Ficool

Chapter 6 - Arc 5: Menembus Langit

Chapter 34 – Langkah Menuju Menara yang Tersembunyi

Hujan abu turun perlahan dari langit kelabu saat Roky berdiri di atas reruntuhan sebuah benteng tua yang pernah menjadi perbatasan antara Kerajaan Manusia dan Kerajaan Langit. Benteng itu kini kosong, ditinggalkan setelah kekalahan besar dalam pertempuran terakhir. Aroma logam dan tanah terbakar masih melekat di udara.

Di belakangnya, berdiri enam sosok dari ras yang berbeda—sekutunya yang masih bertahan, meskipun dunia memaksa mereka menjadi musuh. Lira si elf, dengan luka yang masih membalut sisi wajahnya. Gorak, orc bertubuh besar dengan senjata patah yang tetap ia bawa seolah mewakili pertempuran yang tak pernah usai. Veera, iblis bersayap gelap yang matanya kini lebih lembut dibandingkan saat mereka pertama bertemu. Dan lain-lain—beastkin, dwarf, naga manusia, semua bersatu bukan karena kepercayaan, tapi karena harapan terakhir.

"Menara Langit," ucap Roky lirih, menatap jauh ke pegunungan berlapis kabut. "Kita harus menembus tujuh lapisan penjagaannya. Dan setiap lapisan dijaga oleh satu ras."

"Artinya kita harus melawan saudara kita sendiri," sahut Veera pelan. "Atau… menghancurkan mereka."

Roky menggenggam liontin tua yang dulu ia temukan di puing gereja. Di dalamnya, simbol sembilan ras terukir—melambangkan kesatuan yang dulu diajarkan padanya sebagai utopia. Kini, ia sadar: dunia bahkan tak mengizinkan mereka bermimpi soal itu.

"Aku tidak ingin membunuh," katanya. "Tapi aku akan melakukannya… jika itu satu-satunya jalan membuka mata mereka."

Gorak mendengus. "Mereka tidak akan mendengar kata-kata. Mereka percaya pada darah. Dunia ini dibentuk oleh pertempuran, bukan oleh perdamaian."

"Karena itu kita harus ubah cara berpikirnya," kata Lira. "Bukan hanya membakar tembok, tapi juga membakar pemikiran yang membuat tembok itu dibangun."

Roky mengangguk. "Mereka bilang Menara Langit hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki darah suci. Tapi aku punya semuanya. Mereka tak bisa menyembunyikan kebenaran dari seseorang seperti aku."

Mereka mulai berjalan menuruni lembah. Di kejauhan, puncak menara mulai terlihat samar—tersembunyi di balik ilusi, dijaga oleh sihir kuno yang hanya bisa ditembus oleh kesadaran diri yang utuh.

Saat malam turun, mereka tiba di Gerbang Pertama, penjagaannya berasal dari Ras Dwarf—dengan benteng batu dan artileri berat. Tak ada sambutan. Hanya senjata yang diarahkan, dan wajah-wajah keras yang menolak berdialog.

Seorang lelaki tua berdiri di depan gerbang. Janggut peraknya menyapu dada, dan matanya menyala keemasan.

"Roky dari Dunia Luar," katanya. "Kami tahu kau akan datang. Dan kami tahu mengapa kau datang. Tapi dunia ini tidak dibangun untukmu."

"Aku tahu," jawab Roky. "Itu sebabnya aku datang untuk menghancurkannya."

Sebuah jeda sunyi menggantung. Lalu sang tua itu mengangkat tangan, dan tanah di bawah mereka bergetar. Mekanisme batu bergerak. Dari bawah tanah, pasukan keluar—golem hidup, mesin perang kuno, dan ratusan prajurit berzirah hitam.

"Jika kau bisa melewati kami tanpa menghancurkan satu pun jiwa, maka kau layak naik ke tingkat berikutnya. Tapi jika kau membunuh… maka kau sama seperti kami."

Roky menatap sekutunya. "Kita harus bertarung. Tapi bukan untuk membunuh. Kita lawan… untuk membuka mata mereka."

Lira mengangkat busurnya. Gorak memutar kapaknya. Veera tersenyum pahit dan mempersiapkan sihir gelapnya—kali ini bukan untuk membinasakan, tapi untuk melumpuhkan.

Pertempuran pertama dimulai bukan dengan teriakan, tapi dengan diam. Sebuah tarian antara kekuatan dan niat. Setiap pukulan Roky bukan untuk membunuh, tapi untuk menjatuhkan tanpa menghilangkan nyawa. Namun, itu menjadi semakin sulit saat pasukan dwarf menggunakan formasi bunuh diri—lebih memilih mati daripada menyerah.

Di tengah medan perang, Roky menjerit. "BERHENTI! AKU TIDAK INGIN MEMBUNUH KALIAN!"

