Ficool

Chapter 3 - 3

Keesokan harinya, seorang gadis berkepang dua dengan kacamata tebal dan riasan tipis sedang bersiap untuk hari pertamanya bekerja di perusahaan RIC Group. Mia, yang tak ingin mengecewakan Pak Biromo, berdiri di depan cermin dengan napas tertahan—harapan dan gugup bercampur jadi satu

Waktu nyaris habis. Dengan langkah cepat dan degup jantung yang tak beraturan, Mia berlari kecil tanpa menyadari ada Agnes yang sedang menghadangnya.

Namun tanpa ia sadari—brak!

“Gedebug!”

Tubuh Mia terhuyung dan jatuh terduduk di lantai, meringis sambil memegangi pergelangan kakinya yang terkilir.

"Aduh...!" desisnya pelan.

Dari arah depan, seorang wanita berambut ikal sebahu berdiri dengan senyum sinis—Agnes.

"Kurang ajar!" pekik Mia, amarahnya meledak. Ia mencoba berdiri dan melayangkan tangan ke arah Agnes.

Namun Agnes cepat menepisnya.

"Apa? Mau menamparku?" dengusnya.

"Lucu. Kamu yang jatuh, tapi malah menyalahkanku?"

Agnes membungkuk santai dan mengambil sesuatu dari lantai—tas Mia.

"Aku nggak sengaja kok. Kamu aja yang terburu-buru kayak orang kesurupan. Aku cuma mau ambil ini," katanya sambil mengangkat tas itu dengan gaya mengejek.

"Kembalikan tasku, Agnes!" bentak Mia, matanya membara.

"Jangan macam-macam!"

"Kakakku yang buruk rupa," bisik Agnes sambil mencengkram dagu Mia dengan kasar, "apa susahnya sih memberiku sedikit uang? Kamu kan punya, kan? Jangan sok pelit."

Matanya menyorot tajam, penuh kebencian dan dendam lama yang belum padam.

"Dan tolong, jangan melawan. Karena kalau kamu berani... kamu pasti tahu akibatnya," lanjutnya, suaranya pelan tapi mengandung ancaman yang menusuk.

Tanpa menunggu jawaban, Agnes membuka tas Mia dan menyambar dompet di dalamnya.

"Aku rasa... uang ini cukup untuk hari ini," katanya sinis sambil menghitung lembaran uang tunai.

"Jangan!" seru Mia, terperanjat. Ia berusaha merebut kembali uang yang dipegang Agnes.

"Itu uang transportasiku selama sebulan, Agnes! Jangan ambil semuanya!"

Agnes mendorong Mia mundur. Dengan mata mencibir, ia mengibaskan uang itu di udara.

"Dasar brengsek! Kembalikan uangku!" teriak Mia, amarahnya tak terbendung.

"Jangan harap," balas Agnes tajam. "Barang yang sudah ada di tanganku... otomatis jadi milikku. Itu prinsipku."

Ia tertawa kecil, mengejek, seolah menikmati penderitaan Mia.

"Cih. Dasar pengemis," balas Mia dengan nada rendah, penuh hinaan, suaranya bergetar karena menahan marah. "Hidupmu cuma bergantung pada uang orang lain. Menyedihkan."

Mata Agnes menyipit. Seketika, senyum sinis di wajahnya sirna, digantikan tatapan dingin yang mematikan. Ruang sempit itu kini terasa mencekam, seakan ada badai yang siap meledak kapan saja.

Emosi Agnes meledak seketika saat mendengar hinaan Mia. Matanya membelalak, dadanya naik turun menahan amarah. Ia melangkah maju, jarak antara mereka hanya sejengkal.

“Berani-beraninya kau berkata begitu!” desis Agnes.

Plakkk!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mia. Suaranya nyaring, menggema di ruangan yang tiba-tiba sunyi.

