Ficool

Chapter 1 - BAB 1: KEHIDUPAN YANG HANCUR

Langit sore mulai memudar, berubah menjadi campuran jingga yang muram. Suara kendaraan di kejauhan terdengar samar—seakan dunia terus berjalan, meski hatinya perlahan hancur.

Rei berjalan sendirian menyusuri jalan sempit menuju rumah. Seragam SMA-nya kusut, tasnya menggantung di satu bahu. Tak ada musik di telinganya. Tak ada senyum di wajahnya. Hanya langkah pelan dan tatapan kosong ke tanah.

Hingga tiga sosok muncul dari gang sempit di sebelah kiri.

“Hiro… Takashi… Kaito?”

Tiga wajah yang familiar. Teman sekelas. Tapi tidak pernah benar-benar jadi teman.

“Yo, Rei,” kata Hiro sambil menepuk-nepuk telapak tangannya. “Lo bawa uang, kan?”

Rei mundur satu langkah. “Gue... nggak banyak…”

Takashi menarik kerah bajunya. “Nggak usah banyak alasan. Serahin.”

Rei tahu, melawan tak akan berarti apa-apa. Ia merogoh sakunya, menyerahkan lembaran lusuh yang ia simpan buat ongkos dan makan malam.

Mereka tertawa. Mereka puas.

Dan mereka pergi.

Meninggalkan Rei terdiam, bersandar ke tembok gang yang dingin.

Kenapa?

Pertanyaan yang selalu menghantuinya.

Kenapa kebaikan selalu jadi alasan buat diinjak?

Jalanan sepi saat ia berjalan di pinggir laut. Angin berhembus pelan, membawa aroma asin yang menusuk hidung. Di kejauhan, siluet seseorang terguncang ombak.

Seorang wanita. Tenggelam.

Tanpa berpikir, Rei melempar tasnya dan berlari ke air.

Air laut langsung menyambut tubuhnya dengan dingin menusuk tulang. Ia berenang, menggapai, menarik wanita itu—tapi dadanya mulai sesak. Pandangannya kabur. Lengan dan kakinya melemah. Napasnya tercekat.

Jantungnya…

Sakit.

Tubuhnya kejang. Ia melepaskan genggaman.

Semua jadi gelap.

Hening.

Tapi lalu… napas.

Udara dingin masuk ke paru-parunya.

Tanah kasar menyentuh pipinya.

Ia membuka mata.

Langit asing—merah tua, dipenuhi kabut.

Sekelilingnya hutan kelam, dan suara erangan…

Monster. Taring. Cakar. Mata yang menyala.

Rei bangkit panik—tapi tubuhnya kecil. Tangan mungil. Suara tangis bocah yang keluar dari mulutnya sendiri.

Ini… bukan tubuh gue.

“Gunakanlah sihirmu…”

Suara tanpa wujud bergema di pikirannya.

Kata asing masuk begitu saja ke otaknya.

Tanpa sadar, ia ucapkan.

“Kaltz Barrier.”

Cahaya biru meledak dari tubuhnya, membentuk dinding kaca es yang berputar di sekelilingnya. Serangan monster terpental. Udara di sekeliling membeku.

“Ucapkanlah status…”

Dengan gemetar, ia berkata, “Status.”

Sebuah layar muncul, melayang di udara:

Nama: Rion Aethoria

Usia: 6 tahun

Ras: Unknown

Level: 1

Elemen: Ice (∞)

Judul Khusus: The One Chosen by the Abyss

Matanya membelalak.

Elemen Infinity?

Dipilih oleh… jurang?

Tubuhnya masih menggigil. Tapi bukan karena cuaca.

Ini bukan dunia biasa.

Dan ia bukan anak biasa.

Tubuh kecil itu masih menggigil—bukan karena cuaca, tapi karena dunia ini terlalu nyata. Terlalu brutal. Terlalu asing.

Rion berdiri dengan kaki yang gemetar, mata menatap liar ke sekeliling. Nafasnya masih berat, jantungnya berdetak cepat. Tapi pelan-pelan pikirannya mulai tenang, dan ia mulai menyusun kepingan-kepingan logika dalam kepalanya.

Ini bukan mimpi. Ini dunia lain. Dan aku dalam bahaya.

Tiba-tiba suara geraman keras membuyarkan pikirannya.

“RAAARRRGHHH!!”

