Hari kedua di Akademi Zenith.
Ujian tertulis? Tidak ada. Tes kemampuan? Terlalu biasa.
Sebagai gantinya, Kelas S memiliki sistem penilaian yang lebih berbahaya: Simulasi Sosial. Setiap minggu, siswa akan dimasukkan ke dalam simulasi skenario dunia nyata—politik, ekonomi, bahkan konflik bersenjata—dan diminta menyelesaikannya dengan metode bebas. Poin diberikan berdasarkan hasil akhir, strategi, dan pengaruh yang ditinggalkan.
Hari ini, mereka dimasukkan ke dalam simulasi krisis ekonomi di koloni Mars.
Setiap siswa diberi peran acak. Aurelia menjadi CEO perusahaan energi. Noah adalah ekonom global. Nyx menjadi mediator AI antarfraksi. Selene adalah pengawas etika sistem. Dan Kael?
...Petani lokal.
Beberapa siswa tertawa. Yang lain menganggapnya diabaikan sistem. Tapi hanya Kael yang tersenyum tenang, bahkan terlihat mengantuk saat skenario dimulai.
---
45 menit berlalu.
Aurelia mengajukan proposal konsolidasi industri. Noah menciptakan mata uang stabil digital. Nyx menenangkan konflik antarkelompok dengan siaran psikologis. Semua bergerak cepat dan efisien—sesuai prediksi mereka.
Tapi kemudian, laporan mulai masuk: terjadi penolakan besar-besaran dari penduduk lokal. Gangguan suplai pangan. Aksi protes. Dan yang lebih mengejutkan—gerakan itu bukan dipimpin politisi simulasi, tapi karakter kecil bernama Kael, si petani.
Ia tidak bicara banyak. Ia hanya menghubungi satu per satu karakter minor: pedagang, nelayan, teknisi. Ia menawarkan barter sederhana, membentuk jaringan bawah tanah yang mengguncang ekonomi atas.
Selene berdiri. "Ini sabotase."
Aurelia mengerutkan dahi. "Sistemnya harusnya mencegah hal seperti ini."
Nyx tersenyum tipis. "Kecuali kalau dia tidak mengikuti sistem, tapi membentuk sistem baru dalam sistem lama."
---
Simulasi berakhir.
Layar menampilkan hasil:
> Skenario Gagal. Dominasi Ekonomi Tumbang. Pengaruh Tertinggi: Kael Asver.
Total jaringan sosial terbentuk: 132.
Estimasi dampak riil: Revolusi Ekonomi Lokal.
Efisiensi gerakan: 94%.
Deteksi awal: 0%.
Ruangan hening.
Kael hanya mengangkat bahu. "Hei, aku cuma petani. Aku tanam... dan mereka panen."
---
Setelah simulasi.
Noah menatap Kael dengan lebih dalam. Bukan benci—tapi penuh perhitungan.
Aurelia tidak berkata apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya, ekspresinya bukan sombong... melainkan waspada.
Sementara itu, Selene mengetik sesuatu di tabletnya, mengajukan permintaan untuk membuka rekaman penuh simulasi. Ia tidak suka hal di luar prediksi. Apalagi yang dilakukan oleh seseorang yang tidak seharusnya punya kekuatan.
Dan Kael? Ia berjalan keluar aula, bersenandung kecil sambil memainkan arlojinya.
Di balik layar, Medeia berbicara dengan suara tenang.
> "Kemenangan penuh. Tapi kamu memperlihatkan terlalu banyak."
Kael menjawab pelan, "Aku hanya memberi mereka secuil bayangan. Agar mereka lupa melihat siapa yang menggerakkan cahaya."
---
Setelah simulasi, suasana Kelas S tidak lagi sama. Para siswa tak bisa berhenti membicarakan satu hal:
Kael Asver.
Namun bukan karena ia berkoar, membusungkan dada, atau membuat pengumuman kemenangan. Justru karena ia tak mengatakan apa pun. Ia keluar begitu saja, seolah semua itu tak berarti.