Mia terdiam, wajahnya menoleh ke samping, pipinya memerah. Ia menahan napas, jemarinya perlahan menyentuh kulit yang perih. Matanya menatap lurus ke arah Agnes—dingin, tapi penuh bara.

“Terima kasih atas tamparan menariknya pagi ini...” gumam Mia, suaranya rendah namun tajam. “Tapi izinkan aku mengembalikannya.”

Plakkk!

Kali ini giliran tangan Mia melayang, keras dan tanpa ampun. Tamparan itu membuat Agnes limbung, lalu jatuh terduduk ke lantai, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah.

Mia menunduk, mendekati Agnes, dan mengambil kembali uang yang masih tergenggam di tangan adiknya itu.

“Bagaimana tamparanku? Cukup berkesan?” bisiknya dingin, hampir seperti tantangan.

Ia menepuk-nepuk lembut pipi Agnes yang masih terkejut, lalu berdiri tegak.

“Sampai jumpa, adikku. Kalau kau tak suka dengan tamparan barusan, tunggulah aku pulang kerja. Siapa tahu ada hadiah lainnya.”

Dengan langkah tegas dan kepala tegak, Mia meninggalkan rumah, meninggalkan Agnes yang masih terduduk di lantai—terdiam antara amarah dan rasa malu.

Mia melangkah cepat keluar rumah dengan sisa amarah yang masih mengendap di dadanya. Tapi kali ini ia tak punya waktu untuk tenggelam dalam konflik—pekerjaan barunya menanti.

Sebuah mobil hitam elegan dengan logo RIC Group terparkir di depan rumah. Supir berseragam hitam turun dan segera membukakan pintu belakang.

"Silakan, Nona Mia," ucap sang supir dengan sopan, sedikit membungkuk.

"Terima kasih, Pak," sahut Mia sambil masuk ke dalam mobil.

Begitu pintu tertutup, Mia menatap jam di pergelangan tangan.

"Pak, tolong langsung ke kantor RIC Group. Gunakan semua akses tercepat. Saya tidak ingin terlambat di hari pertama," ujarnya tegas namun tetap sopan.

"Baik, Nona."

Supir itu mengangguk, lalu menginjak pedal gas. Mobil melaju stabil menyusuri jalan-jalan kota.

Di dalam kabin yang tenang, Mia membuka laptop tipis dari tas kerjanya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menjelajahi sistem, menelusuri struktur internal RIC Group.

Nama pemilik, jajaran direksi, divisi-divisi kunci, laporan keuangan, bahkan skandal tersembunyi lima tahun lalu...

Semua dengan mudah ia akses.

Sebagai mantan hacker lepas, mencari celah dan menelaah data adalah keahlian alaminya.

"Hmph. Jadi ini perusahaan tempatku bermain sekarang," bisiknya dengan senyum kecil penuh perhitungan.

Setelah merasa cukup, Mia menutup laptopnya dan merapikan penampilannya. Tak lama kemudian, suara sang supir membuyarkan lamunannya.

"Permisi, Nona. Kita sudah sampai di kantor RIC Group."

Supir itu kembali membukakan pintu dengan ramah. Mia mengangguk singkat.

"Terima kasih, Pak," ujarnya sambil mengambil tas dan dokumen dari kursi di sampingnya.

Ia menatap gedung megah di depannya—berlapis kaca hitam mengilap, dengan logo RIC Group yang menjulang angkuh.

Langkah Mia mantap. Ia tahu, dunia yang akan ia masuki penuh permainan, intrik, dan kuasa. Tapi dia sudah siap.

Sangat siap.

Mia segera melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Di perusahaan RIC Group, ia kini menjabat sebagai asisten pribadi CEO, menggantikan posisi sementara yang ditinggalkan oleh asisten utama Rico yang tengah cuti panjang.

