Ficool

Chapter 10 - Bab 12 ( Alkein-Ruhosi)

Bab 12 – Menari di Jantung Amarah

Langit di atas Wilayah Angin Terukir berubah menjadi kanvas kelabu yang pekat dalam sekejap. Angin yang tadinya hanya berhembus kini meraung seperti serigala lapar, membawa butiran pasir yang menyakitkan saat menerpa kulit. Petir menyambar-nyambar di kejauhan, bukan dari awan hujan biasa, melainkan dari pusaran energi liar yang berkumpul tepat di atas dataran paling luas. Ini bukan badai alami; ini adalah Amarah Badai—manifestasi dari kekuatan angin paling liar dan tak terkendali, yang sengaja dipanggil oleh para tetua Pengukir Angin sebagai ujian terakhir.

"Itu dia Amarah Badai!" seru Tetua Kaivan, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin. Ia dan para Pengukir Angin lainnya berdiri di tepian dataran, membentuk formasi pelindung. "Tugasmu, Ruhosi, bukan melawannya, bukan juga menghindarinya! Kau harus masuk ke jantungnya, menemukan 'Mata Badai' yang tenang, dan… menenangkannya dari dalam!"

Ruhosi menatap pusaran badai raksasa di hadapannya. Angin berputar dengan kecepatan mengerikan, menciptakan corong yang menyentuh tanah dan langit. Petir menyambar di dalamnya, dan suara gemuruhnya memekakkan telinga. Bahkan dari kejauhan, ia bisa merasakan tekanan energi yang luar biasa.

"Masuk ke situ?!" Ruhosi berseru, matanya membelalak. Kali ini, bahkan senyum konyolnya sedikit memudar. "Kalian yakin aku nggak bakal jadi abon?"

"Jika jiwamu goyah, jika ada sedikit saja keraguan atau kemarahan dalam dirimu, badai akan merasakannya dan menghancurkanmu," jawab Tetua Kaivan tegas. "Hanya dengan keberanian murni dan niat untuk membawa kedamaian kau bisa berhasil. Ini adalah ujian tertinggi bagi seorang Pengukir Angin."

Ruhosi menarik napas dalam-dalam. Ia melihat ke arah Tetua Kaivan, lalu ke para Pengukir Angin lainnya yang menatapnya dengan campuran harapan dan ketegangan. Ia menyentuh kalung di lehernya, lalu Lensa Kabut di kantungnya.

"Oke deh," katanya akhirnya, senyum tipis kembali terukir. "Kalau aku nggak balik lagi, jangan lupa kasih makan monster-monster yang mungkin kangen aku ya!"

Dengan itu, ia berlari menuju pusaran badai.

Begitu ia mendekat, angin langsung menerpanya dengan kekuatan brutal. Tubuhnya terangkat, terlempar, lalu terbanting ke tanah. Retakan di kulitnya mengeluarkan asap hitam pekat saat ia mencoba melindungi diri. Tapi ia teringat ujian pertama; melawan hanya akan memperburuk keadaan.

Ia mencoba bangkit, membiarkan angin menariknya. Kali ini, ia tidak melawan. Ia menggunakan Lensa Kabut. Di tengah kekacauan visual angin dan petir, lensa itu membantunya melihat aliran energi yang sedikit lebih tenang, jalan setapak tak kasat mata menuju jantung badai.

Perjalanannya ke dalam badai adalah siksaan. Suara bising memekakkan, tekanan udara menghimpit dadanya, dan serpihan batu serta pasir mencambuk tubuhnya tanpa henti. Beberapa kali ia nyaris kehilangan kesadaran. Bayangan-bayangan ketakutan dan keraguan kembali mencoba merayapinya, diperkuat oleh energi liar badai.

"Kau akan gagal!"

"Kau sendirian!"

"Tidak ada yang peduli padamu!"

Bisikan-bisikan itu kini terasa nyata, dibawa oleh amarah badai.

Tapi Ruhosi menggertakkan giginya. "Berisik!" teriaknya melawan deru angin. "Aku mungkin konyol, tapi aku nggak selemah itu!"

Ia teringat Velmra dari Ras Bayangan, "Dunia akan mengujimu lebih keras." Ia teringat Ras Kabut Hijau, "Terima bayangan dirimu." Ia teringat para Pengukir Angin yang menaruh harapan padanya.

Sesuatu di dalam dirinya bangkit. Bukan hanya perpaduan cahaya dan kegelapan, tapi juga semangat manusianya yang pantang menyerah, dan secuil kekonyolan yang membuatnya unik.

