Ficool

Chapter 1 - Bab 1

Seorang gadis berjalan di tengah derasnya hujan sambil memyeret sebuah koper di tangannya. Ia berjalan tak tentu arah. Dengan pandangan kosong ia terus berjalan.

"Kemana sekarang aku harus pergi? Tidak ada teman atau siapapun yang bisa ku minta bantuan." Ucapnya kemudian ia berjalan ke arah sebuah halte bus. Ia akan berteduh di sana, sambil mencari tempat tinggal lewat internet.

1 JAM KEMUDIAN

sudah satu jam ia membuka internet, namun ia tak kunjung menemukan tempat tinggal terdekat. Hingga sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan halte. Gadis ia memasukkan handphonenya kembali ke dalam tas. Ia memesang kuda-kuda untuk melindungi dirinya.

Pintu belakang mobil itu terbuka, dan keluarlah seorang pria dengan setelah jas hitam berjalan ke arahnya dengan menggunakan payung. Gadis itu sedikit terkejut melihat siapa pria itu. "Devan!" Satu nama yang ia gumamkan.

Devan berjalan ke arah gadis itu dengan sorot mata tak bisa di jelaskan. Ia meletakkan payungnya kemudian berdiri di depan gadis itu. "Lama tak bertemu Dara." Ucapnya dengan nada lembut.

"De-devan bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Tanyanya dengan gugup. Devan, seorang pria yang ia hindari selama hampir 5 tahun ini. Ia melakukannya atas desakan sahabatnya yang mengatakan jika ia sedang mengandung anak Devan. Tentu, perkataan sahabatnya itu membuat ia terkejut sekaligus kecewa dengan tunangannya. Ia memilih pergi dari hidup Devan dan memutuskan pertunangan secara sepihak.

Devan bertekuk lutut didepan Zora, ia memegang tangan wanita itu dengan lembut. "Aku mencarimu kemana mana selama ini. Kenapa kau pergi dan memutuskan pertunangan kita? Apa salahku hingga membuat mu pergi?" Tanyanya dengan nada lembut dan tatapan memohon.

Zora menarik tangannya dan membuang pandangannya ke arah lain. "Pikirkan saja apa salahmu hingga membuat aku pergi dengan marah dan kecewa." Sautnya.

Ia memegang sebelah pipi Zora dan membawa untuk menatapnya. "Lihat aku saat kita sedang bicara." Ucapnya dengan nada lembut. "Katakan padaku apa salahku, aku tak tahu apa salahku. Aku sudah mencari tahu salahku namun, aku tak menemukannya." Sambungnya lagi.

"Apa kau benar-benar tak sadar dengan kesalahnmu apa?" Devan menggeleng dengan cepat.

"Kau sudah mengkhianatiku dengan berselingkuh dengan sahabatku, Anaya. Bahkan ia sampai hamil dengan mu. Apa sekarang kau mengerti?" Ucap Dara menggebu gebu bahkan air matanya sampai jatuh.

Devan menarik sebelah alisnya heran. "Selingkuh? Dengan sahabatmu?" Dara menggelang dengan cepat. "Aku tak pernah melakukan hal itu. Aku bersumpah atas segalanya, bahwa aku tak pernah selingkuh darimu." Ucapnya jujur dengan yakin dan serius.

Dara yang melihat kejujuran di mata Devan merasa sedikit percaya. Namun, ia langsung menepis kepercayaan itu dari pikirannya. "Kau pikir aku percaya dengan perkataanmu itu? Tidak, aku tidak akan pernah percaya." Balasnya dengan tekad. Dan itu membuat Devan frustasi.

"Baiklah, terserah apa katamu. Aku akan mencari bukti untuk bahwa aku tidak pernah selingkuh bahkan sampai membuat wanita lain hamil." Ucap Devan dengan serius. "Sekarang kamu mau kemana malam-malam begini bahkan saat hujan sedang turun? Dan lagi kenapa kau membawa koper?" Tanyanya sambil melirik ke arah koper yang berada di sampingnya.

"Aku di usir dari rumah oleh kedua orang tua angkatku akibat fitnah yang di lakukan adik angkatku." Jawabnya dengan wajah sedih.

"Kau akan ke mana? Biar aku antar, aku takut kamu kenapa napa. Apa lagi kamu seorang perempuan." Dara menunduk meremas rok panjangnya. "Aku tak tahu harus kemana." Jawabnya dengan malu.

"Bagaimana jika kamu ikut aku pulang ke rumah? Mama dan Kiara pasti akan senang dengan ke datanganmu." Tampa pikir panjang Dara langsung mengangguk. Karena ia juga tak tahu harus kemana untuk saat ini. Dan benar apa yang Devan katakan, jika ini berbahaya baginya.

Devan tersenyum kecil melihat anggukan Dara, lalu dengan lembut ia mengambil koper Dara dan membukakan pintu mobilnya.

"Masuklah, kamu pasti kedinginan," ucap Devan, masih menggunakan nada lembut yang membuat hati Dara bergetar—meski ia masih berusaha menolak rasa itu.

Setelah keduanya duduk di dalam mobil yang hangat, Devan memberikan handuk kecil dan selimut tipis. Dara menerimanya dengan ragu, namun ia tetap memakainya.

Dalam perjalanan, suasana hening menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang menemani. Dara melirik ke arah Devan yang menyetir dengan tenang, sorot matanya fokus, namun rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu.