Begitu memasuki lobi kantor, tatapan-tatapan sinis langsung menghujaninya. Pakaian sederhana yang ia kenakan tampak jauh dari kesan modis, dan riasan wajahnya yang polos justru mengundang cibiran dari beberapa karyawan yang berlalu lalang.

Namun Mia sama sekali tak menggubris semua itu. Fokusnya hanya satu: bekerja dengan baik dan membuktikan kemampuannya.

“Huft, akhirnya aku sampai tepat waktu,” desahnya pelan saat duduk di balik meja kerjanya. Ia membuka laptop, menarik napas dalam, lalu mulai bekerja dengan tekun.

“Aku akan mulai dari menyusun ulang jadwal pertemuan klien. Untuk rapat-rapat yang menurutku tidak krusial... ya, masuk daftar hitam saja,” gumamnya sambil mengetik cepat dan teliti, menyusun agenda baru untuk sang CEO.

Mia mengeluarkan buku agendanya dan mulai menyalin jadwal yang telah ia susun dari laptop ke dalam catatan manual. Baginya, mencatat secara tertulis memberi rasa kontrol dan keteraturan yang lebih baik.

Saat ia tengah serius mencatat, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Seorang pria tinggi, tampan dengan aura dominan masuk dengan langkah tergesa.

Rico.

Tatapannya langsung tertuju pada Mia yang duduk di mejanya. Ia tampak terkejut, bahkan sedikit kesal.

“Siapa kamu? Kenapa kamu ada di ruanganku?” tanyanya dengan nada curiga.

“Sa—” Mia hendak menjelaskan, namun belum sempat kata-katanya selesai, suara dering ponsel memotong percakapan mereka.

Rico melirik layar dan segera menjawab panggilan itu. Ekspresinya langsung berubah serius, lalu gelap.

Mia hanya bisa menatap sekilas, namun cepat-cepat kembali fokus ke agendanya. Ia tahu tempatnya bukan ikut campur dalam urusan pribadi atasannya—apalagi saat Rico terlihat sedang berbicara dengan nada yang semakin tinggi.

“Aku nggak peduli dengan alasanmu! Dasar bocah tengik! Lebih baik kamu turuti semua kemauanku. Kalau tidak, jangan pernah bermimpi jadi ahli waris keluarga Biromo!” terdengar suara pria tua yang marah-marah dari seberang telepon, cukup lantang hingga sampai ke telinga Mia.

Rico mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras, menahan emosi yang nyaris meledak.

“Baiklah... Kali ini aku akan menuruti kemauanmu,” jawabnya lirih namun tegas, menutup pembicaraan itu dengan nada getir.

Mia pura-pura tidak mendengar. Ia melanjutkan pekerjaannya dengan tenang dan tekun. Ia bukan tipe yang suka menunda.

Baginya, menyelesaikan tugas dengan cepat, tepat, dan sempurna adalah prinsip yang tak bisa ditawar—bahkan ketika drama keluarga sedang terjadi di sekitarnya.

Setelah perdebatan panas di telepon, Rico mengakhiri percakapannya dengan cepat. Ia melempar ponselnya ke atas meja dengan gerakan frustrasi. Ruangan itu kini sunyi.

Namun bukan ketenangan yang ia rasakan—melainkan tekanan. Gerak-geriknya, kini terasa dipantau... bahkan di ruang kerja pribadinya sendiri.

Keberadaan Mia, asisten barunya, seperti duri dalam daging. Ia merasa diawasi, dibatasi. Ia tak bisa lagi sebebas dulu membawa wanita masuk ke ruangannya—semua akan tercatat dalam pandangan si “asisten polos” itu.

Namun Mia tampak tidak peduli sama sekali.

Tatapannya fokus ke layar laptop, jemarinya sibuk mengetik, sesekali mencatat sesuatu di buku agendanya. Ia bahkan tak memperlihatkan rasa ingin tahu sedikit pun terhadap apa yang baru saja terjadi.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya jam makan siang tiba. Mia bangkit dari kursinya, membawa satu dokumen penting yang harus segera ditandatangani.