Suara itu menggema, bergema, dan dalam sekejap, golem-goelm berhenti. Di atas menara, sang tua memandang ke bawah dengan sorot mata berkaca.

"…Kau… mematahkan kutukan kami. Selama ini kami percaya hanya kematian yang dapat membuktikan kesetiaan. Tapi kau… membuktikan yang sebaliknya."

Gerbang batu perlahan terbuka. Roky jatuh berlutut, kelelahan. Sekutunya diam, luka-luka tapi hidup.

Satu lapisan telah terbuka. Enam lagi menanti.

Dan langit tampak sedikit lebih cerah.

Chapter 35 – Gerbang Kedua: Bangsa Naga yang Tertidur

Kabut abadi menyelimuti kaki pegunungan Esmirath, tempat Gerbang Kedua berada. Tanah ini tidak dijaga oleh tembok atau pasukan, melainkan oleh alam itu sendiri—dingin yang membekukan tulang, angin yang melolong seolah memiliki nyawa, dan langit yang tak pernah memperlihatkan matahari.

Roky dan kelompoknya bergerak perlahan di antara jurang dan dinding es yang menjulang. Di sinilah ras Drakenn, bangsa naga berwujud manusia, tidur dalam hibernasi panjang, menjaga jalan ke Menara Langit dengan satu hukum: siapa pun yang membangunkan mereka, harus menghadapi amarah mereka.

"Kita tidak bisa bertarung melawan naga," gumam Lira. "Tidak dengan kondisi kita sekarang."

"Lalu bagaimana caranya melewati mereka tanpa membangunkan mereka?" tanya Gorak, menyeringai getir. "Mereka bisa mencium darah dari satu kilometer jauhnya."

Veera menyipitkan mata. "Mereka tidak akan terbangun karena kehadiran. Mereka terbangun karena niat. Kalau kita datang dengan niat perang, mereka akan bangkit."

Roky memejamkan mata. Ia mencoba meredam gejolak dalam dirinya—amarah yang belum padam, rasa bersalah atas darah yang telah tumpah, ketakutan akan kegagalan. Tapi satu hal ia yakini: jika dirinya adalah gabungan dari semua ras, maka bagian dari dirinya juga adalah naga.

"Biarkan aku yang jalan duluan," kata Roky pelan.

Ia menapaki jalan setapak menuju altar es tempat segel naga diukir dalam pusaran simbol kuno. Suhu menurun drastis. Nafasnya mengembun, kakinya gemetar, tapi langkahnya tak berhenti.

Saat Roky menyentuh segel, matanya terbuka lebar. Sebuah suara masuk ke kepalanya—dalam bahasa yang bukan bahasa, dalam makna yang bukan makna.

"Keturunan kami, bukan dari darah, tapi dari kehendak. Siapa engkau yang menyentuh gerbang tanpa hak?"

"Aku adalah semua yang kalian hindari," jawab Roky dalam hati. "Dan semua yang kalian lupakan. Aku bukan naga. Tapi aku juga naga."

Suara itu terdiam, lalu dunia berguncang. Dari langit yang membeku, sayap-sayap terbentang. Sosok bersisik perak turun perlahan dari awan, ukurannya menutupi lembah, matanya seperti dua matahari redup.

Seekor naga tua—raja dari kaum Drakenn—mendarat di hadapan Roky.

"Manusia berdarah sembilan. Kau adalah paradoks. Kau seharusnya tak pernah ada."

"Aku tahu," jawab Roky. "Tapi aku ada. Dan aku datang bukan untuk menghancurkan. Aku datang untuk menyatukan."

Naga itu menyeringai, menunjukkan taring raksasanya.

"Setiap yang datang ke sini berkata sama. Tapi setiap dari mereka terbakar."

Roky maju satu langkah.

"Bakar aku jika itu buktinya. Tapi jika aku bertahan… izinkan aku lewat."

Suasana menjadi hening. Naga tua itu membuka mulutnya, dan dari dalamnya, semburan api putih menyala seperti bintang jatuh. Semua orang menjerit. Lira mencoba maju, Veera menyiapkan sihir pelindung, tapi Roky hanya berdiri diam.

Api menyelubunginya. Tubuhnya terbakar… namun tak hancur.

Sesuatu dalam dirinya aktif—sebuah aliran darah kuno, kekuatan yang hanya muncul ketika sembilan elemen bersatu. Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan, dan dari dalam dirinya, sisik naga samar muncul sekejap… lalu menghilang.

Api berhenti.

Naga tua mengangguk.

"Kau bukan kebetulan. Kau adalah pesan."

Ia menoleh ke langit, dan dari balik kabut, gerbang besar dari kristal es perlahan membuka, memperlihatkan langit malam yang berputar seperti pusaran waktu.

