Ficool

Chapter 22 - Bab 24 (Alkein-Ruhosi)

Bab 24 – Badai di Perbatasan

Dari balik kabut, muncul sesosok makhluk besar, tubuhnya seperti beruang raksasa dengan cakar tajam dan mata merah menyala. Itu adalah Gorok, predator buas yang jarang terlihat di dekat perbatasan Lumina'val. Gorok itu menggeram, matanya terpaku pada Elara dan bunga bulan sabit di tangannya.

Elara terkesiap. Ia mundur perlahan, memeluk bunga itu erat-erat. Ia tidak punya senjata, dan kekuatan cahayanya belum cukup untuk melawan makhluk sebesar itu. Ia mencoba memancarkan cahaya dari tangannya, berharap bisa mengusir Gorok, tapi makhluk itu hanya menggeram lebih keras, siap menerkam.

"Jangan mendekat!" teriak Elara, suaranya bergetar. Ia tahu ia dalam bahaya besar. Ia sendirian.

Gorok itu melompat, cakar depannya teracung. Elara memejamkan mata, bersiap menghadapi benturan.

Namun, benturan itu tidak datang.

Sebaliknya, ia mendengar suara hantaman keras, diikuti raungan Gorok yang kesakitan. Elara membuka matanya. Di hadapannya, berdiri seorang bocah laki-laki, sedikit lebih tinggi darinya, dengan rambut hitam acak-acakan dan beberapa helai putih bercahaya. Tubuhnya ramping namun memancarkan aura kekuatan yang aneh, campuran asap hitam dan pendaran hijau.

Bocah itu baru saja meninju Gorok, membuat makhluk itu terpental beberapa meter. Di tangannya, sebuah tombak kayu dengan ujung tulang runcing tampak siap menyerang lagi.

"Hei, Beruang Jelek!" seru bocah itu, nyengir lebar. "Nggak sopan banget sih, mau nyerang cewek cantik! Nggak diajarin sopan santun ya?"

Gorok itu meraung marah, bangkit, dan menerjang lagi. Bocah itu melompat dengan gesit, menghindari cakar Gorok, lalu dengan gerakan akrobatik yang luar biasa, ia melompat ke punggung Gorok. Asap hitam dari retakan di kulitnya mengepul, dan ia menghantamkan tinjunya berulang kali ke kepala Gorok.

"Rasain nih! Rasain! Ini namanya tinju keadilan!" teriaknya sambil tertawa.

Gorok itu meronta, mencoba menjatuhkannya, tapi bocah itu menempel erat seperti lintah. Akhirnya, dengan satu tendangan kuat yang dialiri pendaran hijau, bocah itu melompat dari punggung Gorok, membuat makhluk itu ambruk ke tanah, tak sadarkan diri.

Bocah itu mendarat dengan sempurna, lalu berbalik menghadap Elara, nyengir lebar.

"Nah, kan! Beres! Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya, matanya yang tajam menatap Elara dengan rasa ingin tahu.

Elara masih terpaku, memeluk bunga bulan sabitnya. Ia menatap bocah di hadapannya—sosok yang muncul entah dari mana, menyelamatkannya dari bahaya. Ia merasakan aura campuran dari bocah itu, sesuatu yang asing namun juga… akrab.

"Aku… aku tidak apa-apa," jawab Elara pelan. "Terima kasih… banyak."

Bocah itu mengulurkan tangannya. "Santai aja! Aku Ruhosi. Kamu siapa? Rambutmu keren banget, kayak permen kapas!"

Elara menatap tangan yang terulur itu, lalu ke wajah Ruhosi yang penuh senyum konyol namun tulus. Ia merasakan kehangatan yang aneh dari bocah itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa… tidak sendirian.

"Aku Elara," jawabnya, perlahan mengulurkan tangannya untuk menyambut uluran tangan Ruhosi.

Di kejauhan, tanpa mereka sadari, Lensa Kabut di saku Ruhosi berdenyut hebat, dan liontin matahari separuh di leher Elara memancarkan cahaya hangat. Dua pecahan takdir telah bertemu, di bawah tatapan Bintang Kembar Merah yang samar-samar mulai terlihat di langit senja.

More Chapters