Ficool

Last Moment of Truth

Harimau_Sholawat
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
608
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - CHAPTER 1 – SENYAP YANG TIDAK BIASA

CHAPTER 1 – SENYAP YANG TIDAK BIASA

"Kadang, dunia tidak berubah dengan guncangan, tapi dengan bisikan yang hanya didengar oleh jiwa yang tenang."

Langit Jakarta sore itu tidak sedang marah, tapi juga tidak benar-benar damai. Seperti seseorang yang mencoba tersenyum setelah hari yang berat, ia menggantung di atas kota dengan warna jingga yang agak muram. Awan tipis melayang pelan, seolah enggan beranjak dari tempatnya. Tak ada hujan, tapi ada bau basah yang menggantung di udara—seperti kenangan yang belum tuntas.

Rayhan tidak memperhatikan langit. Dia terlalu sibuk menatap layar laptopnya yang baterainya tinggal 7%. Tiga jam ia duduk di pojok perpustakaan, dengan headphone menyala tapi tak ada lagu yang benar-benar ia dengarkan. Di layar, makalah tentang "Struktur Etika dalam Sistem Sosial Modern" masih setengah jalan. Bukan karena dia tidak bisa menyelesaikannya—justru karena dia bisa menyelesaikannya terlalu cepat, dan itu membuatnya bosan.

"Kebanyakan orang menulis karena ingin menyampaikan sesuatu," gumamnya, "tapi aku mulai curiga kalau aku menulis hanya karena tidak tahan melihat halaman kosong."

Perpustakaan SMA At-Tanwir tidak besar, tapi nyaman. Letaknya di lantai dua, diapit oleh ruang seni dan ruang BK. Bangunannya bergaya kolonial-renovasi, dengan jendela kayu besar dan ubin bermotif klasik. Sekolah ini berada di pinggiran Jakarta Selatan—tempat di mana masjid besar, kedai kopi, dan toko herbal berdiri berdampingan. Sebuah kawasan di mana modernitas dan spiritualitas saling menyapa, kadang bersitegang, kadang berdamai.

Di dalam ruangan, hanya ada satu penjaga perpustakaan yang sudah tertidur di balik meja, dan tiga siswa lain yang sibuk dengan dunianya masing-masing.

Lalu datanglah Nashira.

Dia masuk dengan langkah ringan, tidak tergesa, tidak pula melayang. Rambutnya diikat setengah, dan ada bekas cat air di ujung jari tangan kanannya. Seragamnya tidak rapi, tapi bersih. Wajahnya tidak mencolok, tapi ada sesuatu yang membuat orang berhenti saat melihatnya—seperti ayat yang tidak kau pahami sepenuhnya, tapi tahu itu penting.

Nashira tidak langsung bicara. Dia hanya berjalan ke rak bagian tengah, mengambil satu buku bertulisan "Psikologi Mimpi dan Imajinasi Spiritual," lalu duduk tepat di seberang Rayhan.

Rayhan tahu siapa dia. Tentu saja tahu. Nashira Arifah Al-Banna, anak kelas XI IPS yang dikenal pendiam, aneh, dan terlalu dalam untuk ukuran remaja biasa. Ia sering terlihat mencatat hal-hal yang tidak diajarkan guru: gerakan daun, pola angin, warna langit.

Rayhan sendiri adalah anak IPA—jenius, sinis, dan terkadang terlalu cepat menganggap dirinya tahu. Sejak kecil ia gemar memecah sesuatu menjadi rumus, termasuk manusia.

"Komputermu mati?" tanya Nashira tiba-tiba.

Rayhan sedikit terkejut. Ia mengangkat kepala. "Belum. Tapi hampir. Sepertinya dia sedang mempertimbangkan untuk pensiun dini."

Nashira tersenyum kecil. "Mungkin dia cuma ingin kau berhenti sejenak."

Rayhan menutup laptopnya perlahan. "Kau percaya mesin bisa lelah?"

"Aku percaya manusia bisa terlalu lama berpikir hingga lupa bernapas. Kadang benda ikut merespons itu."

