Bab 4 – Rahasia di Balik Sketsa yang Tertinggal
Adrian telah pergi.
Tapi bayangannya tidak.Senyumnya… tatapannya… dan aroma kayu manis dari gelas yang masih setengah penuh itu — semua masih tertinggal, seperti gema yang enggan padam.
Hana berdiri sendirian di balik meja kasir. Angin sore menerobos dari jendela yang belum sempat ia tutup, mengaduk-ngaduk emosi yang belum sempat ia beri nama.
Lalu, sesuatu menarik matanya.
Sketsa Tanpa Kata
Di atas meja tempat Adrian duduk, ada sebuah buku gambar tipis — terbuka pada satu halaman.
Hana mendekat perlahan.
Dan ketika ia melihatnya, dadanya mencelos.
Itu dirinya.
Tapi bukan hanya gambar wajah. Bukan hanya bentuk tubuh.Di halaman itu, Adrian menggambar momen-momen kecil — Hana menyusun gelas, Hana menguap sambil menyapu, Hana menatap hujan sambil tersenyum kecil.
Setiap gurat pensil seperti memahat perasaan yang tak pernah diucapkan.
Di pojok bawah halaman, tertulis satu kalimat dengan tinta hitam:
"Aku menggambarnya… agar aku bisa mengingat apa itu kehangatan, setiap kali hidup terasa dingin."
Pertanyaan yang Kini Menyesakkan
Hana menatap halaman itu lama. Perutnya bergolak. Ada sesuatu yang menggelitik… antara haru dan ketakutan.
Siapa Adrian, sebenarnya?
Mengapa ia pergi begitu cepat?
Dan kenapa setiap senyumnya… terasa seperti perpisahan yang disamarkan?
Kedai yang Terasa Kosong Tanpanya
Hari berlalu.Esoknya, pukul 7:14 pagi, Hana membuka tirai seperti biasa. Tapi jendela di seberang kosong.
Hari kedua… tetap kosong.
Hari ketiga…Ada bunga di depan pintu kedai.
Bukan buket. Hanya satu bunga kecil: forget-me-not, dengan satu catatan kecil yang terlipat.
Tulisan tangan Adrian.
"Maaf. Ada hal yang harus kuhadapi dulu. Tapi jika takdir mau menungguku… aku akan kembali ke jendela itu."
Diam yang Mulai Membentuk Rindu
Hana menyentuh bunga itu perlahan.Ia tak tahu apa yang sedang Adrian lalui. Tapi kini ia tahu satu hal:
Rindu bisa tumbuh… bahkan dari hubungan yang belum sempat dimulai.