Ficool

Chapter 1 - Prolog

Aku bersekolah di SMK Musik Nusantara Yogyakarta, atau yang akrab kami sebut SMN.

Sebuah institusi kecil di tengah kota budaya, tempat di mana nada dan napas bersatu.

Tempat kami belajar untuk mendengar, bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati.

SMN bukan hanya tentang musik klasik yang agung,

tapi juga jazz yang liar, pop yang lembut, hingga genre-genre yang belum punya nama.

Sekolah ini percaya bahwa suara—apa pun bentuk dan asalnya—layak dipelajari dan dihargai.

Sudah satu tahun aku menempuh jejak di sini.

Tahun pertama, kami dijejali karya para maestro: Bach, Mozart, Vivaldi.

Namun, seiring naiknya jenjang, kebebasan mulai ditawarkan sedikit demi sedikit.

Syaratnya satu: kebebasan tak boleh jadi alasan untuk berhenti belajar.

Pagi ini, sesampainya di sekolah, aku langsung melangkah menuju Ruang Praktek—

tempat sunyi yang penuh gema, tempat di mana nada dilahirkan, salah dan benar bukan musuh, tapi saudara.

Aku mengetuk pintu RP dan mendorongnya perlahan.

Di dalam, Vins—salah satu teman satu ruang praktek ku—sudah lebih dulu hadir. Lagi. Seperti biasa.

"Anjay, Vincent udah sampe cuy."

ucapku dengan senyum lebar. Entah kenapa, meski hampir tiap hari aku mendahului kereta, dia selalu lebih dulu sampai di stasiun ini.

"Ih. Liam."

balasnya pendek, dengan suara berat dan logat yang tidak pernah berubah.

Kami tidak perlu banyak kata.

Biola sudah bicara untukku, dan piano, mungkin, sudah bicara untuknya.

Aku menyiapkan instrumenku seperti biasa:

membuka case biola, menegangkan dawai, menyetel penyangga,

dan membentangkan partitur seperti membuka peta menuju negeri tak kasat mata.

Semuanya dilakukan dengan tangan yang hafal arah,

dan hati yang mencari-cari rasa.

Namun, satu kebiasaanku tak berubah:

Aku jarang berlatih di ruang utama.

Lebih sering aku menyelinap ke ruang praktek murid lain di seberang,

atau mencari ruang kosong yang sunyi dan sepi.

Karena bagiku, latihan adalah perbincangan pribadi antara aku dan suara yang belum sempurna.

Dan perbincangan paling jujur hanya terjadi saat tidak ada yang menyimak.

Menjelang pukul tujuh, aku bersiap kembali ke kelas.

Jam pelajaran teori musik menanti.

Biasanya kami berjalan menuju kelas bersama: aku, Vins, dan beberapa teman se-RP kami.

Kadang tiga orang, kadang enam.

Kami tidak selalu bicara, tapi langkah kami seperti punya tempo yang sama.

Di sepanjang lorong, kami sering bertemu teman dari kelas lain.

Saling menyapa dengan senyum yang belum sempurna terbuka.

Sedikit basa-basi, kadang gurauan pendek,

sebelum akhirnya kami duduk di kelas—

dibalik cahaya matahari pagi yang menerobos masuk.

Dan di hadapan papan tulis yang tak pernah lelah menjelaskan tangga nada.

Disinilah aku menyisahkan separuh masa muda ku, hanya untuk musik? mungkin.

More Chapters