Ficool

Chapter 4 - 3. RED BRACELET

Liane menatap tangannya yang tampak kemerahan. Pemandangan itu begitu jelas dalam ingatannya, seolah baru saja terjadi. Malam tadi, dalam tidurnya, ia bermimpi seseorang dengan lembut memakaikan gelang merah di pergelangan tangan kirinya. Mimpi yang begitu hidup dan nyata. Liane meremas jari-jarinya, mencoba memahami apa yang baru saja dirasakannya.

"Apa aku berhalusinasi? Tapi kenapa rasanya begitu jelas? Mustahil mimpi bisa seserupa itu. Siapa lelaki tampan itu?" gumamnya, kebingungan. Ia merasakan sebuah getaran aneh di dadanya, perasaan yang sulit dijelaskan. Seolah ada sesuatu yang mengikat dirinya dengan peristiwa itu, meskipun ia tak tahu pasti apa itu.

Di sebelahnya, sebuah sapu tangan usang dengan motif bunga mawar tergeletak. Liane memungutnya, meraba lembut kain itu. Ia tidak pernah begitu tertarik dengan benda ini sebelumnya. Sapu tangan itu hanya ia bawa karena terjatuh di jalan saat hujan semalam, dan ia menggunakannya untuk mengelap sepatu yang basah. Namun kini, setelah melihat lebih dekat, ukiran mawar merah di sapu tangan itu begitu memukau. Keindahannya menyentuh hati Liane tanpa alasan yang jelas.

"Sebenarnya kenapa aku membawa lap ini?" gumamnya lagi, dengan suara pelan, sambil memandangi sapu tangan itu lebih seksama. Ia tidak tahu mengapa benda yang semula tampak sepele kini terasa begitu penting.

Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, tetapi Liane masih duduk di pinggir lapangan, tak bergeming. Ia asyik mengamati para murid yang tengah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Tanpa sadar, matanya beralih pada seorang lelaki tinggi tegap yang tengah berjalan melewati lapangan. Ada sesuatu yang familiar dari sosoknya.

"Itu kan lelaki yang kemarin pakai motor Chopper? Ternyata dia tinggi juga ya," ujar Liane tanpa sengaja, sedikit tersenyum melihat pemuda jangkung itu. Tak lama setelah itu, suaranya yang familiar terdengar tepat di belakangnya.

"Lian, aku mau bicara sesuatu sama kamu," suara itu begitu jelas, dan begitu dikenalnya.

Liane menoleh dengan cepat. Begitu melihat siapa yang memanggil, ekspresinya berubah drastis. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi kebencian. Di depannya, berdiri seorang lelaki dengan raut wajah memelas, seseorang yang pernah sangat berarti baginya.

"Maaf, aku nggak punya waktu. Aku sibuk," kata Liane dengan nada ketus, berusaha menghindari percakapan yang tak ingin ia lakukan.

"Tapi ini penting, Lian. Please, sekali aja dengerin penjelasanku," lelaki itu memohon, mencoba mendekatkan diri.

Liane menghela napas dengan kasar, tidak sabar. "Gak ada yang perlu dijelasin! Semua udah jelas kalau kamu selingkuh, Remon!" jawabnya dengan suara yang cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh penasaran.

"Itu nggak benar, sayang. Cely bukan pacarku. Kemarin kamu cuma salah paham," Remon mencoba membela diri, mencoba meyakinkan Liane dengan penuh harap.

"Jangan panggil sayang! Lagipula aku udah nggak percaya sama kamu lagi!" Liane bersikukuh, suaranya terdengar tegas dan penuh amarah.

"Kasih aku kesempatan sekali lagi, aku mohon, Lian. Aku sayang banget sama kamu," Remon kali ini sangat memohon, ada nada putus asa dalam suaranya.

Liane merasa tubuhnya dipenuhi rasa jijik. Tanpa berkata apa-apa, ia mendorong Remon menjauh. Ia tahu, ini hanya permainan—sebuah manipulasi belaka. Remon sudah beberapa kali mengecewakannya, dan kini ia tidak ingin kembali terjebak dalam kebohongan yang sama.

"Alah, basi tau nggak!" Liane akhirnya berlari meninggalkan Remon yang terlihat semakin cemas, mengejar Liane dengan langkah tergesa-gesa.

Tapi Remon tidak menyerah. Ia berlari mengejar Liane dan berhasil menarik tangannya dengan kasar. "Aw, sakit, Remon! Lepasin tangan aku, sakit!" teriak Liane, merasakan nyeri yang tajam di pergelangan tangannya.