Dengan langkah mantap, ia mengetuk pintu ruang kerja dan masuk.

“Permisi, Tuan Rico,” sapanya sopan, tangannya menggenggam dokumen yang sudah ia siapkan.

Rico melirik sekilas tanpa antusias. “Hmm... Ada apa? Kalau kamu ingin makan siang atau istirahat, tak perlu melapor padaku,” sahutnya dingin.

“Saya tidak ingin melaporkan hal itu,” jawab Mia tenang. “Saya hanya ingin menyerahkan dokumen penting ini. Tuan harus menandatangani kontrak kerja sama dengan S.H Group hari ini, sesuai jadwal.”

Rico menatap Mia sejenak sebelum menerima dokumen itu tanpa banyak bicara.

“Terima kasih. Kamu boleh pergi,” ucapnya singkat, matanya sudah beralih ke halaman pertama dokumen.

“Kalau begitu, saya permisi menggunakan waktu istirahat,” ujar Mia dengan sopan sebelum berbalik.

“Silakan,” sahut Rico tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang kini menjadi fokus barunya.

Saat Mia melangkah keluar, Rico sempat mendongak sebentar, menatap punggung asistennya yang menjauh. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita itu—tenang, disiplin, dan tidak terpengaruh omongan orang. Dan justru karena itulah, kehadirannya terasa begitu mengganggu.

Begitu keluar dari ruang kerja, Mia segera melangkah ke arah kantin karyawan. Jam istirahat hanya satu jam, dan ia bertekad memanfaatkannya sebaik mungkin.

Saat memasuki kantin, matanya langsung membelalak kagum. Ruangan luas itu dipenuhi dengan meja-meja bersih, deretan makanan yang tampak lezat, dan suasana yang jauh dari kata sederhana.

“Wah... kantin ini besar dan pilihan makanannya mewah. Aku bisa betah kerja di sini,” gumam Mia, matanya berbinar. Sebagai pecinta kuliner, ini jelas jadi bonus tersendiri baginya.

Namun euforia itu tak berlangsung lama.

“Sepertinya wanita itu karyawan baru... menjijikkan sekali,” bisik sinis seseorang dari sudut kanan ruangan. Suaranya cukup keras untuk terdengar oleh beberapa orang di sekitar—termasuk oleh Mia sendiri.

Mia menghentikan langkahnya, menoleh pelan. Senyum sinis terbit di wajahnya.

“Hugh... bisa-bisanya mulut sampah berkoar-koar di perusahaan besar seperti ini,” bisiknya, sengaja ia ucapkan cukup keras saat mendekati sumber suara itu.

Wanita bernama Zahwa—berdandan menor, dengan tas bermerek yang tampak mencolok—menoleh dengan ekspresi marah. “Kurang ajar!”

Tangannya terangkat, bersiap melayangkan tamparan ke arah wajah Mia.

Namun Mia sigap. Ia menangkisnya dengan satu gerakan cepat.

“Ups. Maaf, tanganmu tidak pantas berada di pipiku,” sahutnya dengan tatapan tajam dan dingin.

Keributan itu sontak menarik perhatian para karyawan lain di kantin. Beberapa bahkan sudah mulai merekam diam-diam dengan ponsel mereka.

Saat suasana memanas, seorang wanita bertubuh gemuk dan berkacamata menghampiri mereka dengan langkah cepat.

“Zahwa, hentikan!” ucapnya tegas, nada suaranya tenang namun penuh tekanan.

“Cih, bukan urusanmu! Kamu tidak usah ikut campur, buntelan kentut!” balas Zahwa tajam, menatap wanita itu dengan jijik.

Namun wanita itu tak gentar. “Kamu justru sedang mempermalukan diri sendiri. Lihat sekelilingmu, Zahwa,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Mata Zahwa berkeliling... dan saat itu juga ia menyadari puluhan pasang mata sedang menatapnya—sebagian dengan tatapan kasihan, sebagian lagi mengejek.

