Membawa dua buku di pelukannya, rambut hitam dikuncir rendah, dan memakai kemeja putih yang tergulung di lengan. Wajahnya tidak mencolok, tapi tatapannya… tenang. Seperti tidak ada apa pun yang bisa menyentuhnya.
Bas menoleh. Sekilas.
Tapi perempuan itu melangkah terlalu cepat dan — **BRUK!**
Tanpa sengaja menabraknya saat hendak menyeberang. Buku-bukunya terjatuh ke trotoar.
"Maaf! Saya nggak lihat arah…" katanya panik, lalu berjongkok untuk mengambil bukunya.
Bas berjongkok juga, memungut satu buku dengan tangan kiri — tangan kanannya masih memegangi rokok.
"Tidak apa-apa," ucap Bas singkat.
Perempuan itu mengangkat kepala dan menatapnya. Ada sepersekian detik hening. Mata mereka bertemu. Tidak ada romansa murahan. Hanya… rasa aneh yang menggantung.
"Kau… perokok yang suka berdiri tanpa alasan di depan toko buku?" tanya si perempuan, sedikit geli.
Bas terkejut sejenak. Jarang ada yang bicara begitu padanya. Tapi ia mengangkat bahu.
"Mungkin," jawabnya santai. "Atau pria aneh yang sedang nyari alasan untuk tidak berpikir terlalu banyak."
Perempuan itu tersenyum. "Kedengarannya seperti kombinasi berbahaya."
"Lebih dari yang kau kira," bisik Bas dalam hati.
"Terima kasih, ya. Sudah membantu." Perempuan itu memeluk lagi bukunya, hendak pergi.
Tapi untuk pertama kalinya, Bas merasa langkahnya harus tertahan.
"Namamu siapa?" tanyanya cepat, sebelum perempuan itu menjauh.
Dia menoleh. "Kirana."
"Bas."
Kirana mengangguk pelan. "Sampai jumpa, Bas si pengamat toko buku."
Lalu ia benar-benar pergi. Meninggalkan aroma parfum samar dan bayangan yang menempel di benak Bas lebih lama dari yang ia harapkan.
Beberapa hari setelahnya, Bas masih menjalankan tugas seperti biasa. Ia memimpin penyisiran sisa-sisa jaringan Reo yang mencoba kabur dari Kota. Ia keras, cepat, dan tidak ragu menarik pelatuk saat perlu.
Namun… di sela-sela misi dan laporan, pikirannya sering kembali ke percakapan singkat di depan toko buku itu.
Kirana.
Nama itu sederhana. Tapi bagi Bas, perempuan itu terasa seperti dunia yang sepenuhnya berbeda dari realitas berdarah yang ia kenal.
Pras sempat memperhatikannya melamun di markas dan menggoda, "Sejak kapan kau jadi seniman kontemplatif?"
Bas hanya menjawab dengan gumaman.
Chio, walau tidak bertanya langsung, tahu bahwa ada sesuatu yang berubah dari tangan kanannya itu. Tapi ia tidak keberatan. Bas tetap efisien. Dan kadang… sisi manusia itu perlu dipertahankan, supaya tidak benar-benar jadi mesin pembunuh.
Seminggu kemudian, Bas kembali ke toko buku itu. Tidak ada alasan khusus. Ia hanya lewat. Tapi detaknya sedikit berubah saat melihat sosok yang sama di sana. Kirana duduk di dalam, membaca di dekat jendela.
Ia ragu masuk. Tapi akhirnya melangkah juga.
Bau buku tua menyambutnya. Dan suara lonceng kecil di atas pintu menarik perhatian Kirana.
Ia menoleh. "Kau… kembali."
Bas mengangguk. "Mungkin aku butuh rekomendasi buku."
Kirana tersenyum. "Genre?"
"Yang bisa menenangkan orang yang hidupnya nggak tenang."
Kirana bangkit, lalu berjalan ke satu rak. "Coba ini," katanya, mengambil sebuah buku tipis berjudul *The Things You Can See Only When You Slow Down*.
Bas menerima buku itu, membalik-balik halamannya. "Kau pikir aku perlu pelan?"
