Bas tidak mengejarnya. Ia hanya menatap punggung Kirana yang menjauh, lalu menghembuskan napas panjang.
Pertemuan itu — sesingkat dan sedatar itu — lebih membuatnya tak tenang dibanding baku tembak semalaman.
Ia tahu Kirana bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Tapi ia juga tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bergerak setiap kali perempuan itu muncul. Dan sekarang, sesuatu itu terasa… tidak nyaman.
Sejak pertama kali mereka bertemu, Kirana tidak pernah bertanya siapa dia. Tidak pernah menyelidik, tidak pernah penasaran. Tapi justru karena itu, Bas merasa rapuh di hadapannya. Seolah dirinya benar-benar kosong tanpa senjata dan identitas gelapnya.
Kirana tak pernah menghakimi, tapi hari ini ia menciptakan jarak.
Dan Bas tidak tahu kenapa.
Sore itu, Bas kembali ke markas. Tapi pikirannya tidak penuh strategi seperti biasa. Ia duduk sendirian di ruang bersenjata, membersihkan pistol yang bahkan tidak ia gunakan hari itu. Pras datang menyodorkan data intel terbaru, tapi Bas hanya mengangguk tanpa komentar.
“Kau kenapa?” tanya Pras.
Bas melirik sekilas. “Tidak apa-apa.”
Pras mengangkat alis. “Wajahmu seperti orang baru kehilangan sesuatu.”
Bas tersenyum kecil, sinis. “Mungkin.”
Pras ingin bertanya lebih jauh, tapi ia tahu batas. Bas bukan tipe yang mudah bicara. Dan mungkin, ada sisi gelap yang bahkan ia sendiri belum siap hadapi.
Malam itu, Bas membuka kembali buku dari Kirana. Lampu redup, suara kota sayup-sayup di luar jendela. Ia membaca perlahan, membiarkan kata-kata itu masuk. Tidak semua kalimat ia pahami. Tapi ada satu baris yang menghantam keras:
*"Kadang, orang paling kuat adalah yang paling takut membuka hatinya kembali."*
Ia memejamkan mata. Kepalanya bersandar di sandaran kursi. Dalam dunia tempat ia hidup, membuka hati bisa berarti membuka kelemahan. Dan kelemahan berarti kematian.
Tapi Kirana… bukan kelemahan. Ia hanya seseorang dari dunia yang tak pernah bisa Bas miliki. Dunia yang terlalu bersih untuk disentuh tangannya.
Keesokan harinya, Bas kembali lewat toko itu. Tapi ia tidak berhenti. Tidak mencari Kirana. Tidak ingin bertemu. Ada sesuatu yang memberitahunya: **kalau perempuan itu ingin jarak, ia akan menghormatinya.**
Namun di balik semua itu, Bas tahu satu hal:
Perempuan itu sudah membuat celah di tembok hatinya. Dan celah kecil itu perlahan… menumbuhkan rasa takut yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Bukan takut pada kematian.
Tapi takut kehilangan sesuatu **yang bahkan belum pernah ia miliki.**
Langit mendung menggantung rendah di atas kota. Gerimis tipis mulai turun sejak siang, memaksa kebanyakan orang mempercepat langkah menuju tujuan masing-masing.
Nina baru saja keluar dari kantor, menghela napas panjang sambil membuka payung kecil berwarna biru. Hari ini cukup melelahkan. Presentasi dadakan, revisi laporan, dan tekanan dari atasannya membuat kepalanya penuh. Ia memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia ingin menenangkan diri sejenak — mungkin duduk di kafe kecil langganannya, atau sekadar berjalan kaki menyusuri jalanan sepi.
Ia memilih yang kedua.
Langkahnya membawa ia ke arah yang tidak biasa, menyusuri trotoar kecil yang dipenuhi daun-daun basah. Di seberang jalan, ia melihat sebuah toko buku kecil — tempat yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya.
Toko itu terlihat hangat dari luar. Cahaya kuning lembut menyinari rak-rak kayu, dan dari balik jendela, ia bisa melihat beberapa orang sedang duduk membaca.
Dan tanpa alasan yang jelas, Nina memutuskan untuk masuk.
---
Di dalam, aroma khas buku tua langsung menyambutnya. Hening. Nyaman. Ia berjalan perlahan, membiarkan matanya menelusuri judul-judul asing di rak. Satu-dua buku sempat ia ambil, dibolak-balik, lalu dikembalikan.