Monster yang sebelumnya terpental kini bangkit kembali. Tubuhnya besar, penuh luka, matanya menyala merah dipenuhi lapar. Taringnya meneteskan air liur, dan cakar hitamnya terangkat, siap menerkam mangsanya—Rion.

Namun, kali ini Rion tidak melangkah mundur.

Ia menatap langsung ke mata monster itu. Dan seketika, rangkaian kata aneh muncul di pikirannya, seperti sebuah mantra kuno yang telah lama tertanam.

Tanpa ragu, ia ucapkan.

“Ignis… Ignitorum!”

BOOOOMMMM!!

Ledakan api muncul dari tangannya. Monster itu terpental, tubuhnya terbakar.

> “Selamat! Anda telah naik ke Level 2. Anda kini menguasai beberapa ilmu sihir tingkat menengah.”

“...Sihir? Jadi ini sihir? Oke, kita lihat sejauh apa kekuatan ini bisa dibawa,” gumam Rion dengan seringai kecil.

Kali ini mantra muncul lebih jelas di benaknya. Dia ucapkan tanpa ragu.

“Fireball.”

Bola api menyala terang di telapak tangannya. Dengan satu gerakan, ia lemparkan ke arah monster.

Teriakan nyaring terdengar saat makhluk itu terbakar habis, meninggalkan abu yang beterbangan di udara.

Rion berdiri membatu. Lalu... tertawa kecil.

“Ini... luar biasa.”

Rasa takut di wajahnya kini hilang. Digantikan oleh kegembiraan yang mengerikan—senyum lebar khas seorang villain yang baru saja mencicipi kekuatan pertamanya.

> “Status.”

Sebuah layar kembali muncul:

Nama: Rion Aethoria

Usia: 6 tahun

Ras: Manusia

Level: 2

Elemen: Ice (∞)

Mana: ???

Peran: Assassin, Penyihir

“Kenapa mana gue masih tanda tanya...? Ah, bodo amat.”

Tiba-tiba, layar tambahan muncul menunjukkan peta.

> Lokasi: Dungeon Abyssal – Level 1 dari 100

“Dungeon...? 100 lantai? Ini akan seru.”

Enam tahun berlalu.

Rion kini beranjak remaja, dan kekuatannya tumbuh melampaui imajinasi. Ia telah menguasai puluhan mantra—baik sihir api, petir, bayangan, maupun elemen spesial yang hanya ia miliki: es tanpa batas.

Tapi kini, rasa bosan mulai merayap.

“Fireball,” ucapnya malas, membakar monster di lantai 69 menjadi arang. “Ah... terlalu gampang.”

Ia melangkah ringan ke lantai 70. Begitu pintu terbuka, udara berubah drastis. Hawa membunuh menekan tubuhnya, dan kabut hitam menari di sekitar ruangan.

“Heh… ini baru menarik.”

Tiba-tiba, sesosok raksasa muncul dari bayangan—tubuhnya seukuran rumah, kulitnya hitam legam, dan dua tanduk melengkung di kepalanya.

“Kenapa ada manusia di sini?” geram makhluk itu. “Apa ini makanan yang dikirim Raja Iblis untukku?”

Rion malah tersenyum.

“Ini... pertama kalinya gue lihat monster bisa ngomong. Sepertinya lo bakal jadi lawan yang bagus.”

Makhluk itu tertawa. “Aku adalah Drakonix, Panglima Raja Iblis! Tak ada manusia yang pernah melewati lantai ini, apalagi masih hidup.”

“Aku Rion. Tujuan gue sederhana: ngalahin bos terakhir dan keluar dari dungeon ini.”

Tawa Drakonix berubah jadi ejekan. “Kau manusia bodoh... Jangan bermimpi!”

Tapi Rion tak menunggu lebih lama. Ia menatap lurus, dan berkata dengan tenang:

“Kalau begitu... kita bertarung sampai salah satu dari kita mati.”

“BAIKLAH!! AKU AKAN MENGIRIMMU KE DALAM NERAKA!!!”

Keduanya saling menatap—dua makhluk dari dua dunia berbeda, dengan kekuatan yang tak diketahui batasnya.

Di ruangan gelap itu, cahaya pertama muncul bukan dari matahari—tapi dari ledakan sihir es berwarna biru tua, membentuk lambang tak terbatas di langit-langit dungeon.

Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai

More Chapters