"Kalau tidak, kau akan terus berlari tanpa tahu ke mana sebenarnya."
Mereka kembali diam sejenak. Tapi bukan diam yang canggung. Bas merasa seperti baru mengenal udara yang bisa ia hirup tanpa bau mesiu.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Kirana mengangkat alis. "Untuk buku?"
"Untuk… ketenangan ini."
Ia membeli buku itu tanpa banyak kata. Sebelum pergi, ia berkata, "Boleh aku mampir lagi?"
Kirana hanya tersenyum. "Toko ini selalu terbuka, untuk siapapun Bas."
Malamnya, Bas duduk sendiri di apartemennya. Buku itu ada di meja, tak tersentuh. Ia belum tahu apakah ia siap membaca. Tapi ia tahu satu hal: hidupnya mulai berubah arah, sedikit demi sedikit.
Dan meski ia masih akan berdarah dan menembak untuk dunia yang ia lindungi, di satu sudut hatinya… Kirana sudah mulai bertumbuh diam-diam.
Sebuah kemungkinan baru.
Sebuah jeda dari luka.
Bas tidak pernah terlalu peduli soal perasaannya itu . Ia menjalani hidup dengan logika dan kecepatan tembak. Tidak ada ruang untuk pertanyaan, apalagi keraguan. Namun sejak pertemuannya dengan Kirana, ritme itu sedikit terganggu. Seperti roda gigi yang mulai mengeluarkan bunyi gesekan asing.
Hari itu, ia kembali berada di pusat kota. Bukan untuk misi, bukan juga karena sengaja mencari Kirana. Ia hanya merasa butuh udara segar — atau paling tidak, tempat di mana suara-suara di kepalanya bisa diredam sejenak.
Langkah kakinya tanpa sadar membawanya ke jalanan yang sama. Di seberang toko buku. Tempat itu tampak seperti biasa: sunyi, damai, tak tersentuh dunia brutal yang selama ini membesarkannya.
Ia tidak berniat masuk. Tapi matanya menangkap sosok yang keluar dari pintu toko.
Kirana.
Ia membawa tas kanvas di bahunya, berjalan cepat. Tidak seperti sebelumnya yang santai. Ada ekspresi berbeda di wajahnya — sedikit lelah, sedikit bingung. Bas nyaris berbalik. Tapi Kirana sudah melihatnya lebih dulu.
Mata mereka bertemu.
Namun kali ini, **tidak ada senyum. Tidak ada ucapan "kau kembali."**
Kirana hanya mengangguk kecil, sopan, seperti pada orang asing yang kebetulan dikenalnya.
Bas merasa aneh. Tapi ia tetap melangkah mendekat.
"Kirana," sapanya pelan.
Gadis itu berhenti, menoleh. "Halo, Bas."
Datar. Pendek. Jaraknya tegas. Tak ada kehangatan dari pertemuan sebelumnya.
"Kau buru-buru?" tanya Bas, mencoba membiasakan diri dengan suasana.
Kirana menunduk sebentar, lalu mengangguk. "Ada sedikit urusan. Maaf, aku tidak bisa ngobrol lama."
Bas hanya berdiri. Tangan di saku. Tidak tahu harus menjawab apa. Otaknya biasa bekerja dalam strategi dan perhitungan, tapi untuk momen seperti ini — ia kosong.
"Bukumu belum dibaca, ya?" tanya Kirana tiba-tiba. Ada senyum kecil, tapi hanya sekilas.
Bas menatapnya sejenak. "Belum. Tapi sudah kubuka."
"Kau takut membacanya?"
Pertanyaan itu menggantung. Bukan ejekan. Lebih seperti pengamatan yang jujur.
Bas menghela napas. "Aku belum terbiasa dengan sesuatu yang… tenang."
Kirana mengangguk pelan. "Aku bisa lihat itu."
Hening lagi. Lalu ia melirik jam di pergelangan tangan.
"Maaf, aku harus pergi. Sampai jumpa lagi, Bas."
Ia berbalik dan melangkah cepat, meninggalkan Bas yang masih berdiri mematung di trotoar.