Dan itu… membuat mereka tidak bisa melupakannya.
---
Ruang observasi atas - Sore hari
Aurelia berdiri di dekat jendela tinggi, menatap lapangan latihan yang kosong. Rambut peraknya berkibar tertiup sistem sirkulasi udara. Di belakangnya, Noah bersandar dengan tangan di saku.
"Dia bukan orang biasa," kata Noah, datar.
Aurelia diam. Lalu menjawab, pelan. "Dia berbahaya."
"Kau takut?"
"Tidak," jawabnya cepat. "Tapi untuk pertama kalinya… aku tidak bisa membaca langkah seseorang."
---
Ruang kerja Selene – Malam
Selene menatap rekaman simulasi yang telah ia buka melalui jalur admin. Ia memperhatikan setiap gerak Kael. Cara ia berbicara pada NPC. Cara ia menghindari pusat konflik tapi tetap membentuk pusat kekuatan.
"Tidak ada langkah yang sia-sia."
Ia menutup tablet. Lalu berdiri dan berjalan keluar, tanpa alasan yang jelas. Langkah kakinya membawanya ke taman pusat kampus—tempat yang hampir tak pernah ia datangi kecuali untuk urusan resmi.
Di sanalah Kael duduk, di bawah pohon neon, memandangi langit buatan.
"Aku tidak suka dirimu," katanya tiba-tiba.
Kael melirik sekilas. "Dan kau mengikuti orang yang kau tidak suka ke taman. Aneh juga."
Selene mendesah pendek. "Kenapa kamu lakukan itu? Bisa saja kamu membiarkan simulasi lewat tanpa menciptakan kekacauan."
Kael tersenyum, tanpa menoleh. "Karena dunia tidak pernah memberi peran penting kepada petani. Tapi mereka lupa, yang memberi makan revolusi... bukan para jenderal."
Selene terdiam. Lalu, suaranya melembut. "Kalau kamu tetap seperti ini, kamu akan dijauhi semua orang."
Kael akhirnya menoleh. "Kalau begitu, kamu akan jadi yang pertama menjauh?"
Ia mendekat satu langkah. Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, Selene tampak kehilangan kata-kata.
"...Belum tentu," katanya pelan, sebelum membalikkan badan dan pergi dengan cepat.
Kael hanya tersenyum. Lembut. Tak terduga.
---
Lorong utama kampus – Malam hari
Kael berjalan santai saat tiba-tiba Nyx muncul dari lorong samping, seperti hantu digital. Ia tak mengenakan headset-nya kali ini. Rambut birunya terurai bebas, dan matanya yang ungu menatap Kael penuh rasa ingin tahu.
"Kau... menarik," katanya tiba-tiba. "Pola emosimu terlalu stabil. Bahkan saat simulasi. Itu tidak alami."
Kael mengangkat alis. "Kau sedang mencoba membaca pikiranku?"
Nyx mengangguk pelan. "Dan gagal. Biasanya aku bisa memetakan siapa pun. Tapi kamu... seperti labirin berdinding cermin."
Ia mendekat. Sangat dekat. Hingga jarak mereka hanya tinggal beberapa sentimeter. Nyx menatap langsung ke matanya, lalu berbisik:
"Aku suka teka-teki."
Kael tak bergeming. "Tapi hati-hati, terkadang teka-teki dirancang untuk menelan siapa pun yang terlalu penasaran."
Nyx tersenyum, senyuman pertama yang bukan hasil dari hitungan atau logika.
"Kalau begitu… kuharap aku tersesat di dalammu."
Ia lalu pergi begitu saja, meninggalkan Kael yang untuk pertama kalinya sejak datang ke Akademi Zenith… terdiam sejenak.
--
Kael kembali ke kamar asramanya, menatap langit-langit.
Dalam pikirannya, Medeia berbicara:
> "Dua dari mereka telah memperlihatkan ketertarikan pribadi. Apakah ini bagian dari rencana?"
Kael menjawab lirih, "…Bukan bagian dari rencana. Tapi mungkin… ini justru membuat permainan lebih menarik."