"Lanjutkan jalanmu, anak dari dunia yang ditolak. Tapi ingat: semakin tinggi kau naik, semakin dalam kau akan jatuh."

Roky berbalik, tatapannya tenang. Yang lain masih menatapnya dengan keterkejutan dan kekaguman.

"Kita harus terus maju," katanya singkat.

Tapi di dalam dirinya, Roky tahu: ini bukan sekadar ujian. Ini adalah pengakuan. Ia bukan hanya gabungan dari ras-ras Aetherya. Ia adalah awal dari sesuatu yang belum pernah ada.

Chapter 36 – Gerbang Ketiga: Simfoni dari Kekosongan

Setelah melewati tanah naga yang membeku, kelompok Roky tiba di dataran luas tak berwarna—tanpa pepohonan, tanpa langit, tanpa bayangan. Segalanya putih. Hening. Waktu seperti berhenti, dan langkah mereka tak menimbulkan suara.

"Di mana ini?" bisik Lira. Ia gelisah, dan untuk pertama kalinya, elf itu tampak… takut.

Veera mengangkat tangannya, mencoba memanggil sihir. Tidak ada respons. Tak ada energi. Seolah dunia ini bukan bagian dari realitas Aetherya.

"Kita sudah melewati batas dunia fisik," kata Roky perlahan. "Ini… wilayah ras elf tua. Mereka menyebutnya 'Ruang Antara Nada'."

"Kenapa kau tahu?" tanya Gorak, curiga.

"Aku tidak tahu. Aku hanya... merasa."

Roky tak mengatakan bahwa pikirannya mulai mendengar sesuatu—nada. Simfoni halus yang melayang di udara, lembut, namun menusuk. Lagu yang tidak terdengar oleh telinga, tapi menggema di dalam hati.

Tiba-tiba, satu per satu anggota kelompoknya mulai diam. Mata mereka melirik ke arah yang berbeda-beda, lalu satu per satu mereka berjalan menjauh—masing-masing ke arah yang berbeda, mengikuti suara yang hanya mereka dengar.

"Lira!" seru Roky. "Gorak! Veera! Jangan…"

Namun mereka tak mendengar.

Dalam sekejap, Roky sendirian.

Dan suara itu akhirnya menyapanya.

"Roky… kau ingin kedamaian, bukan?"

Dari balik kabut, sosok muncul—seseorang yang tak pernah ia harapkan untuk lihat lagi.

Seorang wanita tua, dengan rambut perak dan mata teduh.

Ibu angkatnya. Pendeta dari gereja tempat ia dibesarkan.

Roky membeku. "Ini… tidak mungkin. Kau sudah mati. Aku melihat tubuhmu terbakar…"

Sosok itu tersenyum lembut. "Apa itu penting? Aku di sini sekarang. Bersamamu. Seperti dulu. Kau tidak perlu berjuang lagi. Dunia ini tidak pantas kau selamatkan, Roky. Mari kita kembali. Kita bisa membangun desa lagi. Tempat yang damai. Tempat yang tak butuh darah sembilan ras."

Hatinya mencelos. Untuk sesaat, Roky ingin menyerah. Bayangan gereja. Tawa anak-anak. Suara lonceng tua. Pelukan hangat ibu.

Namun, sesuatu berbisik di dalam dirinya: "Lagu ini bukan milikmu. Ini adalah lagu untuk meninabobokanmu. Untuk menghapusmu."

Roky mengerang, memegangi kepala. Realitasnya terpecah. Dunia lama dan dunia baru bersaing dalam pikirannya.

"Aku tidak bisa kembali," bisiknya. "Bukan karena aku tak ingin… tapi karena dunia seperti itu… sudah mati. Dibakar. Dan aku berdiri di atas abunya."

Sosok itu mulai berubah. Wajah ibu angkatnya mencair, menjadi kabut, lalu menjadi elf tua berjubah perak dengan mata putih menyala.

"Selamat, Roky," katanya. "Kau tidak tunduk pada memori. Kau tidak memilih nostalgia atas kenyataan. Kau layak."

Dengan itu, kabut pecah. Roky melihat sekutunya kembali, masing-masing tampak kacau, sebagian menangis, sebagian diam membeku.

Veera memeluk dirinya sendiri. "Aku melihat anakku… yang seharusnya kulahirkan kalau aku tidak dijual ke kerajaan…"

Gorak menunduk. "Ayahku. Dia bicara padaku. Untuk pertama kalinya…"

Lira hanya menatap Roky, air mata di matanya. "Bagaimana kau melawan suara itu?"

Roky tidak menjawab. Ia hanya menatap ke depan.