Hingga ia sampai di bagian belakang toko. Tempat duduk sederhana dengan meja kecil tersedia untuk pengunjung yang ingin membaca lebih lama. Di sana, seorang perempuan duduk sendirian, sibuk mencoret-coret sesuatu di jurnalnya.
Nina mengenal wajah itu. Atau... setidaknya merasa pernah melihatnya.
Rambut hitam di ikat rendah, ekspresi serius tapi tenang. Perempuan itu sepertinya menyadari ada yang memperhatikannya, lalu menoleh.
Mereka saling tatap sebentar. Lalu tersenyum sopan.
“Maaf,” ucap Nina, “aku cuma... merasa pernah melihatmu di suatu tempat.”
Perempuan itu mengangguk kecil. “Mungkin di sini. Aku cukup sering datang.”
Nina tertawa pelan. “Mungkin. Atau mungkin di jalan. Dunia ini sempit.”
Ia hampir pergi, tapi perempuan itu menunjuk kursi kosong di seberangnya.
“Mau duduk? Daripada berdiri sambil mikir keras.”
Nina tersenyum. Ia merasa anehnya nyaman, jadi ia duduk.
“Aku Kirana,” ucap perempuan itu sambil menutup bukunya.
“Nina.”
“Suka baca?” tanya Kirana.
“Kalau boleh jujur… kalau mood-nya lagi pas aja. Hari ini rasanya perlu tempat sunyi.”
“Berarti kamu datang ke tempat yang tepat.”
Obrolan mereka mengalir ringan. Mulai dari pekerjaan yang melelahkan, hobi kecil yang kadang terabaikan, sampai hal-hal remeh seperti makanan favorit di musim hujan.
Nina jarang merasa cocok berbicara dengan orang asing secepat ini. Tapi ada sesuatu dari Kirana — mungkin dari ketenangannya — yang membuatnya merasa tidak perlu menjaga jarak.
Di tengah percakapan, Kirana sempat menatap Nina lebih lama.
“Kamu kerja kantoran ya?” tanyanya.
“Iya, di perusahaan kecil di utara.”
“Capek?”
“Lumayan. Tapi lebih capek pura-pura baik-baik saja.”
Kirana tersenyum kecil. “Aku mengerti.”
“Kamu sendiri kerja di mana?”
Freelancer. Kadang ngajar, kadang bantu di toko buku ini.”
“Oh, jadi kamu memang sering di sini?”
Kirana mengangguk. “Kadang hanya duduk, baca, atau… bertemu orang-orang.”
“Orang-orang seperti aku?” canda Nina.
“Atau orang-orang yang tidak sengaja masuk dan membawa cerita,” jawab Kirana lembut.
Nina tertawa. Tapi di balik tawanya, ada rasa penasaran. Kirana tampak seperti menyimpan banyak hal. Tapi ia tidak bertanya. Ia tahu rasanya menjadi orang yang tidak ingin dikorek.
Beberapa menit hening.
Kirana memainkan pena di jarinya. Lalu bertanya pelan, seolah menguji.
“Kamu percaya... setiap orang yang datang dalam hidup kita punya maksud tersembunyi?”
Nina mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Kadang kita bertemu seseorang, hanya sebentar. Tapi entah kenapa, mereka tinggal di pikiran kita lama. Seolah... ada sesuatu yang belum selesai.”
Nina mengangguk perlahan. “Aku... pernah bertemu seseorang seperti itu.”
Kirana menatapnya. “Di mana?”
“Di minimarket. Lalu tak sengaja bertemu lagi di kafe. Kami tidak banyak bicara. Tapi anehnya... wajahnya sulit hilang dari kepalaku.”
Kirana tidak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya berubah sedikit.
“Namanya siapa?” tanya Kirana.
Nina menggeleng. “Aku bahkan tidak tahu. Dia tidak pernah menyebut nama. Dan aku… tidak pernah menanyakannya juga.”
Kirana tersenyum samar. “Lucu, ya. Dunia ini penuh teka-teki kecil.”
“Hidupku terlalu biasa untuk teka-teki,” gumam Nina.
“Tapi mungkin... ada yang luar biasa sedang mendekat, tanpa kamu sadari.”