Langit dunia lama telah runtuh.
Gunung-gunung terbelah, lautan mendidih, bintang-bintang jatuh seperti hujan api.
Dalam gemuruh kehancuran itu, satu nama bergaung di antara raungan makhluk dan runtuhnya realitas: Void Layer — entitas yang menelan dunia, membunuh, dan meninggalkan kehampaan.
Di tengah gelap dan api, seorang anak berlutut di tanah merah.
Darahnya mengalir, matanya kehilangan cahaya, dan di tangannya, tubuh kedua orang tuanya yang hancur.
Mereka memeluknya sampai detik terakhir, mencoba melindungi dengan sisa kekuatan mereka yang fana.
“Ayah… Ibu… kenapa dunia ini menghukum kita?”
“Wu Jian… jadilah kuat… jangan biarkan kegelapan ini menang…”
Suara itu lenyap ditelan teriakan langit. Dunia hancur, dan begitu pula harapan.
Namun di detik terakhir, ketika tubuhnya seharusnya lenyap bersama segala sesuatu, cahaya perak menembus kehampaan — mengupas waktu itu sendiri.
Sebuah tangan muncul dari pusaran waktu, memegang jiwa anak itu.
“Kau belum selesai,” ujar suara yang bergema di seluruh zaman.
“Jiwamu akan kulindungi, tubuhmu akan kubangun ulang… di dunia lain.”
Itulah Dewa Waktu, penguasa siklus abadi yang tidak terikat ruang dan era.
Ia menarik jiwa Wu Jian dari kehancuran, membungkusnya dengan serpihan waktu, lalu melemparnya ke dunia lain — dunia muda yang masih damai, di mana langit biru tak mengenal perang dan bintang-bintang belum ternoda oleh darah.
Wu Jian terbangun di tubuh manusia muda di desa kecil di dunia baru itu.
Ia tidak lagi memiliki kenangan utuh; yang tersisa hanyalah mimpi tentang api, kehilangan, dan tatapan kedua orang tuanya yang memudar.
Namun dalam jiwanya, api itu belum padam.
Beberapa hari kemudian, ia bertemu dengan seorang lelaki berambut putih — sosok yang tampak tua, tetapi matanya memantulkan waktu itu sendiri.
“Kau tak mengenalku,” ucapnya, “tapi aku mengenal jiwamu. Aku hanyalah bayangan Dewa Waktu — klonnya. Tugasku adalah membimbingmu… sampai batas yang bisa kucapai.”
Lelaki itu menjadi gurunya. Ia mengajarkan dasar-dasar energi hidup, kekuatan vital, dan rahasia tentang Ranah Eksistensi — jalan yang membawa makhluk menuju kekuatan sejati.
Ia berkata bahwa ada 72 ranah, terbagi dalam 5 step, dari yang terendah hingga keheningan mutlak.
Namun ia hanya bisa menuntun Wu Jian sampai ranah kesepuluh; sisanya, harus ditempuh dengan tekadnya sendiri.
Hari-hari Wu Jian dipenuhi latihan.
Pagi ia meninju batu sampai pecah; malam ia bermeditasi di bawah bulan, mendengar aliran energi kehidupan yang mengalir di antara pohon dan sungai.
Tubuhnya mulai berubah — ototnya padat, tulangnya bergetar oleh kekuatan baru.
“Kekuatan bukan sekadar memukul lebih keras,” kata gurunya.
“Ia adalah harmoni antara tubuh, jiwa, dan kehendak. Saat tiga hal itu menyatu, kau akan melangkah ke ranah pertama — Ranah Fisik.”
Dan pada suatu malam, ketika bulan penuh menggantung di langit, Wu Jian berdiri di tepi tebing. Ia memusatkan napas, menyalurkan setiap tetes energinya.
Sekali tinju menghantam batu raksasa di depannya — gunung kecil itu retak.
Energi mengalir di tubuhnya seperti sungai api.
Ia telah menembus Ranah Fisik.
Dalam ketenangan itu, suara gurunya bergema di kepalanya.
“Itu langkah pertamamu menuju kekuatan sejati. Tapi ingat, Wu Jian, jalan ini tak hanya akan mengangkatmu — ia juga akan mengujimu. Setiap ranah bukan hanya kekuatan baru, tapi juga makna baru tentang dirimu sendiri.”
Wu Jian menatap cakrawala.
Di ufuk timur, matahari pertama dunia barunya terbit, menyinari wajahnya yang muda tapi penuh tekad.
“Aku akan menembus semuanya… sampai tidak ada batas tersisa.
Void Layer… tunggulah aku.”
Dan dengan itu, legenda Wu Jian, sang penembus ranah, pun dimulai.
Langit baru bersinar — dan di antara cahayanya, terbentuk bayangan seorang anak yang akan mengguncang seluruh realitas.
