Sabtu pagi yang biasanya penuh aroma malas kini berubah menjadi pagi paling absurd dalam hidup Rania. Di ruang tamu rumahnya, tersusun kotak-kotak seserahan, jajanan pasar, dan bunga mawar putih yang ditata rapi oleh tim wedding planner Mama.
Padahal... ini bukan lamaran "biasa."Ini... lamaran tanpa cinta.
Rania berdiri di depan cermin, mengenakan kebaya biru muda yang dijahit khusus. Matanya memandangi bayangannya sendiri tampak cantik, anggun, dewasa... tapi hatinya penuh keraguan.
"Cantik banget kamu, Nak," suara Mama terdengar dari belakang.
Rania menatap sang ibu lewat pantulan cermin. "Ma, ini keputusan yang bener, ya?"
Mama tersenyum lembut. "Cinta itu bisa tumbuh. Tapi rasa nyaman dan percaya itu langka, Ran. Kalau kamu sudah punya itu, kadang cinta nggak harus jadi awal."
Rania menggigit bibirnya. Ia ingin percaya, sungguh. Tapi bagaimana caranya mencintai sahabatmu sendiri tanpa takut kehilangan segalanya?
Sementara itu, di ruang tamu rumah Dimas...
"Mas, kamu yakin?" tanya Ibu Dimas sambil merapikan peci anaknya.
"Iya, Bu," jawab Dimas mantap. "Aku nggak pengen lihat Rania nikah sama orang yang bahkan nggak ngerti dia suka kopi pahit atau kenapa dia benci ikan asin."
"Cuma karena itu kamu mau nikah sama dia?" Ibu mencubit pelan lengan Dimas.
Dimas tertawa kecil. "Bukan cuma karena itu. Tapi karena... aku tahu, aku bisa bahagiain dia. Bahkan kalau sekarang belum cinta, aku tahu aku bisa belajar."
Ibu menghela napas dan memeluk anak laki-lakinya erat. "Semoga kamu nggak kehilangan sahabatmu karena pernikahan ini, Mas."
Pukul 10 pagi, keluarga Dimas datang ke rumah Rania. Semua berjalan sesuai adat. Ada tukar hantaran, doa bersama, dan pernyataan lamaran dari pihak keluarga Dimas.
Rania dan Dimas duduk berdampingan, berjarak satu lengan, tangan di pangkuan, wajah menunduk. Tapi sesekali, Rania mencuri pandang ke arah laki-laki di sebelahnya.
Dimas tampak tenang. Terlalu tenang. Bahkan senyumnya tidak berubah sejak awal.
Sementara hati Rania? Seperti roller coaster yang kehilangan rem.
Saat semua sudah selesai dan keluarga besar mulai sibuk dengan makan-makan, Rania menarik Dimas ke samping taman belakang.
"Mas," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kita belum bikin aturan."
Dimas mengerutkan dahi. "Aturan?"
"Iya. Ini kan... 'pernikahan kesepakatan'. Kita harus bikin batasan."
Dimas menyandarkan punggungnya ke tembok. "Oke. Sebutkan."
Rania menghitung dengan jari:
"Satu. Kita tetap jadi teman, tanpa keterlibatan perasaan.Dua. Kita tidur di kamar yang sama, tapi beda ranjang.Tiga. Kita nggak boleh cemburu.Empat. Kita bebas menjalani hidup seperti biasa, asalkan tetap jaga nama baik keluarga.Lima. Kalau suatu saat salah satu dari kita jatuh cinta... kita ngomong duluan."
Dimas terdiam sesaat. Lalu tersenyum tipis.
"Kalau aku jatuh cinta duluan, kamu siap?" tanyanya setengah bercanda.
Rania berpura-pura tertawa. "Nggak mungkin, Mas. Kita temenan. Kamu bahkan tahu aku kentut kalau nervous."
Dimas tertawa lepas. "Itu kelebihan kamu, Ran."
Mereka tertawa bersama. Namun di balik suara tawa itu, ada rasa asing yang mulai tumbuh pelan, samar, tapi nyata.
Rania tidak tahu. Dimas juga tidak sadar.Bahwa hari ini, meski tanpa cinta...Hati mereka sudah mulai bergerak ke arah yang sama.