Rahangnya mengeras, amarahnya makin tak terbendung.

“Awas kamu! Aku pastikan kamu akan menderita karena sudah berani menyenggolku!” ancamnya, menunjuk Mia dengan penuh kebencian.

“Apa? Ngancam?” sahut Mia, mendekat tanpa gentar. Tatapannya setajam belati. “Silakan. Saya tunggu ancamanmu. Tapi kamu salah orang kalau pikir saya akan takut.”

Ketegangan di udara semakin menebal, namun kini semua mata tertuju pada satu hal: keberanian Mia.

Melihat pertengkaran yang hampir memanas, Nadia segera menarik lengan Mia, menjauhkannya dari Zahwa sebelum situasi makin buruk.

“Mia, ayo pergi dulu dari sini,” bisik Nadia sambil menggandengnya dengan cepat.

Zahwa hanya bisa memandangi mereka dengan tatapan membara. Giginya bergemeletuk karena kesal—belum pernah ada yang berani menantangnya seperti itu, apalagi di depan umum.

Begitu sampai di sudut kantin yang agak sepi, Nadia melepaskan napas panjang, lalu menepuk pelan pundak Mia.

“Sudah, jangan hiraukan dia. Zahwa memang selalu begitu—cari masalah setiap ada wajah baru. Kalau nggak ditanggapi, dia biasanya akan bosan sendiri,” ujar Nadia lembut, mencoba menenangkan.

Mia hanya mengangguk kecil, senyumnya kembali mengembang saat Nadia merangkul bahunya.

“Sekarang mending kita fokus cari makan. Daripada urusin kompor meleduk itu... nanti perut kita malah meledak beneran karena lapar!” canda Nadia sambil memegang perutnya yang besar dan bulat.

Mia terkekeh. “Kamu benar juga. Yuk, cari menu yang paling enak dan makan yang banyak. Butuh tenaga buat hadapin orang-orang kayak Zahwa.”

Nadia tertawa renyah, “Sepertinya kita satu frekuensi deh—sama-sama hobi makan.”

Mia menyikut pelan lengan Nadia. “Kayaknya begitu.”

Setelah beberapa langkah, Mia teringat sesuatu. Ia berhenti sejenak dan menoleh pada Nadia. “Oh iya, kita belum saling kenal resmi. Aku Mia. Makasih ya, sudah nolongin aku tadi.”

Nadia tersenyum hangat, lalu menjabat tangan Mia dengan mantap. “Aku Nadia. Dan kamu nggak perlu sungkan. Percayalah, Zahwa itu memang harus dikasih pelajaran. Kalau nggak, dia akan terus merasa paling berkuasa dan suka membully karyawan baru. Dunia kerja kayak gini... selalu ada aja yang merasa dirinya senior, lalu jadi semena-mena.”

Mata Nadia memancarkan ketegasan, namun suaranya tetap bersahabat.

Mia mengangguk setuju. Ia merasa beruntung mengenal Nadia hari ini. Di tengah lingkungan kerja yang keras dan penuh pandangan merendahkan, ternyata masih ada sosok yang bisa menjadi teman sekaligus pelindung.

Dan mungkin... ini adalah awal dari persahabatan yang tak terduga.

Setelah makan siang yang penuh tawa dan kehangatan bersama Nadia, Mia kembali bergegas menuju ruang kerjanya. Senyum masih mengembang di wajahnya—hari ini, untuk pertama kalinya sejak bekerja di RIC Group, ia merasa memiliki sekutu.

Namun begitu pintu ruang kerja dibuka, senyum itu lenyap seketika.

Pandangan matanya langsung tertumbuk pada pemandangan tak pantas—dua sosok yang tengah bermesraan di atas sofa kerja. Mia membeku, matanya membelalak, dan rasa jijik langsung menyeruak.

