir jernih."
Appolo berdiri, senyumnya tipis. "Tawaran bagus."
Max memberi hormat konyol. "Siap, Boss!"
Anwar menunduk sopan. "Terima kasih atas pengertiannya."
Mag menyeringai. "Yuk,kita istirahat sejenak. Tapi nanti... kita bahas lagi ya."
Empat siswa itu keluar, dan suasana ruangan pun mengendap.
Zaid menyender di kursinya, lalu melirik ke arah Kaito.
"Kau lihat? Ini bukan kota biasa."
Kaito menatap jendela, mata hitamnya kosong sesaat.
"Memang. Tapi... aku juga bukan guru biasa."
Angin pendingin ruangan menyebar lembut di antara tirai putih yang menjuntai. Aroma kopi panas dan wangi kayu mengisi udara, menciptakan atmosfer yang seharusnya menenangkan... seharusnya.
Namun suasana di dalam ruangan utama kantor gubernur sedang jauh dari kata "tenang."
Kaito berdiri di hadapan meja besar. Pandangannya menyapu ruangan dengan mata hitam pekat yang dingin tapi tak sepenuhnya beku. Di seberangnya, Zaid, sang gubernur, tersenyum dengan anggun, seperti biasa. Di sisi kirinya, Natasya.
"Aku kenalkan dulu," ucap Zaid ringan. "Ini Natasya, asistenku. Usianya tujuh belas tahun, berasal dari Academic Elizabeth. Dia salah satu siswa termuda yang lulus akademi hukum... dan matematika."
Natasya tersenyum sopan, lalu menunduk sedikit. "Salam kenal, Pak Guru Terbang."
Dalam hati Natasya:
Wah, jadi ini... orang yang katanya menggantikan Alke? Nggak terlihat ramah sih... tapi juga bukan tipe orang yang akan sembarangan menembak...
Kaito hanya mengangguk singkat. "Kenapa kau memilih dia?" tanyanya datar, tidak bermaksud kasar, tapi nadanya seperti air dingin yang baru saja dituangkan ke cangkir kosong.
Zaid tidak terganggu. "Karena dia cerdas... dan jujur. Dua kualitas yang susah dicari hari-hari ini, apalagi di Akarius."
Kaito mendengus ringan. Cerdas, ya... itu bisa jadi aset... atau bencana.
"Lalu," suara Kaito kembali terdengar. "Di mana wakilmu?"
Zaid terdiam sejenak. Senyumnya perlahan meredup, berganti nada serius.
"Dia sedang menyelidiki..." jedanya seolah disengaja. "...kematian Alke."
Kaito memalingkan wajah sedikit, seolah nama itu menabrak dadanya.
"Alke..." bisiknya.
Dalam hati Kaito:
Nama itu... terus menghantuiku. Padahal kita hampir tak pernah bertemu... Tapi aku tahu dia bukan orang biasa. Kalau dia sampai... mati, itu artinya situasinya lebih gawat dari yang mereka katakan.
Tiba-tiba Natasya melangkah maju dengan sebuah alat suntik di tangannya.
"Pak Gubernur, izinkan saya menyuntikkan serum kekebalan tubuh ke Guru Terbang. Ini prosedur standar bagi siapa pun yang baru bekerja di instansi utama... demi perlindungan."
Namun sebelum sempat mendekat, Zaid mengangkat tangan.
"Tidak perlu," ucapnya tenang sambil menunjuk kartu di dada Kaito.
Kartu kecil berwarna abu metalik berinisial "G.T." tergantung di dada Kaito.
Mata Natasya sedikit membesar. "Itu... kartu perlindungan absolut?"
Kaito meliriknya tanpa ekspresi. Mereka masih membuat kartu ini? Kukira sudah dihentikan sejak... insiden dua tahun lalu.
Natasya mundur perlahan. "Maaf... saya tak tahu Anda sudah memiliki perlindungan level itu."
Zaid tertawa kecil. "Itu bukan kartu biasa, Nat. Dia bukan guru biasa."
Kaito mengerjapkan mata. "Kau belum menjelaskan tugas utamaku."
"Oh iya!" Zaid menepuk dahinya seperti baru ingat. "Tahu nggak, kamu masih kayak dulu... to the point banget."
Kaito memicingkan mata. Sejak kapan dia kenal aku 'dulu'? Kita belum pernah bertemu, bukan...?
Zaid duduk di kursinya, lengan bersandar santai. "Baik. Dengar ya, tugas Guru Terbang ada tiga."