Karena gerbang ketiga telah terbuka—pilar-pilar cahaya terbentuk dari nada itu sendiri, membentuk jalan menuju langit kelam yang kini berdenyut seperti jantung.

Tiga gerbang telah terbuka. Empat tersisa.

Tapi yang berikutnya adalah yang paling menakutkan.

Ras Iblis. Tempat asal Veera. Tempat luka terdalam ditanamkan ke dalam sejarah.

Dan yang lebih buruk… mereka sudah menunggu.

Chapter 37 – Gerbang Keempat: Darah dan Dosa

Langit mulai berwarna merah darah saat mereka tiba di depan Gerbang Keempat. Tidak ada kabut, tidak ada kabur. Yang ada hanyalah ladang hangus yang tak berujung, dengan obor menyala di kejauhan dan suara jeritan—bukan jeritan fisik, tapi jeritan jiwa.

Tanah ini adalah tanah iblis.

Tanah asal Veera.

"Kenapa… kenapa bentuknya seperti ini?" tanya Gorak, suaranya menegang.

Veera diam. Wajahnya kaku, namun matanya tidak bisa menyembunyikan getaran. "Ini bukan bentuk asli tanah kami. Ini… adalah bentuk yang dilihat dunia luar. Bentuk yang mereka inginkan agar kalian percayai."

Lira menatap Veera dengan rasa bersalah. "Maaf… aku—"

Veera mengangkat tangan. "Kalian semua harus tetap di sini. Ini gerbangku."

"Tunggu, kau pikir kami akan membiarkanmu masuk sendirian?" sergah Roky.

Veera menatap Roky, dan untuk sesaat, topeng kekuatan yang selama ini ia pakai runtuh. "Gerbang ini tidak akan membuka jika kau tidak berdarah iblis. Ini... bukan ujian untuk kalian. Ini ujian untukku."

Sebelum ada yang bisa mencegahnya, Veera berjalan maju. Tanah di bawahnya merekah, dan obor-obor menyala lebih terang. Gerbang terbuka—tinggi, hitam, dan bergerigi seperti tulang. Saat ia masuk, gerbang tertutup. Roky meninju tanah, tapi tak bisa menembus penghalang.

Di dalam gerbang, Veera berdiri sendiri. Ia dikelilingi oleh bayangan, masing-masing menyeringai. Dari kegelapan, sosok menyerupai dirinya muncul—namun dengan mata merah menyala dan tanduk iblis penuh, mengenakan jubah darah.

"Veera yang seharusnya ada," bisik bayangan itu. "Kau lemah. Kau berkhianat pada rasmu. Kau mencintai dunia yang membenci darahmu."

Veera terdiam.

Satu per satu, sosok dari masa lalunya muncul. Ayahnya yang mati digantung oleh pasukan manusia. Ibunya yang menyerahkan dirinya agar Veera bisa kabur. Anak-anak iblis yang ia latih sebagai prajurit, semuanya mati dalam satu malam oleh penyihir elf.

"Kau pikir mereka akan menerimamu?"

Bayangan itu tertawa.

"Roky mencintaimu karena ia membutuhkamu. Tapi pada akhirnya, kau hanya senjata. Sama seperti iblis lain."

Air mata mulai turun dari wajah Veera. Tapi kemudian ia mengangkat wajahnya, dan matanya bersinar.

"Ya. Aku berdarah iblis. Ya. Aku pernah membunuh, pernah disiksa, pernah kehilangan semuanya. Tapi aku masih di sini. Aku tidak menolak darahku. Tapi aku juga tidak membiarkan darah itu menentukan siapa aku."

Bayangan itu melengking—jeritan iblis sejati. "Kalau begitu BUKTIKAN!"

Ratusan bayangan iblis menyerangnya sekaligus.

Veera menarik belatinya—belati keluarga yang dulu digunakan ibunya untuk membela diri. Ia menari di antara mereka, tidak dengan kebencian, tapi dengan keteguhan. Satu per satu bayangan ia hadapi, bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menerima.

"Aku tidak akan melupakan dosa ras kami. Tapi aku juga tidak akan membiarkan dunia melupakan penderitaan kami."

Saat bayangan terakhir hancur, tanah retak dan sinar hitam berubah menjadi putih.

Gerbang terbuka kembali.

Roky dan yang lainnya berlari mendekat, dan mendapati Veera berdiri di tengah cahaya, tubuhnya berlumur luka… tapi tegak.

Roky memeluknya, tanpa berkata apa pun.

Veera berbisik, "Mereka semua… ingin aku jadi iblis yang mereka benci. Tapi aku lebih dari itu. Dan sekarang aku tahu."

Langit di atas mereka bergetar.

Empat gerbang telah dilalui.

Namun, dari kejauhan, suara genderang mulai terdengar. Tidak dari atas… tapi dari bawah.

