Ficool

Chapter 8 - Eps8: Ujian Takdir

Pagi itu, embun masih menggantung di ranting-ranting kristal saat Abbas, Zera, dan Elira bersiap meninggalkan Kota Aurath. Tujuan mereka: Kuil Cermin Jiwa, sebuah tempat kuno yang tersembunyi di Pegunungan Terselubung, dan hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki Cahaya Jiwa.

Di balik ketenangan kabut pagi, udara mengandung ketegangan. Elira tampak lebih diam dari biasanya, sementara Zera berulang kali memeriksa busurnya.

Abbas menggenggam medali Solara di lehernya. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar fisik. Ia akan melihat masa lalu… dan masa depan dan mungkin, sesuatu yang belum siap ia hadapi.

Perjalanan ke Pegunungan Terselubung

Selama tiga hari mereka melewati hutan berkabut dan lembah berduri. Varn, dalam wujud kudanya, terus berjaga. Kadang-kadang berubah menjadi wujud manusianya Seorang anak laki-laki ceria berusia sekitar 14 tahun, yang tak pernah kehilangan senyum.

"Kau siap, Abbas?" tanya Varn saat mereka tiba di kaki gunung.

"Sejak aku menyentuh lampu itu… aku tak pernah benar-benar merasa siap," jawab Abbas jujur.

"Bagus," kata Varn sambil tertawa kecil. "Karena tempat ini tidak menerima orang yang terlalu percaya diri."

Kuil Cermin Jiwa

Kuil itu tersembunyi di balik air terjun yang mengalir terbalik. Dindingnya terbuat dari kristal, memantulkan bayangan siapa pun yang mendekat bukan dari luar, tapi dari dalam.

Kaelus telah memperingatkan mereka: "Cermin Jiwa tidak menunjukkan apa yang kau inginkan. Ia menunjukkan yang seharusnya kau lihat."

Saat pintu kuil terbuka, Abbas masuk seorang diri. Elira dan Zera menunggu di luar, sesuai aturan. Tak seorang pun boleh menemani Penjaga di dalam ujian.

Penglihatan

Di dalam kuil, Abbas dikelilingi cermin raksasa. Tapi yang ia lihat bukanlah dirinya melainkan bayangan hidupnya.

Ia melihat dirinya sebagai anak kecil, menangis di rumah yang berantakan. Ayahnya menghilang. Ibunya sakit. Ia tumbuh di lorong-lorong dunia yang menelannya diam-diam.

Lalu ia melihat peristiwa saat ia dipecat, saat ia tidur di jalan, dan akhirnya saat ia menemukan lampu itu.

Tapi kemudian, bayangan berganti. Ia melihat masa depan:

Dirinya berdiri di atas puing-puing Elarion, sendirian.

Elira jatuh dalam pelukannya, tubuhnya hancur oleh kegelapan.

Dan terakhir, dirinya... kembali ke dunia lama, di bangku taman yang sepi, menatap bintang yang tak pernah dia sentuh lagi.

Air mata mengalir. "Apakah... ini takdirku?"

Dari bayangan, suara bergema:

"Takdir bukan untuk ditakuti. Tapi untuk dipilih."

Keluar dari Kuil

Ketika Abbas keluar, tubuhnya gemetar. Namun di matanya kini ada cahaya baru. Ia tidak datang untuk menghindari masa lalu, atau memperbaiki hidupnya sendiri.

Ia di sini… untuk menjaga harapan dunia ini tetap hidup, meski harus membayarnya dengan dirinya sendiri.

Elira menatapnya penuh cemas. "Apa yang kau lihat?"

Abbas hanya menjawab pelan, "Akhir. Dan alasan untuk melawan sampai akhir itu tiba."

More Chapters