Hujan mulai turun lebih deras di luar. Suara rintiknya seperti musik latar dari percakapan mereka yang entah mengapa terasa... penting.
Kirana melihat ke arah jendela. “Aku harus pergi, Nina. Tapi senang bisa ngobrol denganmu.”
Nina mengangguk. “Sama-sama. Senang bisa bertemu denganmu juga.”
Kirana berdiri, lalu mengulurkan tangan. “Semoga kita bertemu lagi. Siapa tahu… dunia ini memang sekecil itu.”
Nina menjabat tangannya. Hangat dan lembut.
“Sampai jumpa, Kirana.”
Dan seperti itu saja, Kirana berjalan keluar dari toko, menghilang di balik hujan.
Nina masih duduk di sana. Diam. Menatap buku yang belum sempat ia buka.
Ia tidak tahu siapa sebenarnya perempuan itu. Tapi seperti pria misterius di minimarket dulu… pertemuan singkat ini meninggalkan jejak yang aneh di hatinya.
Jejak yang belum selesai.
Langit sore berwarna abu-abu lembut, dan udara membawa aroma tanah basah setelah hujan reda. Kirana menatap keluar dari jendela kamarnya yang terbuka setengah. Tirai putih tipis melambai pelan ditiup angin. Di bawah, suara langkah kaki dan motor-motor yang lalu lalang terdengar seperti latar samar kehidupan kota yang tidak pernah benar-benar tidur.
Di kamarnya yang sederhana, Kirana duduk bersila di depan meja kecil kayu lapuk yang ia temukan bertahun lalu di pasar loak. Di atasnya, ada setumpuk buku, lilin aromaterapi yang sudah hampir habis, dan secangkir teh melati yang menghangatkan udara di sekelilingnya.
Hari itu berjalan biasa.
Ia mengajar kelas daring tadi pagi — topik filsafat dan ekspresi sastra. Mahasiswanya tidak banyak, tapi cukup aktif. Ia senang mendengar pendapat mereka. Tidak semuanya kritis, tidak semuanya dalam, tapi di sanalah justru keindahan berpikir itu terasa: dalam keraguan, dalam pencarian.
Setelah kelas selesai, Kirana pergi ke toko buku seperti biasa. Ia tidak bekerja tetap di sana, tapi pemilik toko memberinya ruang — dan kepercayaan — untuk menata rak dan membantu pelanggan. Terkadang, Kirana membawa kopi dari rumah untuk pria tua penjaga toko itu. Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali bertukar komentar tentang buku atau cuaca. Diam-diam, Kirana menyukai keheningan seperti itu: komunikasi tanpa tekanan, kedekatan tanpa tuntutan.
Kini, di kamarnya, ia sedang menuliskan potongan pemikiran dalam jurnalnya. Sebuah kebiasaan lama yang ia pelihara sejak usia remaja.
> "Orang-orang berjalan di kota ini membawa beban yang tak mereka tunjukkan. Dan aku… hanya pengamat dari balik kaca jendela."
Ia berhenti menulis sejenak, menyeruput teh yang sudah mulai dingin. Lalu ia teringat percakapannya dengan **Nina** di toko buku. Pertemuan yang tidak terencana, tapi terasa... selaras.
Kirana tidak tahu siapa Nina. Tapi dari caranya bicara, cara matanya menyimpan letih, dan cara ia mencoba tetap terlihat kuat, Kirana bisa menebak: perempuan itu membawa sesuatu. Entah luka, entah pertanyaan. Mungkin keduanya.
Dan Kirana merasa akrab dengan orang seperti itu. Karena dirinya sendiri — diam-diam — juga tidak benar-benar utuh.
Ia memandangi rak bukunya. Ada satu buku yang baru minggu lalu ia pinjamkan. Kepada pria misterius yang datang tanpa nama, yang hanya duduk sebentar, lalu pergi membawa diam. Kirana tidak tahu kenapa pria itu membekas di pikirannya. Ia tidak tampak seperti orang yang biasa datang ke toko buku. Matanya tajam, posturnya waspada. Tapi suaranya... tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang hidup di dunia keras.
"Mungkin karena aku bisa merasakan bahwa dia menyimpan badai yang sedang ditahan."
Kirana tidak mengharapkan pertemuan kedua. Tapi ia juga tidak menyangkal bahwa diam-diam ia menanti. Bukan karena cinta dalam bentuk romantis, tapi karena rasa ingin tahu yang lebih dalam — tentang manusia, tentang luka, tentang arah hidup yang tidak semua orang bisa ceritakan dengan kata-kata.
Ia membuka bukunya kembali dan mulai menulis lagi.
> “Ada orang yang datang tidak untuk tinggal. Hanya untuk menyentuh sebentar bagian hati kita yang paling sunyi. Lalu pergi, meninggalkan gema.”
Jam berdentang pelan. Sudah pukul tujuh malam. Kirana menutup jurnalnya dan beranjak ke dapur. Ia menghangatkan sup sederhana yang sudah ia siapkan tadi siang. Memasak adalah meditasi baginya. Ia bukan koki hebat, tapi ia tahu cara membuat makanan sederhana terasa seperti pelukan.
Di atas meja makan kecil, ia menyantap makan malam sendiri sambil memutar musik klasik rendah di latar belakang. Tak ada televisi, tak ada notifikasi dari ponsel. Kirana memilih ketenangan bukan karena ia membenci keramaian, tapi karena ia sudah pernah merasa kehilangan kendali atas hidupnya — dan ketenangan adalah bentuk kendali kecil yang bisa ia pertahankan.
\\
Beberapa tahun lalu, Kirana pernah berada di tengah pusaran hidup yang tidak bisa ia kendalikan. Ia kehilangan seseorang yang sangat berarti. Kematian yang datang tiba-tiba, dan membawa pergi separuh jiwanya. Sejak itu, ia memilih hidup perlahan. Tidak terburu-buru. Tidak membiarkan siapa pun masuk terlalu dalam.
Tapi dunia tidak selalu menuruti rencana.
Dan akhir-akhir ini, hidupnya mulai bertemu orang-orang yang meninggalkan bekas — bahkan ketika mereka hanya hadir sebentar.
Bas.
Nina.
Dan bahkan pria yang tak ia ketahui namanya, tapi meninggalkan keheningan yang tidak biasa di pikirannya.
Kirana tidak tahu akan ke mana semua ini. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak menutup diri sepenuhnya.
\\
Malam semakin larut. Kota mulai tenang.
Kirana berdiri di balkon kecil apartemennya, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip dari kejauhan. Hujan sudah reda. Udara dingin menyelinap masuk ke celah-celah baju tidurnya, tapi ia tidak bergeming.
Ia menatap langit gelap. Bertanya dalam hati — apakah hidup akan terus seperti ini? Atau mungkinkah semua keheningan yang ia ciptakan perlahan akan diganggu oleh sesuatu yang lebih besar dari dirinya?
Ia tidak tahu.
Tapi ia juga tidak takut.
Karena Kirana sudah berdamai dengan sepi.
Dan jika badai datang lagi, setidaknya kali ini… ia sudah lebih siap.