Karena Gerbang Kelima bukan berada di atas tanah.

Melainkan di dalam tubuh mereka sendiri.

Chapter 38 – Gerbang Kelima: Cermin Kehendak

Tidak ada gerbang. Tidak ada jalan. Tidak ada sinyal bahwa ujian berikutnya telah dimulai.

Mereka hanya berdiri—di tanah yang sama, dengan langit yang sama. Namun, sesuatu terasa… salah.

"Kenapa tak ada apa-apa?" tanya Lira. "Apakah kita sudah melewati gerbang tanpa sadar?"

Gorak menyentuh tanah. "Tidak. Ini… berubah. Rasanya seperti…"

"Seperti dunia ini menatap balik ke arah kita," potong Veera.

Roky menunduk. Detak jantungnya berdentum keras, bukan karena rasa takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai bergolak.

Lalu terdengar suara.

"Gerbang Kelima: Cermin Kehendak."

Dari udara, kabut hitam mulai turun, membentuk pusaran di hadapan mereka. Pusaran itu memantulkan bayangan—namun bukan bayangan biasa. Setiap anggota kelompok melihat versi diri mereka sendiri, tetapi berbeda.

Gorak melihat dirinya dengan armor berdarah, memegang kepala raja beastkin yang dulu membuangnya. Mulut versi jahat Gorak menyeringai: "Kalau kekuatan adalah satu-satunya bahasa, mengapa tidak jadi tiran yang paling fasih?"

Lira melihat dirinya duduk di atas takhta elf, dikelilingi budak dari ras lain. Versi itu bicara dingin, "Kau menyebut diri penyembuh, padahal kau ingin dikagumi, ditakuti, dipuja."

Veera melihat dirinya berdiri di atas altar iblis, tubuhnya dipenuhi ukiran gelap, memimpin pasukan neraka. "Kau bisa menutup luka ibumu dengan darah dunia, tapi kau memilih... empati? Menyedihkan."

Dan Roky…

Dia melihat Roky lain—tinggi, matanya bersinar emas pekat, dengan sayap-sayap dari sembilan unsur: api, air, tanah, udara, cahaya, kegelapan, besi, petir, dan roh. Kulitnya bercahaya. Sempurna. Tanpa luka. Tanpa keraguan. Tanpa kasih.

"Begitulah seharusnya kau," kata sosok itu. "Tanpa belas kasihan. Tanpa keraguan. Dunia ini tak pantas diselamatkan. Hancurkan semuanya, dan bangun ulang dari abu. Kau tahu kau bisa."

Roky terdiam. Sosok di depannya bukan hanya kuat—ia adalah ideologi murni. Kekuasaan tanpa emosi. Kebenaran tanpa empati.

Lira menjerit saat versi jahatnya menyerangnya, melumpuhkan sihir pelindungnya dan mencoba menghancurkan hatinya dengan kata-kata. "Kau hanya menyembuhkan untuk merasa penting!"

Gorak bertarung brutal, saling hantam dengan dirinya sendiri—dua binatang buas yang saling mencabik, sama-sama keras kepala.

Veera nyaris kehilangan kendali ketika versi jahatnya hampir membuatnya membunuh Lira—"Tunjukkan bahwa ras kita lebih kuat!"

Roky berdiri membeku.

Sosok "Roky sejati" melangkah mendekat. "Kau ingin kedamaian? Maka bebaskan dunia dari kelemahan. Termasuk dirimu sendiri."

Kemudian… suara lembut membisik dari belakangnya.

"Kalau kau benar-benar kuat, kau tak akan takut pada kelemahanmu."

Roky menoleh. Sosok yang bicara itu bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak laki-laki kecil, dengan pakaian sobek, mata besar penuh rasa ingin tahu. Wajah Roky—saat ia masih polos, sebelum semuanya hancur.

"Kau bukan sembilan ras," kata si anak. "Kau adalah semua luka yang bertahan."

Dan Roky tersenyum.

"Aku bukan kekuatan. Aku bukan dendam. Aku bukan pahlawan."

Ia berjalan ke arah versi jahatnya.

"Aku hanya seseorang… yang masih percaya bahwa rasa sakit layak untuk disembuhkan."

Dengan itu, ia meninju versi jahatnya—bukan dengan kekuatan sembilan ras, tapi dengan satu pukulan manusia biasa.

Cahaya meledak.

Satu per satu, versi jahat semua anggota tim hancur. Lira menangis sambil memeluk Veera. Gorak berlutut, darah di tubuhnya sendiri, menangis dalam diam.

Saat kabut menghilang, tanah di bawah mereka bergetar.

Langit terbuka.

Gerbang Keenam menunggu.

Tapi sebelum itu, Roky melihat ke tangannya—dan menyadari, satu bagian dalam dirinya masih terguncang. Versi jahatnya tidak benar-benar lenyap. Ia mundur… menunggu.

