Ficool

Chapter 4 - CHAPTER 03 • Just once

Semua murid mulai berkumpul di area duel, masing-masing menggenggam bilah pedang mereka dengan gugup. Tidak ada yang tahu pasti apa yang direncanakan Guru Bernd hari ini, tapi firasatku—itu bukan hal yang biasa.

Dari tempatku berdiri, aku menatap ke arah sosok guruku—berdiri tegap di tengah arena dengan hanya bermodalkan dua bilah pedang tua yang telah menemaninya entah berapa dekade. Tak ada pelindung di tubuhnya. Bahkan baju tempurnya tampak seperti pakaian biasa.

"Perhatian semuanya…!" Suaranya menggema, dalam dan tegas.

"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan menguji kalian langsung hari ini. Jadi dengarkan baik-baik aturannya—aku tidak akan menggunakan sisi tajam pedangku. Hanya bagian belakang yang tumpul. Tapi kalian... kalian akan menggunakan sisi tajam."

Ia mencabut satu pedang lain dari punggungnya dan menancapkannya ke tanah, logamnya bergetar pelan saat menyentuh batu.

"Dan satu hal lagi…" Pandangannya menyapu kami semua, seakan menilai setiap inci keberanian di wajah kami.

"Orang terakhir yang masih berdiri… akan mewarisi salah satu dari dua pedangku."

Hening. Satu detik. Dua detik. Suasana berubah drastis. Tegang. Mencekam.

Veteran perang seperti dia? Dilawan secara beramai-ramai? Bahkan dengan seluruh kelas sekalipun, peluang kami nyaris nol.

Tapi tetap saja, satu per satu, kami mulai menyerang.

Dua murid menyerbu dari kanan, tiga dari depan, sisanya mengikuti—semua serempak menebas ke arah Bernd.

Namun…

Satu ayunan cepat.

Empat orang tumbang.

Langkahnya nyaris tak terdengar, dan tubuhnya seperti kabur saat bergerak. Ayunan pedangnya akurat, tanpa ampun—meski tak satu pun yang memakai sisi tajam.

Satu per satu rekan-rekanku jatuh, mengerang di tanah.

Mereka belum sempat memahami pola geraknya, belum sempat membaca langkahnya—dan sudah terluka.

Dua menit berlalu. Tak satu pun dari kami berhasil menyentuhnya.

"Gila… dia monster…" gumam salah satu murid sebelum roboh.

Sementara aku—

Aku berdiri membeku. Napasku memburu.

'Kenapa… kenapa aku nggak bisa menggapainya?'

'Tidak, Aren. Fokus. Tenangkan diri. Pasti ada celah. Selalu ada…'

Aku pejamkan mata. Menarik napas panjang.

Tenang… dengarkan aliran langkahnya. Rasakan arah anginnya...

"...Kau bisa. Rasakan kehadirannya."

Suara hatiku seperti gema jauh yang memanggil kesadaranku untuk bangkit.

Mataku terbuka perlahan.

Dan di saat itulah—

Bernd sudah ada tepat di sisiku.

Ayunan pedangnya meluncur cepat ke arah pinggangku—cepat dan tenang, seperti embusan angin panas yang mematikan.

Mataku mencoba menyesuaikan—mencari celah dari gerakannya yang nyaris mustahil diikuti.

Tubuhku berusaha merespons, bergerak secepat mungkin untuk menghindari tebasan itu.

Whuum!

Refleksku menyelamatkanku di detik terakhir—aku berhasil menghindar ke samping, tapi…

BRUGH!

Sebuah hantaman tak terlihat menghantam tubuhku.

Aku terlempar beberapa langkah ke belakang, terguling di tanah, terbatuk oleh hempasan tekanan udara yang dihasilkan dari tebasan guruku barusan.

Napas tercekik. Bahuku nyeri. Kakiku gemetar.

"Sial…" Aku mengerang, menahan sakit sambil memaksa diri berdiri.

"Aku sudah menghindar... Tapi kenapa...?"

Tubuhku memang tidak tertebas, tapi serangannya tetap mengenai.

Bukan karena bilah pedangnya... tapi karena udara di sekitarnya. Karena tekanan dari tebasan itu.

'Itu… bahkantidak.. Ini belum.. aku harus berdiri dan bertahan. "

Aku berdiri menopang tubuh dengan pedang ku, sembari menyeimbangkan tubuh dan merasakan kembali aliran dari pergerakan guru. 

"Tenang.. Tenang rasakan "

Syappp! 

Dalam sekejap dikembali melompat ke arah ku mengayunkan pedang nya tepat di belakang tubuhku.