Remon tetap tidak melepaskannya. "Lo ngerasa hebat, hah? Lo ngerasa paling cantik di sini? Lo nggak lebih dari seorang perempuan tanpa ayah sialan! Lo haus kasih sayang!" teriak Remon, suaranya memuncak, penuh kebencian yang terpendam.

Liane terkejut mendengar kata-kata itu. "Terus kenapa kalau aku nggak punya ayah? Aku bukan anak haram, kamu nggak pantas disebut pria! Omongan kamu aja hina! Dasar lelaki gila!" kata Liane dengan penuh amarah, melepaskan diri dari cengkeraman Remon dan berlari pergi.

Setelah Liane pergi, Remon berdiri terpaku, menyesali kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Matanya menatap kepergian Liane, dan ada perasaan bersalah yang mendalam dalam dirinya. "Maafin aku, Lian. Aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu," ucapnya pelan, namun suaranya hilang tertelan angin.

Di sisi lain, Setra yang sedari tadi menyaksikan drama itu hanya tertawa kecil, tidak merasa terlibat. Ia menonton dengan penuh minat, menikmati setiap drama yang terungkap di depan matanya.

"Dasar bocah labil," ujarnya dengan nada meremehkan, merasa tidak ada yang lebih menggelikan daripada pertengkaran sepasang kekasih yang tampak begitu penuh drama.

***

-Bukit alam mimpi

Liane duduk di atas bukit yang luas, terhampar hijau dan indah. Rumputnya yang lembut bergoyang perlahan diterpa angin sepoi-sepoi. Gaun putihnya tampak mempesona, berkelip dalam cahaya matahari yang mulai meredup, seakan dipenuhi sentuhan magis dari dunia yang hanya bisa ia temui dalam mimpi. Di sampingnya, seekor kelinci kecil terbaring nyaman di gendongannya, membuat suasana semakin damai. Liane tersenyum, merasakan kebahagiaan yang aneh dan tak terbantahkan, seperti berada di tempat yang sangat familiar meskipun ia tahu ini semua adalah mimpi.

"Entah kenapa aku merasa bahagia sekali, ini seperti bukan mimpi," ucapnya lirih, sambil memejamkan matanya, membiarkan angin menyentuh wajahnya, meresap ke dalam jiwa, membawa ketenangan yang sulit dijelaskan. Senyum manisnya terlihat begitu tulus, seolah seluruh dunia berpihak padanya di tempat ini.

Namun, tiba-tiba, suara berat yang dingin memecah kesunyian. "Jangan tersenyum, gadis kecil!"

Liane membuka kelopak matanya perlahan, terkejut mendengar suara itu. Matanya bertemu dengan sosok pemuda yang berdiri tak jauh darinya, memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kenapa aku nggak boleh senyum? Aku jelek?" tanya Liane dengan nada ingin tahu, sedikit merasa tersinggung, tapi juga penasaran dengan pemuda di depannya.

Setra menggelengkan kepalanya, menatapnya dengan ekspresi serius. "Bukan, kamu kelihatan cantik kalau sedang senyum, dan aku nggak menyukainya," jawabnya, suaranya datar namun mengandung sebuah perasaan yang tak mudah dipahami. Mendengar itu, wajah Liane langsung memerah, seakan ada percikan api yang menyentuhnya.

"Kenapa kamu nggak menyukaiku? Aku bahkan nggak pernah ganggu kamu," tanya Liane, sedikit bingung dengan sikap pemuda ini.

Setra menghela napas, seolah berat menjelaskan. "Bukan kayak gitu. Hanya saja, kamu terlalu cantik, aku takut nanti ada orang yang menyukaimu," jawab Setra, suaranya terdengar lebih lembut meski tetap ada ketegasan di dalamnya.

Liane memalingkan wajahnya, merasa malu. Perasaan yang tak biasa muncul begitu saja, membanjiri hatinya dengan keraguan yang tiba-tiba datang. "Kapan kamu mau anterin aku pulang? Aku udah puas bermain di sini," ujar Liane, mencoba mengalihkan pembicaraan, meskipun hatinya berdegup lebih cepat.

Setra menggeleng dengan tegas. "Mau pulang kemana? Kamu mau ninggalin aku sendiri? Bukannya aku udah bilang kalau kamu milikku?" tanyanya dengan tatapan tajam, memandang Liane seolah ia adalah sesuatu yang sangat berharga baginya.

Liane terdiam, matanya tak bisa lepas dari wajah Setra yang penuh keinginan yang sulit dijelaskan. "Lalu kita bakal di sini selamanya? Kamu gila? Aku mau pulang ke rumah sekarang," jawabnya, suaranya penuh dengan ketegasan, namun di dalam hatinya ada keraguan yang terus mengganjal.