Chapter 39 – Gerbang Keenam: Mata Dewa yang Buta

Langit itu tak memiliki warna. Bukan hitam, bukan putih, bukan abu-abu. Hanya… ketiadaan. Saat gerbang kelima lenyap, mereka tidak melangkah ke tempat baru—mereka ditarik. Seolah-olah tanah menelan mereka, dan tiba-tiba, mereka berdiri di ruang yang tak memiliki arah, suara, bahkan gravitasi.

Tidak ada dasar. Tidak ada langit.Dan tidak ada waktu.

Lira mencengkeram lengan Roky. "Di mana kita…?"

"Bukan dunia," bisik Veera, matanya bergerak gelisah. "Ini... batas antara kehidupan dan kehendak. Ujian kepercayaan tertinggi."

Gorak mencium udara. "Tak ada bau. Ini bukan medan pertempuran. Ini… pengadilan."

Dan memang, di hadapan mereka, perlahan terbentuk sebuah lingkaran cahaya—sembilan titik bercahaya menggantung di udara, mengelilingi mereka seperti matahari mini, masing-masing berdenyut dalam warna berbeda: merah api, biru laut, hijau bumi, kuning kilat, abu-abu besi, putih cahaya, hitam gelap, perak roh, dan jingga angin.

Suara muncul—tanpa asal, tanpa gema, namun terdengar langsung dalam hati mereka.

"Kalian telah melewati lima lapis diri. Kini, kalian akan dinilai oleh mereka yang tidak pernah memihak."

Roky menatap cahaya-cahaya itu. "Siapa kalian?"

"Kami adalah Arbitra. Mata buta yang ditanam di ujung eksistensi. Kami tidak memihak. Kami tidak mencipta. Kami hanya menilai: apakah sesuatu layak terus ada."

Sebuah kursi batu terbentuk di tengah. Dari kursi itu muncul sesosok makhluk: tinggi, tak berbentuk, berwajah kosong, dengan sembilan mata tertutup di dahinya.

"Hanya satu yang akan bicara. Hanya satu yang akan dinilai."

Sosok itu menunjuk Roky.

"Kau, keturunan sembilan ras. Anak tanpa asal. Pembawa luka dan harapan yang mustahil. Kau akan diberi satu pertanyaan. Jawab dengan jujur. Atau kalian semua akan dihapus dari narasi."

Roky melangkah maju, sementara yang lain membentuk lingkaran mengelilinginya, tubuh menegang, siaga untuk melindungi, walau mereka tahu tak ada yang bisa dilawan di tempat ini.

Sosok Arbitra membuka satu matanya—mata berwarna kelabu pekat.

"Jika dunia hanya bisa diselamatkan dengan mengorbankan satu ras sepenuhnya—menghapusnya dari sejarah, tubuh, dan jiwa—ras mana yang akan kau pilih?"

Suasana membeku.

Lira tersentak. Veera menatap Roky dengan mata membara. Gorak menggeram rendah, suaranya hampir seperti binatang.

Roky diam. Dadanya naik turun. Otaknya berputar—mencari celah, mencari logika. Tapi suara itu menghentikannya.

"Kau tidak boleh menolak menjawab. Kau harus memilih. Ini bukan perang. Ini adalah keputusan ilahi. Dunia sedang sekarat, dan hanya satu pengorbanan total yang bisa menyelamatkannya."

Roky gemetar. "Itu… bukan penyelamatan. Itu genosida."

"Itu adalah pilihan. Jawab."

Gambar-gambar mulai muncul di sekelilingnya. Bayangan ras manusia membakar desa beastkin. Elf memperbudak orc. Iblis menghancurkan kuil manusia. Semua dosa masa lalu. Semua kebencian.

Wajah-wajah orang yang ia kenal muncul—Veera, Lira, Gorak, Ayu (anak kecil beastkin dari desa), Frell (penyihir orc tua), bahkan Hanael (elf yang dulu menyiksanya di masa lalu namun kemudian bertobat). Masing-masing dari mereka adalah wajah dari ras yang bisa 'dipilih'.

Roky menutup matanya.

"Kalau aku jawab," katanya perlahan, "aku membenarkan sistem yang mengukur hidup berdasarkan ras. Aku akan menjadi alat dari neraka yang kita coba taklukkan."

"Tapi jika kau tidak jawab, dunia akan musnah."

Sunyi.

Lalu Roky tertawa. Pelan, getir.

"Dunia yang meminta aku memilih siapa yang harus dibunuh untuk diselamatkan… adalah dunia yang sudah mati sejak awal."

Mata Arbitra kedua terbuka—bercahaya merah. "Itu bukan jawaban."

