Rumah kayu dua lantai itu berdiri tenang di tepian kota kecil yang sejuk. Udara pagi menyelusup pelan lewat celah jendela yang terbuka separuh. Sinar matahari menari-nari di lantai kayu, membentuk pola yang hangat dan menenangkan. Di luar, burung-burung kecil berkicau ceria dari pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah warna.
Lerkov duduk santai di kursi goyang di serambi rumah, mengenakan kaos tipis dan celana santai kain lembut. Di tangannya ada mug putih berisi kopi hitam yang masih mengepul. Ia menatap ke depan, memandangi halaman kecil dengan pagar rendah dan semak lavender yang sedang mekar. Udara pagi hari ini terasa segar, seperti lembaran buku baru yang belum disentuh.
Tiba-tiba, dari dalam rumah terdengar suara khas yang ia kenal baik.
"Bang, bang! Roti bakarnya… agak gosong sedikit!"
Suara itu diiringi aroma toast yang sedikit terlalu matang. Lerkov tersenyum kecil, lalu berdiri dan berjalan masuk ke rumah.
Nilan sedang berdiri di dapur dengan ekspresi gugup sekaligus bangga. Cewek kecil itu memakai celemek besar berwarna kuning, hampir menutupi seluruh tubuhnya. Di meja dapur, sudah ada dua piring. Roti bakar (satu agak kecoklatan, satu lainnya... yah, bisa dibilang agak ekstra panggang), telur mata sapi bentuk hati, dan segelas jus jeruk yang penuh sampai tumpah sedikit di sisi gelas.
"Harusnya jadi sarapan kejutan," ucap Nilan pelan. "Tapi ovennya nyebelin…"
Lerkov tertawa kecil dan mengusap kepala adiknya yang berantakan kena tepung. "Nil, ini kejutan terbaik hari ini."
Mereka duduk berdua di meja makan kecil yang menghadap jendela. Sinar matahari jatuh pas di atas meja, membuat semuanya terlihat hangat. Lerkov menggigit roti bakar buatan Nilan dan—walaupun keras di bagian pinggir—ia mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Enak," katanya.
"Beneran?" Nilan menyipitkan mata, curiga.
"Banget. Rasa sayangnya bikin lupa rasa arangnya," balas Lerkov sambil mengedipkan mata. Nilan tertawa, lalu ikut makan.
Mereka makan dalam diam yang nyaman, hanya diiringi suara burung dari luar dan jam dinding yang berdetak pelan. Jus jeruk terasa dingin dan segar. Telur mata sapi itu walau bentuknya miring, terasa pas sekali di pagi yang sederhana ini.
Setelah selesai makan, Nilan bersandar di bahu Lerkov, membawa buku cerita yang semalam belum sempat dibaca. Lerkov menyambutnya, lalu membacakan cerita sambil sesekali mengubah suara jadi lucu. Nilan terkikik, lalu pelan-pelan mulai mengantuk lagi, meski matahari sudah tinggi.
"Bang…" gumam Nilan setengah mengantuk. "Kalau setiap hari kayak gini… aku senang banget."
Lerkov tersenyum, menatap wajah adiknya yang mulai terlelap di bahunya. "Aku juga," bisiknya.
Di luar, angin menerpa pelan tirai putih, membuatnya melambai-lambai seperti melukis udara. Hari itu tenang, damai, dan penuh dengan hal-hal kecil yang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Rumah itu, bagi mereka berdua, bukan sekadar bangunan—tapi tempat di mana hati bisa pulang, dan pagi bisa dimulai dengan roti gosong dan tawa kecil.
Angin pagi masih sejuk saat Lerkov menutup pagar kecil di depan rumah. Ia mengenakan jaket tipis dan syal krem yang dililit santai. Di sebelahnya, Nilan melompat-lompat kecil dengan hoodie biru dan tas selempang berbentuk kelinci.
"Mau beli roti manis, kan?" tanya Lerkov sambil melirik adiknya yang sedang sibuk melongok ke dalam tasnya.
"Iya! Tapi aku juga mau yang isinya cokelat cair," jawab Nilan cepat. "Kemarin aku mimpi rotinya bisa nyanyi…"
Lerkov tertawa pelan. "Kalau bisa nyanyi, jangan-jangan kamu malah nggak tega makan."
"Hmm… tergantung lagunya!" Nilan nyengir lebar.
Jalanan pagi itu masih lengang. Daun-daun di pohon trembesi bergetar lembut tertiup angin. Cahaya matahari menembus sela-sela cabang, memantul di bebatuan jalan dan bunga-bunga liar di pinggir trotoar. Di kejauhan, suara lonceng toko mulai berdentang, menyambut pembukaan hari baru.
Mereka melewati taman kecil di tengah kota. Di situ, beberapa orang tua sedang duduk di bangku panjang, menikmati teh hangat dan ngobrol pelan. Seekor anjing kecil mengejar bola di antara rumput, dan anak-anak kecil tertawa sambil menggambar di paving dengan kapur warna-warni.
"Bang, nanti kalau udah tua… abang pengin ngapain?" tanya Nilan tiba-tiba.
"Hm, ngerajut mungkin," jawab Lerkov asal.
Nilan melongo. "SERIUS?"
"Ya kali enggak. Abang bikin syal, kamu yang pakai. Nanti abang kasih nama: Syal Si Roti Gosong."
Nilan ngakak sampai harus berhenti jalan sebentar. "Ya ampun, bang… itu syal atau kutukan?"
Akhirnya mereka tiba di depan toko roti kecil bernama "Grain & Butter". Toko itu punya jendela kaca besar dengan tulisan kapur Fresh from the oven! di sudutnya. Di dalam, aroma hangat adonan panggang, gula karamel, dan mentega langsung menyambut mereka.
"Selamat pagi!" sapa pemilik toko, seorang ibu paruh baya berambut cepol. "Hari ini ada roti cinnamon swirl baru, lho!"
Nilan langsung mendekat ke rak kaca yang dipenuhi roti berbagai bentuk. Matanya bersinar. "Bang, liat deh! Yang ini bentuknya kayak siput beneran!"
Lerkov berdiri di belakangnya sambil tersenyum. "Boleh dua yang itu, satu isi cokelat cair, dan… yang itu yang bentuknya kayak bintang laut."
Saat roti-roti itu dibungkus dengan kertas bergaris cokelat dan diikat tali kecil, Nilan sudah menyiapkan koin-koin dari dompet kelincinya. Ia menghitung dengan serius, lalu menyerahkan ke kasir dengan senyum puas.
Keluar dari toko, mereka duduk di bangku taman dengan kantong kertas hangat di pangkuan.
Nilan menggigit roti pertamanya dan langsung mengangguk-angguk puas. "Enak banget. Ini tuh... kayak pelukan tapi versi roti."
Lerkov mengambil roti cinnamon dan mengunyah pelan. "Setuju. Mungkin kalau pagi punya rasa, ya rasa roti ini."
Angin meniup pelan rambut Nilan, dan matahari menyinari wajah mereka. Di sekitar, kota tetap tenang, orang-orang berjalan pelan tanpa tergesa. Tak ada alarm. Tak ada kebisingan.
Hanya pagi yang hangat, roti manis, dan kakak-adik yang menikmati hidup… satu gigitan bahagia dalam satu waktu.