Akhirnya, dengan susah payah, ia mencapai pusat badai. Di sana, seperti yang dikatakan Tetua Kaivan, ada area yang relatif tenang—Mata Badai. Tapi ketenangan itu mencekam. Di tengahnya, berputar sebuah inti energi berwarna merah menyala, berdenyut seperti jantung yang terluka dan marah. Inilah sumber Amarah Badai.

Ruhosi tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana cara "menenangkan" sesuatu yang sebesar dan semarah itu?

Ia tidak punya mantra, tidak punya senjata khusus. Ia hanya punya dirinya sendiri.

Jadi, ia melakukan satu-satunya hal yang terpikirkan olehnya saat itu. Ia duduk bersila di tengah Mata Badai, menghadap inti energi merah itu. Lalu, ia mulai… bersiul.

Nada siulannya aneh, tidak beraturan, kadang sumbang. Itu adalah melodi yang ia ciptakan sendiri, melodi yang sering ia siulkan saat sendirian di hutan, melodi yang mengekspresikan rasa penasarannya, kesepiannya, semangatnya, dan kekonyolannya.

Anehnya, inti energi merah itu sedikit meredupkan amarahnya. Seolah ia… mendengarkan.

Ruhosi terus bersiul. Lalu ia mulai berbicara, suaranya pelan, hampir seperti bergumam.

"Hei, Badai… kamu marah banget ya? Aku juga kadang suka marah kalau nggak ada yang ngertiin aku. Atau kalau makananku direbut monster lain. Tapi marah terus capek, tahu."

Ia tidak tahu apakah tindakannya ini berguna. Tapi ia terus berbicara, menceritakan hal-hal acak, tentang Ras Bayangan, tentang monster yang pernah ia lawan, tentang rasa penasarannya pada dunia. Ia berbicara dengan tulus, tanpa niat mengendalikan, hanya berbagi.

Perlahan, aura campuran hitam dan putih di sekitar Ruhosi mulai menyebar lembut, menyentuh inti energi merah itu. Bukan untuk melawan, tapi seolah menawarkan persahabatan. Kalung di lehernya berpendar hangat.

Inti energi merah itu bergetar. Amarahnya belum hilang, tapi seolah ada secercah rasa ingin tahu di sana.

Lalu, Ruhosi melakukan hal yang paling tidak terduga. Ia mengulurkan tangannya ke arah inti energi merah itu.

"Mau temenan?" tawarnya dengan senyum tulus.

Untuk sesaat, badai di luar Mata Badai semakin menggila, seolah inti itu ragu dan melawan. Tapi kemudian… perlahan… sangat perlahan… deru angin mulai mereda. Petir berkurang. Tekanan udara melonggar.

Inti energi merah itu tidak menghilang, tapi warnanya berubah menjadi oranye lembut, lalu kuning keemasan. Denyutannya menjadi lebih tenang, lebih stabil.

Amarah Badai… telah reda.

Ketika Ruhosi keluar dari sisa-sisa badai, langit sudah mulai cerah kembali. Para Pengukir Angin menatapnya dengan mulut ternganga. Tetua Kaivan adalah yang pertama menghampirinya, matanya berkaca-kaca.

"Kau… berhasil, Ruhosi," katanya dengan suara bergetar. "Kau tidak hanya menenangkannya. Kau… menyentuh jiwanya. Cara yang belum pernah terpikirkan oleh siapapun di antara kami."

Ruhosi hanya nyengir, meski tubuhnya penuh luka gores dan kelelahan luar biasa. "Ternyata Badai cuma butuh teman ngobrol aja."

Tetua Kaivan tersenyum tulus. "Kau lebih dari sekadar layak mempelajari Napas Angin, Nak. Kau telah mengajarkan kami sesuatu yang baru tentang angin itu sendiri. Mari, ikut aku. Ada sesuatu yang harus kau lihat di Pusaran Suci, sesuatu yang sepertinya telah menunggumu."

Dengan berhasilnya Ruhosi melewati tiga ujian dengan caranya yang unik, pintu menuju rahasia yang lebih besar kini terbuka. Dan di tempat lain, sosok berjubah ungu itu merasakan perubahan di Pusaran Suci.

> "Harmoni… dari kekacauan? Bocah ini benar-benar… di luar perhitungan. Fragmen itu… semakin jelas."

>

More Chapters