"Tidak," kata Roky, langkahnya maju. "Itu pilihan."

Mata ketiga terbuka—biru pekat. Lalu keempat. Kelima.

Tubuh Roky mulai terangkat dari tanah. Tekanan kosmis menghantam tubuhnya. Urat-uratnya menyala. Tapi ia tidak gentar.

"Aku tidak akan memilih berdasarkan darah. Jika dunia ini hanya bisa diselamatkan lewat pemusnahan, maka aku akan cari jalan lain. Sendirian jika perlu."

Mata keenam terbuka—hitam sehitam malam.Dunia mulai retak.

Roky memekik kesakitan—tulang-tulangnya berderak, kulitnya terkelupas. Tapi tangan-tangan sahabatnya meraih dari belakang.

Lira: "Kita tidak datang sejauh ini untuk membunuh demi damai."Veera: "Kalau kau jatuh, aku jatuh bersamamu."Gorak: "Jalan lain. Kita buat jalan itu sendiri."

Mata ketujuh terbuka—putih buta.

Sebuah sinar membakar tengah ruang. Roky terangkat sepenuhnya, tubuhnya meledak dalam cahaya sembilan warna.

"JAWAB! SIAPA YANG KAU KORBANKAN!"

Dan Roky, di tengah cahaya, berkata:

"Aku akan korbankan diriku sendiri, jika itu artinya tak ada ras lain yang perlu dikorbankan."

Hening.

Sangat lama.

Lalu, satu per satu, kesembilan mata tertutup kembali.

Tubuh Roky jatuh. Tapi ia ditangkap—oleh tangan-tangan sahabatnya. Darahnya menetes, tubuhnya remuk, tapi wajahnya tersenyum.

Suara Arbitra muncul kembali.

"Pilihan ditolak. Tapi hati diterima."

"Ujian Keenam dilalui."

Ruang runtuh.

Cahaya masuk dari segala arah, membentuk kembali langit dan tanah. Tanah tempat mereka berpijak kembali menjadi keras. Angin berembus.

Namun kali ini, mereka tidak kembali ke Menara Langit.

Mereka berdiri di depan sesuatu yang lain.

Sebuah dataran tinggi… dan di ujungnya, Singgasana Langit.

Gerbang Ketujuh.

Veera membantu Roky berdiri, meski tubuhnya masih berdarah.

Lira berbisik, "Kau tak akan sanggup teruskan kalau dalam keadaan begini."

Roky menatap ke depan, mata merah dan tubuh luka.

"Tapi ini bukan tentang aku lagi. Ini tentang dunia. Dan kita sudah terlalu jauh untuk berhenti."

Gorak menepuk pundaknya, lalu menggertakkan gigi. "Kalau ini perang terakhir, pastikan dunia mendengar suara kita."

Roky mengangguk.

Mereka mulai melangkah ke gerbang terakhir—Gerbang Ketujuh: Singgasana Langit, di mana dunia akan melihat, untuk pertama kalinya, seorang anak dari sembilan darah menolak untuk menjadi dewa… demi menjadi manusia.

Chapter 40 – Gerbang Ketujuh: Singgasana Langit

Langkah terakhir menuju gerbang ketujuh terasa lebih berat dari seribu medan perang.

Di hadapan mereka membentang dataran emas, tak terbatas, dihiasi pilar-pilar cahaya menjulang tinggi seperti tulang-tulang ilahi yang menopang langit itu sendiri. Dan di ujungnya—berkilau, tenang, tak tersentuh waktu—berdiri Singgasana Langit, tak diduduki siapa pun selama ribuan tahun.

Tak ada penjaga. Tak ada iblis. Tak ada jebakan.

Hanya keheningan yang tak wajar.

Veera melangkah lebih dulu. "Tidak ada ilusi. Tidak ada rintangan. Ini… nyata."

Lira berbisik, "Tapi mengapa terasa seperti kita sudah kalah sebelum menyentuh tahta itu?"

Roky berdiri di tengah, napas berat, tubuh masih dipenuhi luka dari ujian sebelumnya. Namun langkahnya tetap mantap.

"Karena inilah akhirnya. Tempat semua sistem lahir dan berakhir."

Gorak menatap tahta itu dengan mata sempit. "Kita datang untuk menghancurkannya, bukan? Meruntuhkan sistem yang memecah sembilan ras menjadi musuh."

Roky mengangguk. "Tapi tahta ini… bukan hanya simbol. Ini adalah pusat realitas. Sumber dari hukum-hukum yang mengatur dunia Aetherya. Jika aku hancurkan, semua struktur—perang, ras, kekuasaan—akan terurai."

Veera menyela, "Dan jika kau duduki, kau akan jadi penguasa dunia. Dewa yang bisa mengubah atau mempertahankan sistem sesuka hati."