"Tenang… ,"

Secara reflek tubuh ku bergerak mengayunkan pedang dan menangkis serangan nya. 

Namun tetap saja aku masih sedikit terpental oleh tekanan nya. 

 belum menyentuhku secara langsung…'

"Tidak… Ini belum berakhir…"

Aku menggeram pelan, memaksa tubuhku bangkit meski lututku gemetar.

Dengan sisa tenaga, kutancapkan pedangku ke tanah sebagai penopang. Nafasku masih memburu, tapi aku memejamkan mata, mencoba menenangkan pusaran pikiran dalam kepalaku.

Rasakan alirannya… Jangan lihat... Dengarkan…

"Tenang... Tenang... Rasakan..."

Ting!

Suara gesekan angin. Tubuhku langsung bereaksi.

Syapp!

Dalam sepersekian detik, sosok Bernd kembali muncul di belakangku—gerakannya nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Tapi kali ini... aku siap.

"Sekarang!"

Tubuhku berputar secara refleks, pedangku terangkat dan—Clang!

Tebasan tumpul Bernd berhasil kutangkis tepat waktu.

Namun...

BRUGH!

Aku kembali terdorong beberapa langkah. Kaki ku menyeret tanah, tubuhku limbung. Tapi tidak jatuh.

Kali ini aku bertahan.

Bernd menatapku dengan senyum tipis di wajahnya.

"Sepertinya hanya kau yang tersisa, Nak…"

Suaranya tenang, tapi entah kenapa justru membuat bulu kudukku merinding.

"Aku menghargai tekadmu."

Ia melangkah maju satu langkah, suaranya lebih berat. "Dan untuk itu... aku akan sedikit serius."

Tangan kanannya mengangkat pedang tua itu, dan—WUSHH!—kobaran api mulai menjalar dari pangkal hingga ke ujung bilahnya.

"Berhati-hatilah, Nak."

Tanpa aba-aba, Bernd menghilang dari pandanganku. Dalam sekejap, ia sudah berada tepat di sampingku—pedangnya menyapu udara dengan suara mendesis tajam.

Gila! Dia secepat ini sekarang?!

Aku melompat ke samping, menghindar. Tapi belum sempat menarik napas, serangan berikutnya sudah datang. Dan yang berikutnya. Dan berikutnya lagi.

Ini bukan kecepatan manusia…

Setiap ayunan terasa seperti badai. Keras. Panas. Tanpa ampun.

Langkahku mulai goyah. Nafasku memburu.

T-tidak… Aku belum selesai! Aku bisa!

Bernd bergerak sekali lagi. Gerakannya seperti kilatan—dan kali ini, aku terlambat.

Reflekku menuntun pedangku terangkat untuk menangkis. Tapi...

CRAANG!!

Suara logam retak memenuhi udara. Bilah pedangku—patah.

Tubuhku terpental, melayang di udara sebelum terhempas keras ke tanah.

BUKH!

Rasa sakit menyengat dadaku. Tapi... aku bangkit. Kaki gemetar, tubuh penuh luka, tapi aku tetap berdiri.

Satu... dua detik...

DRAP.

Lututku akhirnya tak mampu lagi menahan beban. Aku jatuh, terkapar di tanah, menatap langit dan kemudian aku pingsan akibat kelelahan. 

Bernd Arvayne

Untuk sesaat, aku terdiam di belakangnya.

Anak ini… kau.

Kau akan menjadi orang hebat, Nak.

(senyum tipis menyelinap di wajahku)

Aku membalikkan badan, menatap tubuhnya yang terkapar tak sadarkan diri.

Perlahan aku berlutut, meraba nadinya — masih ada. Denyutnya lemah, tapi stabil.

Dia sudah melewati batasnya… dan tetap bertahan.

"Hey, kalian…"

Aku berdiri, menatap murid-murid lain yang masih sadar.

"Bawa dia ke ruanganku. Sekarang."

Langkahku pelan menuju pedang yang tadi kutancapkan di tengah arena.

Pedang tua yang telah menemaniku bertahun-tahun, kini bergetar samar seolah tahu apa yang akan terjadi.

Kutatap bilahnya sejenak, sebelum mencabutnya dari tanah.

"...Kuharap kau bisa menjadi partner terbaik baginya." gumamku lirih, hanya untuk didengar oleh logam tua itu.

Dengan satu tarikan napas, kubawa pedang itu bersamaku. Menuju ruanganku. Menuju anak itu.

Setidaknya sekali dalam hidupku…

Aku ingin melihat—

Seseorang yang bisa melampauiku.

More Chapters