"Aku benar-benar nggak tahu soal Anaya itu, Ra…" ucap Devan tiba-tiba, memecah keheningan. "Saat kamu pergi, aku sempat percaya kamu benci aku... tapi aku nggak pernah nyangka alasannya seserius itu."

Dara menoleh pelan, menatap wajah pria itu dari samping. "Aku juga bingung… Kenapa semua terlihat nyata waktu itu. Anaya nangis di hadapanku, memperlihatkan hasil test pack. Dia bilang kamu—" suara Dara tercekat.

"Dia berbohong," potong Devan. "Aku akan buktikan itu, Ra. Kamu pantas tahu kebenarannya."

Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya klasik modern. Halamannya luas, dipenuhi tanaman hijau yang rapi tertata. Dara menelan ludah. Sudah lama ia tidak melihat rumah ini. Rumah tempat ia sering menghabiskan waktu bersama Devan dahulu.

Devan turun lebih dulu lalu membuka pintu untuk Dara. Ia mengulurkan tangan, namun Dara hanya menunduk dan keluar sendiri. Devan mengerti dan tak memaksakan.

Saat pintu rumah terbuka, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi dan wajah keibuan langsung menghampiri.

"Devan? Ya Tuhan, itu… Dara?" seru wanita itu, terkejut sekaligus terharu.

Dara buru-buru menunduk, tidak tahu harus bersikap bagaimana. "Selamat malam, Tante…"

Wanita itu memeluk Dara erat, mengabaikan tubuh Dara yang masih sedikit basah. "Nak, kamu ke mana saja? Kami semua mencarimu."

Tak lama, Kiara—adik perempuan Devan yang dulu sangat dekat dengan Dara—berlari menuruni tangga. "Dara?! Ini beneran kamu?!"

Dara tak kuasa menahan air matanya lagi. Ia merasa seperti pulang setelah bertahun-tahun tersesat.

"Ayo masuk dulu, Nak. Kamu pasti kedinginan," ajak mama Devan sambil membawa Dara masuk ke ruang tamu yang hangat.

Devan menyusul di belakang dengan koper Dara di tangan. Ia menatap Dara dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia bersumpah… malam ini akan jadi awal dari pengungkapan kebenaran yang sesungguhnya.

Malam itu, setelah mandi dan mengganti pakaian pinjaman dari Kiara, Dara duduk di tepi ranjang tamu sambil menatap ke luar jendela. Hujan sudah reda, tapi hatinya masih diguyur badai emosi. Ia menghela napas berat, memikirkan semua yang terjadi dalam waktu singkat—diusir, bertemu Devan, dan kini kembali ke rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan.

Seseorang mengetuk pelan pintu kamarnya.

Tok… tok…

"Dara, ini aku… Devan. Boleh aku masuk sebentar?"

Dara ragu. Tapi setelah beberapa detik, ia mengangguk meski Devan tak bisa melihat. "Masuklah."

Pintu terbuka, dan Devan masuk dengan sebuah map di tangannya. Ia tampak lebih tenang dibanding sebelumnya, namun sorot matanya masih serius.

"Aku tahu kamu belum percaya padaku. Tapi aku nggak mau kamu terus menyimpan luka karena sesuatu yang mungkin tidak pernah terjadi."

Ia duduk di sofa kecil dekat ranjang, membuka map tersebut, dan menyerahkan selembar kertas kepada Dara.

"Apa ini?" tanya Dara hati-hati.

"Laporan medis. Tes DNA dari bayi yang katanya Anaya kandung. Waktu kamu pergi, dia datang padaku… mengaku hamil. Tapi aku nggak pernah menyentuh dia, Ra. Aku bingung, panik, dan marah. Aku langsung minta dia tes DNA setelah bayi lahir. Dan hasilnya… bukan anakku."

Dara menatap lembaran itu. Tangannya gemetar. Di sana tertulis jelas: hasil negatif.

"Kenapa kamu nggak cari aku waktu itu dan jelaskan semuanya?" tanyanya pelan.

"Aku cari kamu, Ra. Aku datangi tempat-tempat yang biasa kamu kunjungi. Aku bahkan sempat pergi ke kota tempat kamu dulu kuliah. Tapi kamu benar-benar menghilang."

Dara memalingkan wajahnya. Air matanya mulai mengalir lagi. "Aku benar-benar kecewa waktu itu. Anaya bilang kamu memperkosanya. Aku… aku bodoh, terlalu percaya padanya…"

Devan bangkit, mendekat, dan duduk di sampingnya. Ia tak menyentuh Dara, tapi suaranya menghangat.

"Kita sama-sama terluka, Ra. Tapi sekarang aku cuma ingin menyembuhkan semua. Kalau kamu masih benci aku, aku terima. Tapi izinkan aku melindungimu lagi… sekarang, ketika kamu sedang terluka juga."

Dara terisak pelan. "Orang tua angkatku percaya semua fitnah itu. Adik angkatku menyebar video palsu, bilang aku mencuri uang keluarga. Aku cuma… sendiri sekarang."

Devan menatapnya dengan dalam. "Kamu nggak sendiri. Kamu punya aku… dan keluargaku. Kita akan cari bukti untuk membersihkan nama kamu juga. Aku janji."

Dara menatap mata Devan. Ada kejujuran di sana. Ketulusan yang dulu ia cintai, dan ternyata… belum benar-benar mati.

"Terima kasih, Devan…" bisiknya lirih.

Devan tersenyum tipis. "Kita akan selesaikan semua ini. Bersama."

More Chapters