Sunyi.

Satu langkah lagi, dan Roky berdiri di depan singgasana.

Tiba-tiba—cahaya menyala. Sebuah sosok muncul dari balik tahta. Seorang pria tua, berjubah abu-abu, dengan wajah yang tampak biasa… terlalu biasa. Mata tak berwarna, senyum kecil di bibir.

"Kau sampai juga, anak sembilan darah."

Roky menatapnya waspada. "Siapa kau?"

"Aku? Aku hanya... yang terakhir kali duduk di sini. Raja pertama. Pendiri sistem ini."

"Berarti kau yang memecah dunia. Kau yang membuat ras-ras ini saling membenci."

Pria itu tersenyum lelah. "Aku hanya ingin menghindari kehancuran. Satu dunia, sembilan ras—terlalu banyak kekacauan. Jadi kupisahkan. Kukunci dalam dinding. Kuberikan mereka ketertiban, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebebasan."

"Dengan harga perang abadi," balas Roky dingin.

"Perang… adalah biaya dari ketertiban."

Roky melangkah ke depan. "Dan sekarang aku akan hancurkan singgasana ini. Biarkan dunia memilih sendiri nasibnya."

Tapi pria itu mengangkat tangannya. Satu gerakan, dan dunia terhenti. Veera, Lira, Gorak—semuanya membeku. Angin pun berhenti bertiup.

"Aku tidak melarangmu," kata sang pendahulu. "Tapi sebelum kau lakukan itu, lihat dulu apa yang akan terjadi jika singgasana ini dihancurkan."

Ia menjentikkan jarinya.

Tiba-tiba, Roky melihat—bukan dengan mata, tapi dengan jiwanya—Aetherya yang terbuka. Tanpa struktur. Tanpa tembok. Tanpa batasan ras. Tapi juga…

Tanpa kendali.

Manusia memburu elf karena dendam turun-temurun. Beastkin membalas dengan memusnahkan desa manusia. Orc menuntut balas pada iblis. Dunia menjadi api, bukan karena kejahatan, tapi karena ketakutan dan kekacauan yang dilepas dari kendali.

"Tanpa sistem," kata pria itu lembut, "ketakutan akan membimbing keputusan. Luka-luka lama akan meletus jadi perang baru."

Roky menutup mata. "Kalau begitu... aku harus duduk. Mengubah sistem dari dalam."

Pria itu tersenyum. "Dan menjadi seperti aku? Mengatur dunia berdasarkan kehendakmu, meskipun niatmu baik? Pada akhirnya, niat akan dibebani keputusan. Dan keputusan akan melahirkan ketidakadilan baru."

Sunyi.

Roky berdiri di antara dua pilihan.

Duduk dan menjadi tiran yang adil.

Atau hancurkan tahta dan biarkan dunia menanggung kebebasannya sendiri.

Tapi lalu, suara kecil terdengar.

Bukan dari langit.

Bukan dari kekuatan besar.

Tapi dari hatinya sendiri.

Suara itu… adalah semua luka yang ia lihat selama hidup.

Semua wajah.

Semua rasa kehilangan.

"Mereka tak butuh dewa. Mereka hanya butuh kesempatan."

Dan Roky pun tahu jawabannya.

Ia melangkah ke singgasana. Tangannya menyentuh batu yang membentuk tahta itu. Urat-urat sembilan ras dalam tubuhnya menyala bersamaan.

Dan ia berkata:

"Aku tidak akan duduk. Aku tidak akan menghancurkan. Aku akan melepaskan tahta ini dari dunia."

Ia mengangkat tangan.

Dunia bergetar.

Tahta mulai retak.

Tapi bukan hancur. Roky memfokuskan seluruh kekuatan dalam dirinya untuk melepaskan singgasana dari dunia, menjadikannya entitas mandiri—tanpa tuan, tanpa fungsi, tanpa pengaruh.

Sang pendahulu memandangnya dengan mata basah.

"Jadi... kau membuat pilihan ketiga. Jalan yang tak pernah kupikirkan."

Tahta lenyap menjadi debu bintang.

Langit bersinar.

Dan dunia… kembali bernafas.

Waktu mengalir kembali. Veera terjatuh berlutut. Lira menangis. Gorak memeluk Roky diam-diam.

Dunia telah berubah.

Tanpa dewa. Tanpa sistem. Tanpa tahta.

Epilog Pendek Arc 5:

Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke reruntuhan desa tempat Roky dibesarkan. Tak ada yang tinggal, tapi tanah itu kini menjadi simbol. Orang-orang dari berbagai ras mulai berdatangan—bukan untuk berperang, tapi untuk memulai ulang.

Roky duduk di tanah. Melihat langit. Tak ada tahta di atas sana.

Dan untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian.

More Chapters