"Antarin aku pulang, ya," ucap Liane lagi, kali ini suaranya lebih lembut, penuh harap.

Setra menatapnya lebih dalam, sejenak terdiam. Liane bisa merasakan tatapan itu seperti menusuk langsung ke jantungnya. Tanpa sadar, tangan Setra terangkat, menyentuh lembut pipi Liane, merasakan kehalusan kulitnya yang mulus. Liane merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Sesuatu yang tak bisa ia kontrol.

"Bisa tutup matamu sebentar, gadis kecil?" suara Setra terdengar lebih berat kali ini, penuh dengan perasaan yang sulit ditafsirkan.

Liane bingung, tapi hatinya terhanyut oleh suara itu. "Memangnya ada apa?" tanyanya, meskipun ia merasa ada sesuatu yang tak biasa terjadi.

"Tutup saja, hanya sebentar," jawab Setra lagi, kali ini suaranya lebih mendesak, membuat Liane merasa seperti berada di dunia yang berbeda.

Liane menutup matanya perlahan, tak tahu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan lembut di bibirnya. Sebuah ciuman yang terasa kenyal dan hangat, seolah dunia berhenti sejenak. Liane ingin menarik diri, tetapi tangan Setra menahan kepalanya dengan lembut dari belakang, tidak memberinya kesempatan untuk menghindar. Dalam sekejap, Liane menyadari bahwa ciuman pertama yang ia impikan telah direnggut oleh seorang lelaki yang bahkan tidak ia kenal.

Air mata tanpa sengaja mengalir dari pelupuk matanya, meskipun ia tahu ini hanya mimpi, semuanya terasa sangat nyata. Setra terkejut melihat air mata itu, dan segera melepaskan bibirnya, bingung dan sedikit kelimpungan.

"Hey, kamu kenapa nangis?" tanya Setra, cemas.

"Itu ciuman pertamaku! Kenapa kamu mencurinya? Kamu jahat!" jawab Liane dengan suara sesenggukan, air matanya tak bisa ditahan lagi. Setra hanya bisa tersenyum kecil, terkejut dengan reaksi gadis itu.

"Jadi itu ciuman pertamamu?" tanya Setra, suaranya kali ini penuh dengan kehangatan.

Liane hanya mengangguk, meskipun wajahnya penuh dengan air mata. Setra tersenyum lebih lebar dan merangkul Liane dengan lembut, menenangkan gadis itu dengan pelukan hangat. Ia mengusap pelan pucuk kepala Liane, membelainya dengan lembut.

"Jangan nangis lagi. Kamu berikan ciuman pertamamu kepada orang yang tepat," kata Setra, suara lembutnya menenangkan Liane.

"Mulai sekarang kamu resmi jadi milikku dan aku milikmu, mengerti?" bisik Setra di telinga Liane, suaranya bergetar penuh emosi.

Jantung Liane berdegup kencang, telinganya berdenging. Kata-kata itu seolah terngiang di seluruh tubuhnya. Ia merasa seperti terbang, namun sebelum ia bisa meresapi semuanya, matanya terbelalak dan ia terbangun dari mimpinya yang indah.

Kembali ke dunia nyata...

Liane terbangun dengan terkejut, suara berisik dari luar mengganggu tidurnya. Ketika ia menyentuh bibirnya, tangan bergetar, mencoba mencari kenyataan apakah semuanya itu benar-benar terjadi. Jantungnya berdetak normal, dan matanya tak menangis. Semua itu hanya mimpi, bukan kenyataan. Tetapi kenapa rasanya begitu nyata?

"Ini benar-benar gila! Aku udah gila! MAMAH TOLONG AKU, AKU UDAH GILA!" Liane berteriak, berlari keluar kamar dengan gelisah.

Ia tiba di ruang tengah, di mana orang tuanya tengah asyik bermain monopoli. Anne tersenyum melihatnya. "Kamu kebangun? Mau ikut main?" tanyanya, santai.

Liane hanya menggeleng, masih terkejut dengan mimpi yang baru saja dialaminya. "Aku tidur lagi aja," jawabnya cepat, kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan dirinya.

Namun, hatinya masih bergetar. Mimpi itu, lelaki itu—semuanya terasa begitu nyata. Liane duduk di ranjang, menutup mulutnya, mencoba menenangkan dirinya. "Tenang, ini cuma mimpi. Ciuman pertamamu nggak dicuri sama siapapun! Tenang, Lian, itu cuma mimpi," ucapnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hatinya yang masih penuh gejolak.

More Chapters