Ficool

Chapter 6 - BAB 6 : JEBAKAN DI ATAS JEBAKAN

Titik Batu Menangis terletak di ujung timur lembah tua, tepat di bawah jurang yang oleh warga desa sekitar disebut sebagai Tangisan Tertua. Tidak ada air terjun di sana. Tidak ada sungai. Namun setiap malam, terdengar suara gemericik dan ratapan—seolah batu-batu itu sendiri menangis.

Tsun Zhu berdiri di bibir jurang, menatap ke bawah. Peta berdarah Fang Lin tidak salah. Titik terakhir ada di sini. Tapi tidak ada yang tampak aneh, hanya batu-batu curam yang menganga dan lumut yang menggantung seperti tirai hijau. Namun sesuatu berdenyut di dadanya. Seperti saat kau berdiri di pintu rumah masa kecilmu dan tahu, ada sesuatu yang berubah di dalamnya.

Ia mengayunkan kipas ke depan. Udara mendesir, dan suara samar terdengar dari balik dinding batu: "Langkahmu lebih berat dari yang terakhir, pewaris…"

Ia menyipitkan mata. Dari celah sempit di tebing, terbuka lorong—nyaris tak terlihat. Tsun Zhu menarik napas, lalu melangkah masuk.

---

Di dalam, lorong itu melingkar turun seperti spiral. Udara makin dingin. Dinding batu tertutup ukiran kuno—tapi bukan pujian atau doa. Ini adalah peringatan. Gambar-gambar prajurit mati, mulut mereka terbuka seolah berteriak. Di bawahnya, tertulis dalam aksara kuno:

"Yang masuk tanpa suara, akan keluar dengan jeritan."

Langkahnya terhenti ketika suara 'klik' halus terdengar dari bawah kakinya.

Terlambat.

Lantai runtuh sebagian, dan Tsun Zhu terperosok ke ruang gelap di bawah. Tubuhnya menghantam jaring besi yang menegang di tengah udara—jebakan pertama. Ia sempat mencengkeram kipasnya, memutar tubuh agar tak membentur dinding. Tapi sebelum ia sempat bernapas lega, dari atas, tali-tali kecil mulai bergerak. Panah!

Tsun Zhu mengayunkan kipasnya, memutar di udara. Satu, dua, tiga panah mental. Tapi satu menggores lengannya. Rasa panas langsung menjalar dari luka—beracun.

"Ada yang tidak ingin aku menemukan kebenaran," gumamnya sambil menggigit kain bajunya untuk menahan rasa sakit. Ia tahu, ia hanya punya waktu terbatas.

Dengan tenaga terakhir, ia meraih sisi jaring, lalu melempar tubuhnya ke arah pilar batu yang mencuat. Ia menghantam dinding dan terjatuh ke lantai ruang bawah—satu detik sebelum panah terakhir menancap di tempat ia tadi tergantung.

Ia berguling, terengah. Pandangannya mulai kabur. Tapi di hadapannya, sesuatu berkilau dalam gelap: sebuah kotak hitam dari logam tua, dengan lambang Balairung Jenderal terukir di atasnya.

Ia merangkak, tangan gemetar, membuka kotak itu.

Di dalamnya: sebuah surat dari Tsun Jie, ayahnya. Ditulis dengan tangan sendiri. Dan sebotol kecil ramuan biru. Dengan napas terputus, Tsun Zhu meminum cairan itu, dan seketika panas racun di lengannya mereda.

Ia membuka surat.

> "Jika kau menemukan ini, Zhu, maka jebakan pertama telah gagal membunuhmu. Tapi akan ada lebih banyak lagi. Mereka yang dulu bersamaku telah berkhianat. Balairung telah menjadi kandang iblis, dan aku… bukan lagi Jenderal seperti yang dikenal rakyat. Aku menyegel suara terakhirku bukan hanya karena rahasia—tapi karena suara itu bisa membunuh. Dan hanya darah pewarisku yang bisa membangunkannya tanpa kehilangan dirinya sendiri. Jika kau ingin melanjutkan, jangan cari kebenaran. Cari suara—karena di sana, iblis itu bersembunyi…"

Surat itu ditutup dengan tanda tangan dan sidik jari berdarah ayahnya.

Tsun Zhu berdiri perlahan. Luka di lengannya membekas ungu, tapi tubuhnya mulai stabil.

Ia tahu, ini bukan lagi tentang misi Fang Lin. Bukan sekadar mencari artefak warisan.

Ini adalah perang yang telah lama dimulai—di balik layar, di balik panggung kekuasaan—dan ia kini bukan lagi sekadar anak dari Jenderal Tsun Jie.

Ia adalah penjaga suara terakhir.

Dan Balairung Jenderal… sudah menunggunya untuk kembali.

More Chapters