Ficool

Garis Waktu Sang Kakak

Main_Character_7059
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
16
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1: Gema Pertama

Kesadaran datang bukan seperti fajar, melainkan seperti sambaran petir di tengah malam yang gelap. Satu detik, aku adalah Budi Santoso, 28 tahun, merasakan benturan keras dan dinginnya aspal jalanan setelah terpeleset genangan oli di depan sebuah ruko. Hidupku yang biasa-biasa saja, penuh dengan "andai saja" dan "coba dulu", berakhir dengan cara yang sama biasanya.

Detik berikutnya... adalah ketiadaan. Lalu, kehangatan yang menyesakkan. Gelap. Aku mendengar detak jantung yang ritmis dan kuat, bukan milikku, tapi di sekelilingku. Suara-suara teredam dari dunia luar terdengar seperti gema di bawah air. Panik mulai menjalari pikiranku yang terasa lamban, terkurung dalam sesuatu yang tidak bisa ku kendalikan. Aku mencoba berteriak, tapi yang keluar hanyalah keheningan.

Kemudian, tekanan itu datang. Dorongan kuat yang mengerikan, lalu cahaya yang menyilaukan dan dinginnya udara yang menusuk. Tangisan melengking pecah, bukan karena keinginanku, tapi refleks dari sepasang paru-paru kecil yang baru pertama kali menghirup oksigen.

Sebuah suara wanita yang penuh kelegaan dan kelelahan berucap, "Anakku... Laki-laki..."

Itu suara Ibu. Tapi... jauh lebih muda.

Wajah-wajah buram mengelilingiku. Aku melihat wajah Bapak, tanpa kerutan dalam di sudut matanya, tersenyum dengan kelegaan yang tulus. Lalu aku mendengar nama itu diucapkan untuk pertama kalinya, sebuah nama yang akan menjadi sangkarku.

"Kita beri nama siapa, Pak?" tanya Ibu.

Bapak berpikir sejenak, menatapku yang terbungkus selimut. "Dia lahir malam hari, tapi wajahnya bersinar terang. Bagaimana kalau... Bintang Arjuna?"

Bukan. Namaku Budi Santoso. Aku ingin meneriakkannya, tapi aku hanyalah seorang bayi. Seorang tahanan dalam dagingku sendiri. Aku, Budi Santoso, telah mati dan dilahirkan kembali sebagai kakak laki-lakiku sendiri—seorang kakak yang seharusnya tidak pernah ada.

Tahun-tahun pertama adalah siksaan dalam gerakan lambat. Aku memiliki pikiran seorang pria dewasa, lengkap dengan segala penyesalan dan pengetahuannya, namun terperangkap dalam tubuh yang bahkan tidak bisa menopang kepalanya sendiri. Aku menyaksikan dunia yang kukenal dari perspektif yang paling rentan.

Aku melihat Mas Doni, yang dalam ingatanku adalah pria dewasa pemalas, kini hanyalah seorang bocah kurus berusia sepuluh tahun yang suka bermain layangan. Aku melihat Mbak Ratna, yang kuingat sebagai ibu tunggal yang lelah, kini adalah seorang gadis kecil berusia empat tahun dengan kuncir dua yang menatapku dengan rasa ingin tahu.

Keluargaku sama seperti yang kuingat: sederhana, penuh kehangatan, namun selalu diintai oleh bayang-bayang kesulitan finansial. Rumah kami kecil, dindingnya perlu dicat ulang, tapi selalu bersih. Namun, ada satu hal yang berbeda dalam garis waktu ini. Aku.

"Anak ini beda sendiri, ya," bisik para tetangga saat mereka menjenguk. "Kulitnya lebih terang, badannya juga kelihatannya bakal tinggi."

"Katanya kakek buyutnya dulu ada yang orang Belanda," sahut yang lain.

Mereka benar. Saat aku mulai bisa melihat bayanganku sendiri di cermin, aku melihat sepasang mata yang lebih tajam, dengan sedikit warna cokelat terang. Rambutku lebih lebat dan tidak selurus rambut kakak-kakakku. Aku adalah sebuah anomali genetik di tengah keluargaku sendiri. Sebuah pertanda bahwa kehadiranku telah mengubah sesuatu secara fundamental.