Keputusan Edwin untuk memilih jalan dengan hati telah mengarahkannya pada pencerahan, tetapi kenyataan di luar sana tetap tidak bisa ia abaikan. Setelah berbulan-bulan merenung di gunung Angket, ia merasa bahwa waktunya untuk meninggalkan tempat ini sudah tiba. Namun, meskipun hatinya mulai tentram, pikirannya tetap dihantui oleh keputusan yang harus diambil. Apakah benar pilihan untuk menjaga keseimbangan dunia adalah jalan yang terbaik? Atau akankah ia tetap berpihak pada kehancuran yang dapat memberi kekuatan yang tak terbatas?
Edwin menyadari bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan, dan dunia Arkos bukanlah dunia yang bisa dibentuk hanya dengan kehendaknya saja. Sebelum ia melangkah lebih jauh, ada hal-hal yang harus diselesaikan—pertama, kembali ke ibukota dan berbicara dengan keluarganya. Kedua, menghadapi konsekuensi dari pilihannya sendiri. Edwin tahu bahwa meskipun ia memilih untuk menjaga keseimbangan, konsekuensinya akan jauh lebih berat daripada yang ia bayangkan.
Hari itu, setelah mempersiapkan segala sesuatu, Edwin mengumpulkan pelayan-pelayannya dan memutuskan untuk kembali ke ibukota. Lina, yang selalu setia mendampinginya, memutuskan untuk mengikuti langkahnya. Mereka berdua berjalan keluar dari gua tempat tinggal mereka menuju lereng gunung yang curam. Di sepanjang perjalanan, Edwin merasa sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan, seolah ada yang mengawasi langkahnya, ada kekuatan tak terlihat yang menunggu keputusan akhirnya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba kembali di istana kekaisaran. Udara ibukota yang semrawut dan penuh hiruk-pikuk segera menyambut mereka. Ketika Edwin melangkah masuk ke dalam istana, suasana tiba-tiba terasa berbeda. Meskipun tidak ada yang mengatakan apapun, ada ketegangan di udara. Para pelayan, prajurit, dan bahkan para pejabat terlihat melirik dengan keheranan, seolah mereka semua menunggu kabar besar yang akan datang dari pangeran yang telah lama menghilang.
Edwin berjalan perlahan menuju ruang pertemuan utama, tempat di mana seluruh keluarga kerajaan biasanya berkumpul. Hatinya sedikit berdebar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Lina mengikutinya dari belakang, tetap setia meskipun ekspresinya mencerminkan kecemasan.
Sesampainya di ruangan pertemuan, Edwin menemukan ayahnya, Kaisar Aurathar, sedang duduk di singgasana, disertai oleh kakak dan adiknya—Arga dan Tessa. Wajah mereka terlihat serius, meskipun mereka mencoba menunjukkan keramahan kepada Edwin yang kembali. Namun, ada ketegangan yang terlihat jelas di mata mereka. Sebuah tanda bahwa mereka mungkin sudah menduga bahwa keputusan besar akan segera diambil.
"Edwin, kamu akhirnya kembali," suara Kaisar yang berat terdengar di ruang itu. Wajah sang Kaisar yang biasanya penuh kebijaksanaan kini terlihat lebih murung. "Kami telah menunggu kedatanganmu, dan aku rasa waktunya sudah dekat. Kamu tahu apa yang harus kamu putuskan."
Edwin menatap ayahnya, merasakan beratnya kata-kata itu. Meskipun selama ini ia berusaha menghindar dari politik kekaisaran dan memilih untuk hidup tenang, kenyataan dunia yang penuh dengan pertempuran dan intrik ini tak bisa ia hindari. Ini adalah saat di mana ia harus membuat keputusan yang akan menentukan masa depan Arkos.
"Ayah, aku sudah memikirkan ini dengan matang. Aku telah berjumpa dengan arwah-arwah para kultivator legenda di Void Sanctum. Mereka memberikan pilihan kepadaku—untuk menjaga keseimbangan atau menghancurkannya dan membangun yang baru." Suara Edwin terhenti sejenak, seperti ingin memastikan bahwa kata-katanya sampai dengan jelas. "Setelah mempertimbangkan semuanya, aku memilih untuk menjaga keseimbangan, meskipun aku tahu itu akan membawa banyak pengorbanan."
Kakaknya, Arga, yang biasanya penuh semangat dan optimisme, kini terlihat cemas. "Keseimbangan, ya? Tapi bukankah itu berarti kita akan terjebak dalam rutinitas yang sama? Tidak ada kemajuan, tidak ada perubahan yang signifikan. Arkos membutuhkan perubahan, Ed! Kita butuh kekuatan yang lebih besar untuk melawan ancaman-ancaman yang semakin mendekat!"
Edwin menatap kakaknya dengan tegas. "Arga, jika kita menghancurkan semuanya, apa yang akan kita miliki? Dunia yang hancur? Ya, kita bisa meraih kekuatan, tetapi harga dari kekuatan itu akan sangat mahal. Aku memilih untuk menjaga apa yang ada, meskipun itu sulit."
Tessa, adiknya, yang lebih bijaksana dari Arga, hanya mengangguk. "Aku mengerti, kak. Tetapi, aku khawatir apa yang kamu pilih tidak akan diterima oleh banyak orang. Banyak faksi di luar sana yang tidak ingin dunia ini tetap seimbang. Ada yang ingin merusak semuanya demi kepentingan pribadi mereka."
Edwin menghela napas. "Aku tahu, Tessa. Itu sebabnya aku harus bertindak dengan hati-hati. Aku harus menemukan cara untuk menjaga keseimbangan tanpa menghancurkan semuanya. Aku tidak bisa merusak dunia ini."
Kaisar Aurathar, yang selama ini diam, akhirnya berbicara lagi dengan nada yang lebih dalam. "Edwin, keputusanmu akan mempengaruhi lebih dari sekadar kehidupan kita. Ini akan mempengaruhi nasib seluruh Arkos. Tetapi aku percaya padamu. Kamu adalah anakku, dan aku tahu kamu akan memilih dengan bijak."
Edwin menatap ayahnya dengan rasa hormat yang mendalam. "Terima kasih, ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu."
Di luar ruangan, saat mereka semua masih terdiam, tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang mengguncang istana. Semua orang di dalam ruangan terperanjat dan berlari menuju jendela untuk melihat apa yang terjadi. Di kejauhan, tampak sebuah bayangan besar yang bergerak cepat, seperti gelombang gelap yang datang menghampiri.
"Apakah itu?" Tessa bertanya cemas.
"Semua orang bersiap!" Arga segera memerintahkan pasukan untuk bersiaga. "Ini bisa menjadi ancaman besar bagi kita!"
Edwin segera menyadari bahwa ini bukan sekadar kebetulan. Keputusan yang ia ambil, meskipun sudah pasti dalam hatinya, tampaknya akan segera diuji oleh kekuatan besar yang datang dari luar. Dunia Arkos tidak akan pernah membiarkan perubahan datang dengan mudah. Tetapi, Edwin tahu, inilah saatnya untuk menunjukkan apa yang ia pilih—untuk melindungi keseimbangan atau untuk menghadapi kehancuran yang datang.
Dengan tegas, ia melangkah menuju pintu, bersiap menghadapi apapun yang datang—karena ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, jalan yang ia pilih harus dihadapi dengan penuh keberanian.