“Sial... mataku ternodai oleh adegan bos playboy ini,” batinnya, refleks hendak membalikkan badan dan segera keluar.

Namun suara dingin menahannya di tempat.

“Berhenti.”

Suara itu tajam, tenang, dan penuh kuasa. Suara yang seolah bisa menghentikan waktu.

Mia menelan ludah, lalu perlahan membalikkan tubuhnya. “Ada apa, Tuan?” tanyanya dengan datar, mencoba tetap tenang meski hatinya ingin melabrak pria itu.

Rico berdiri, merapikan bajunya dengan malas. Tatapannya menusuk.

“Cih, kamu bahkan nggak sadar kesalahanmu apa,” katanya, melangkah perlahan mendekati Mia, gerak-geriknya seperti predator yang hendak menerkam.

Mia mengerutkan kening. “Kesalahan?” batinnya bingung.

“Masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu. Apa kamu pikir kamu bisa seenaknya di sini?” cecar Rico, kini berdiri tepat di hadapannya.

Mia menahan napas sejenak, lalu membungkuk sedikit. “Maaf, Tuan. Saya tidak tahu jika Anda sedang... menerima tamu. Saya akan keluar. Sekali lagi, saya minta maaf.”

Namun Rico malah menyeringai. “Tidak perlu. Saya sudah tidak bernafsu lagi,” ucapnya ringan, seakan kalimat itu biasa keluar dari mulutnya.

Mia mengerjapkan mata, menatap pria itu dengan jijik yang tak bisa disembunyikan.

“Dih... cowok brengsek. Nggak ada malunya bicara kotor seperti itu,” gumamnya pelan, namun cukup untuk membuat Rico mendengarnya.

Rico sempat melirik, sejenak terdiam. Namun alih-alih marah, ia malah tertawa kecil—tawa yang terdengar seperti penghinaan.

“Mulai sekarang, ketuk pintu. Dan ingat posisimu, Mia,” ujarnya sebelum berjalan kembali ke meja kerjanya, membalikkan punggung.

Mia menghela napas panjang, menahan amarah yang menggelegak di dalam dada.

“Aku akan tetap bekerja dengan profesional, tapi bukan berarti aku bisa dihina semaumu,” gumamnya dalam hati.

Rico berjalan pelan menghampiri wanita yang barusan ia “hibur” di ruangannya. Wajah sang model yang tadi penuh senyum manja kini tampak kesal, namun tetap berusaha bersikap anggun.

Dia adalah wajah terkenal di berbagai billboard dan majalah fashion, namun saat ini—di hadapan Rico—dia tak lebih dari seseorang yang berusaha mempertahankan harga diri di balik gengsi semu.

“Kamu boleh pergi sekarang. Aku masih punya banyak pekerjaan yang lebih penting,” ucap Rico datar, tangannya menyibak rambutnya dengan malas.

Wanita itu mendengus pelan, bersiap untuk mengenakan jaket tipisnya, namun langkahnya terhenti saat mendengar kalimat lanjutan dari pria arogan itu.

“Dan soal bayaran—lupakan. Kita sudah sepakat. Kalau kamu tak bisa memuaskanku, jangan harap dapat sepeser pun.”

Tatapan Rico menusuk, dingin dan tak berperasaan.

Wajah sang model seketika memerah. Bukan karena malu, tapi karena marah. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa dipermalukan.

“Sial... semua ini gara-gara perempuan culun itu. Merusak kesempatanku dan membuat uangku lenyap begitu saja,” batinnya penuh amarah. Namun ia tidak berani berkata apa-apa di hadapan Rico, hanya membalikkan badan dan melangkah cepat ke luar ruangan, menahan rasa malu yang membakar.

Begitu pintu tertutup, Rico menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. Pandangannya kemudian beralih kembali ke arah Mia, yang masih berdiri di dekat meja kerjanya sambil membereskan berkas-berkas yang tertinggal.