Jawaban itu tidak ia harapkan. Tapi entah kenapa, justru terasa masuk akal.

"Kau percaya simbol bisa bicara?" tanya Nashira pelan.

"Simbol? Seperti... gambar matahari dan bulan?"

"Lebih dari itu. Setiap gerak, suara, rasa... bisa jadi isyarat. Dalam bahasa Mizan, semua yang seimbang akan saling menyapa."

"Mizan?" Rayhan menatapnya, sekarang lebih serius.

"Sistem keseimbangan alam. Dulu disebut dalam kitab. Sekarang, hanya terasa dalam hati yang masih tenang."

Diam.

Lalu jam dinding berhenti berdetak.

Rayhan menyipitkan mata. Dia menatap jam. 17.17. Angka yang tampak biasa, tapi ada sesuatu yang ganjil.

Dia menoleh ke penjaga perpustakaan. Masih tertidur. Siswa-siswa lain tak bereaksi. Hanya Nashira yang juga menatap jam.

"Kau dengar itu?" tanya Rayhan.

"Dengar apa?"

"Itu dia masalahnya. Aku... tidak mendengar apa-apa."

Keheningan itu bukan keheningan biasa. Bukan sekadar sunyi. Ini seperti... dunia menahan napas.

"Jamnya berhenti," bisik Nashira. "Tapi bukan hanya jarumnya. Waktunya. Rasanya... sesuatu sedang berubah."

Apa yang Rayhan dan Nashira tidak tahu adalah: setiap dua dekade, lapisan antara dunia nyata dan dunia ruh menipis. Di masa lalu, itu disebut sebagai masa Al-Mawazin—saat di mana Mizan, sistem keseimbangan spiritual alam semesta, mengalami riak kecil. Biasanya, manusia terlalu sibuk untuk memperhatikan. Tapi ada beberapa... yang cukup sunyi untuk mendengarnya.

Dan biasanya, mereka tidak pernah siap.

Rayhan mencoba berdiri. Kepalanya sedikit pusing, seolah gravitasi berubah arah. Tapi ia menahan diri. "Kau merasakan... semacam tekanan?"

Nashira mengangguk. Matanya mulai berkilat. Bukan karena takut, tapi seperti seseorang yang baru saja mengingat mimpi yang lama terlupakan.

"Kita harus keluar dari sini," katanya pelan.

Mereka berjalan ke arah pintu. Setiap langkah terasa berat. Udara menjadi lebih padat. Buku-buku di rak mengeluarkan bunyi samar, seolah berbisik satu sama lain.

Begitu pintu perpustakaan dibuka, semuanya kembali normal.

Suara kendaraan, tawa anak-anak ekskul, aroma gorengan dari kantin. Semua seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Rayhan menarik napas panjang. "Apa barusan... nyata?"

Nashira menatap langit. "Mungkin bukan tentang nyata atau tidak. Mungkin itu tentang kita yang baru mulai... melihat."

"Melihat apa?"

"Dunia yang selalu ada di antara detak dan jeda. Tapi hanya bisa dilihat oleh yang sedang... mencari."

Rayhan diam. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia tidak punya teori. Dan itu, anehnya, membuatnya merasa hidup.

"Besok, jam yang sama?" tanya Nashira.

"Besok, jam yang sama," jawab Rayhan.

Dan begitulah semuanya dimulai. Bukan dengan ledakan, bukan dengan ramalan besar, tapi dengan jam yang berhenti berdetak, dan dua jiwa yang cukup sunyi untuk mendengarnya.

Simbol-simbol akan mulai muncul: angka berulang, bunga kamboja jatuh tanpa angin, kilatan mimpi aneh yang terasa nyata. Dan di balik itu semua: Mizan, yang diam-diam mengatur ulang keseimbangan dunia.

Sementara itu, seseorang—seorang guru tua yang menyendiri di kaki Gunung Salak—merasakan getaran yang sama. Ia membuka matanya, dan menulis di dinding batunya:

"Dua cahaya telah bertemu. Satu dari logika, satu dari rasa. Keseimbangan mulai bergerak."

Dan dunia, yang selama ini tertidur, mulai bermimpi kembali.