Dia mengangkat tiga jari.
"Pertama: kamu menjadi guru biasa di sekolah-sekolah. Mengajar, memberi motivasi, ngobrol sama siswa-ya kayak guru biasa lah."
Kaito mengangkat alis. "Normal... guru biasa?"
Natasya hampir tersedak tawa. "Hehe... kelihatannya gak cocok banget sih diomongin gitu."
Zaid lanjut. "Kedua, kamu bertugas menyelesaikan konflik antar sekolah. Batas wilayah, perjanjian damai, kasus penculikan... semacam perantara."
Kaito mendadak berdiri tegak. "Apa?! Itu semua tanggung jawabku?"
"Yup," jawab Zaid enteng. "Tapi itu... cuma permukaan."
"...Permukaan?"
Zaid menatap langsung ke mata Kaito. "Tugas ketiga-dan terpenting: menyelesaikan semua masalah siswa di kota ini."
Kaito terdiam.
"...Tunggu, SEMUA masalah siswa?!"
Zaid mengangguk. "Betul."
Natasya menambahkan sambil menahan tawa. "Termasuk yang minta bantuan ngerjain PR... atau putus cinta... atau yang aneh-aneh kayak... minta diajarin cara... bikin anak."
"APA?!" Kaito membeku. Matanya melotot.
Zaid tertawa. "Jangan ditanggapi serius! Tapi ya, pernah kejadian..."
Dalam hati Kaito:
Astaga... aku disuruh menyelamatkan kota... sekaligus mengurusi drama pubertas?
Zaid lalu melanjutkan dengan nada agak serius.
"Dan satu lagi. Selama kamu menjadi Guru Terbang... kamu dilarang menggunakan senjata api."
"Hah!?" Kaito menoleh cepat.
Dalam hati Kaito:
Tidak boleh... menggunakan senjata api? Berarti aku tidak boleh menyentuh apa pun yang bisa meledak?! Ini... ini hukuman atau pekerjaan?
Ia menarik napas panjang, matanya menyipit. Namun tidak berkata apa-apa.
---KILAS BALIK---
Hujan deras. Arena pelatihan terbuka dipenuhi percikan air dan api.
Kaito muda-13 tahun-berdiri di tengah hujan, pakaian tempur basah, tubuh kecil tapi sorot matanya tajam.
"Unit Zero, serbu dari kiri. Alpha, tahan perimeter belakang. Jangan beri celah."
Seseorang berteriak panik, "Komandan! Mereka mengepung kita!"
Kaito menatap layar peta hologram.
"Kalau aku jatuh, siapa yang akan berdiri? Kalau aku ragu... siapa yang akan yakin?"
---KEMBALI KE RUANGAN---
Kaito memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali dengan tenang.
"...Dunia memang tak pernah memberi kita pilihan mudah... ya kan?" Gumamnya pelan.
Zaid membuka laci, lalu menyerahkan ponsel hitam.
"Ini alat kerjamu. Ada file lama, laporan guru terbang sebelum kamu, pesan terakhir Alke... semua di sini. Jaga baik-baik. Jangan sampai bocor ke siapa pun, terutama ke sepuluh buronan itu."
Zaid lalu tersenyum. "Selamat datang di Akarius."
Kaito menerima HP itu dan menatapnya seperti benda asing.
"Kenapa rasanya... seperti hidupku dalam bahaya?"
"Karena memang begitu," sahut Zaid enteng.
Natasya tampak khawatir. "Jangan-jangan... nasibmu nanti kayak Alke juga..."
Zaid memalingkan wajah. "Kalau dia mengikuti jejak Alke, maka kemungkinan itu ada."
Kaito memasukkan ponsel ke sakunya, matanya kembali tajam.
"Kalau begitu, aku akan membuat jejakku sendiri."
Zaid berdiri dan menepuk bahunya. "Lantai 6, ruang tidur Guru Terbang. Silakan beristirahat... sebelum dunia siswa mulai menghajarmu."
Kaito mengangguk pelan dan mulai berjalan ke pintu. Saat pintu terbuka, HP-nya bergetar.
Satu pesan masuk.
[Anwar - Oxoford]
"Mohon segera ditentukan batas wilayah sekolah kami dan Primanoel. Situasi makin parah."
Kaito bergumam pelan sambil menatap layar.
"...Mungkin ini... yang harus kuselesaikan lebih dulu."
Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan keheningan samar di ruang megah itu.