Langkah Rico menghampiri Mia terdengar berat, menekan—seolah membawa amarah yang belum tuntas.

“Aku belum selesai bicara denganmu,” ucapnya tajam, membuat Mia berhenti sejenak, tapi tetap tidak menoleh.

“Silakan, Tuan Rico,” balas Mia singkat tanpa ekspresi, mencoba tetap tenang.

Rico berdiri di hadapannya, mata mereka bertemu. Tatapan Rico penuh penilaian, seakan sedang mengukur batas kesabaran wanita di depannya.

“Kamu mengganggu urusanku tadi. Kalau kau memang ingin bertahan di sini, belajar jaga sikap dan tahu tempatmu,” ucap Rico tegas.

Mia membalas tatapan itu, tak gentar. “Saya di sini bekerja, bukan mengurusi urusan pribadi Anda, apalagi... urusan di sofa,” katanya dengan nada tenang tapi penuh sindiran.

“Saya tidak mau mendengarkan penjelasanmu,” ujar Rico dingin, berdiri di hadapan Mia. “Lain kali, ketuk pintu sebelum masuk ke ruanganku.”

Mia yang masih menahan amarah hanya menatap tajam, lalu menyahut sinis, “Kalau tak mau terekspos, seharusnya pintunya dikunci.”

Tatapannya menusuk. “Mata saya yang suci ini tercemar oleh kelakuan Anda, Tuan.”

Rico terdiam sesaat. Jawaban Mia barusan seperti tamparan yang telak—bukan karena nada suara, tapi karena keberanian yang tidak biasa dari seorang bawahan.

Senyum miring terbit di wajahnya. “Kau mulai membuatku penasaran, Mia.”

Mia tidak membalas. Ia hanya mengambil dokumen yang telah selesai ia atur, lalu menunduk singkat. “Jika tidak ada yang perlu saya bantu lagi, saya permisi.”

Rico terdiam sejenak, matanya menyipit. Ucapan Mia terlalu berani untuk seorang bawahan.

“Sial... wanita ini sungguh berani memarahiku. Padahal aku bosnya,” batin Rico dengan gemas.

Namun dia menahan diri. Ia tahu—jika ia ribut dengan Mia dan sampai terdengar ke telinga Pak Biromo, ayahnya tak segan menindak tegas. Bahkan mungkin bisa “memenggal” reputasinya sendiri.

Rico hanya memandangi punggung Mia yang perlahan menjauh. Di balik tatapannya, ada sesuatu yang belum bisa ia jelaskan. Bukan sekadar amarah... tapi rasa tertarik yang muncul justru dari keberanian dan keteguhan wanita culun yang tidak tunduk padanya.

“Sudahlah. Aku tak ada waktu untuk berdebat dengan orang sepertimu,” cetus Rico sambil berbalik dan menjatuhkan diri ke kursi kerjanya. “Kerjakan semua dokumen yang aku minta. Sekarang.”

Mia mendengus, lalu duduk kembali ke kursinya sambil melirik sekilas ke arah Rico. “Dasar bos aneh,” gumamnya pelan, tapi cukup jelas terdengar.

Sambil membuka laptop, Mia membatin penuh kekesalan.

“Aku harus cepat menyelesaikan pekerjaanku. Semakin lama di sini, makin banyak hal menjijikkan yang harus kulihat. Mata ini bisa rusak permanen.”

Rico yang masih kesal menatap Mia yang beberapa kali melirik ke arahnya. “Kenapa kamu terus melirik? Naksir, ya?”

Mia langsung menoleh, menatap Rico dengan sorot malas. “Terlalu memuji dirimu sendiri, Tuan. Saya ini sedang melihat layar laptop, bukan objek tak penting seperti Anda.”

Rico terbatuk pelan, tak percaya mendengar balasan sepedas itu dari karyawannya sendiri.

“Kamu! Saya ini atasanmu. Jaga sikap dan bicaramu,” tegurnya keras.

Namun Mia hanya mengangkat alis, lalu menjawab tenang, “Atasan saya itu Pak Biromo. Dan yang menggaji saya juga Pak Biromo. Bukan Anda. Jadi, mohon maklum kalau saya tidak tunduk begitu saja.”

Rico terdiam. Amarahnya memuncak, tapi ia tahu posisinya terlalu rapuh untuk mengambil risiko.

Mia kembali membungkuk ke layar laptopnya, menggerutu pelan, “Kalau bukan karena Pak Biromo, mungkin aku sudah kabur dari tempat ini. Kerja sama pria mesum itu? No thanks.”

Rico menggertakkan gigi. Ada yang mendidih di dadanya. Bukan hanya karena dihina—tapi karena Mia berbeda. Tidak takut, tidak tunduk, dan... itulah yang membuatnya semakin tak bisa mengabaikannya.

Namun ia tetap bungkam. Untuk sekarang, ia harus menahan diri.

Karena meski ia adalah CEO sementara, Mia memiliki pelindung yang jauh lebih kuat—ayahnya sendiri.

Mia melirik sekilas ke arah Rico yang kini diam membisu. Ia merasa menang—setidaknya untuk hari ini, pria mesum itu tidak lagi mengganggunya.

Tanpa menghiraukannya lagi, Mia kembali fokus pada pekerjaannya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menyelesaikan laporan dengan cepat dan rapi.

Sementara itu, Rico telah selesai menandatangani semua dokumen yang menumpuk di mejanya. Ia memutar lehernya sejenak, lalu berkata datar,

“Kalau tugasmu sudah selesai, pulanglah. Jangan lama-lama di sini.”

Mia menghentikan gerakannya. Matanya menyipit.

“Kamu mengusirku?” tanyanya, tegas.

Rico menyandarkan punggung ke kursinya, tersenyum miring sambil memainkan pulpen di tangannya.

“Siapa bilang aku mengusirmu? Aku hanya menyarankan agar kamu istirahat lebih cepat. Sebagai bos yang baik, tentu aku tak mau karyawanku kelelahan. Nanti aku bisa dituduh menindas, kan?” sindirnya, dengan nada licik yang dibungkus kepura-puraan manis.

Mia mengehela napas panjang sambil mulai membereskan mejanya.

“Tidak penting. Mau kamu baik, mau kamu sok dermawan, saya tak peduli,” ucapnya dingin.

Ia menatap Rico tajam.

“Yang saya tahu, kamu adalah bos aneh dan mesum.”

Rico mencelos. Untuk sesaat, diam membatu di tempat. Pulpen di tangannya terhenti. Ia tahu ia memang dikelilingi banyak wanita. Ia tahu ia tampan dan karismatik. Tapi baru kali ini ada seorang bawahan yang berani mengoloknya terang-terangan—dan menyebutnya ‘mesum’ pula.

“Sial… wanita ini benar-benar tak tahu tempat,” batinnya, amarah mulai menggelegak.

Mia tak peduli. Ia menggenggam tas kecilnya dan melangkah mantap menuju pintu.

Sementara Rico hanya menatap punggung Mia yang semakin menjauh.

Ia menggertakkan gigi, menahan ledakan emosi yang sudah sampai ubun-ubun. Tapi dia tahu, satu langkah salah... dan nama Bos Playboy yang sudah melegenda itu bisa berubah jadi Bos Pemangsa, jika sampai kena kasus di bawah pengawasan ayahnya.

"Aku akan buat dia tunduk suatu hari nanti... Tapi bukan sekarang," batinnya dalam diam.

Mia melangkah keluar dari RIC Group tanpa menoleh sedikit pun. Bagi dia, hari ini adalah kemenangan kecil—dan kemenangan itu cukup untuk membuatnya bertahan.

More Chapters