Langit Kota malam itu terasa lebih pekat dari biasanya. Awan gelap menggantung rendah, dan petir sesekali menyambar di kejauhan. Seolah kota ini tahu—bahwa sesuatu akan berakhir malam ini.
Chio berdiri di atas atap sebuah gedung tua yang menghadap langsung ke markas utama Reo. Di belakangnya, Bas dan Pras sudah siap dengan tim utama. Senjata terpasang. Komunikasi aktif. Tak ada lagi taktik licik. Tak ada negosiasi.
Malam ini… mereka datang untuk **menghabisi.**
Chio menarik napas panjang, lalu berbicara ke alat komunikasi di pundaknya. "Mulai."
Dalam sekejap, seperti barisan semut api yang menyebar cepat, tim-tim kecil menyusup dari empat arah. Suara-suara letupan kecil terdengar—peluru senyap, kaca pecah, jeritan singkat. Dalam lima menit pertama, dua puluh orang Reo tumbang tanpa perlawanan berarti.
Bas melangkah di belakang Chio, matanya tajam. "Lantai bawah bersih. Kita langsung ke pusat."
Chio hanya mengangguk.
Di ruang utamanya, Reo panik. Suara tembakan kini mulai terdengar jelas. Anak buahnya yang tersisa berlarian. Komunikasi sudah terputus. CCTV mati. Tak ada sinyal. Semua hening, kecuali suara detak jantungnya sendiri.
Ia berdiri dan menarik pistol dari laci. Namun tangannya gemetar. Ia tahu… semua ini sudah terlambat.
"Bos! Mereka sudah di lantai dua!" teriak salah satu anak buah.
"Bertahan! Kita masih punya…—"
BRAK!
Pintu ruangan utama terbanting terbuka. Seorang pria jatuh dengan kepala berlumur darah. Di belakangnya berdiri sosok yang membuat semua diam.
**Chio.**
Tanpa masker. Tanpa helm. Tanpa keraguan.
Mata mereka bertemu.
Reo mundur satu langkah. "Chio…"
Chio melangkah masuk, pelan, pasti. Di belakangnya, Bas dan Pras menjaga pintu, senjata mereka siaga.
"Kau pikir aku akan biarkan kau hidup setelah semua ini?" suara Chio datar, dingin, dan menggelegar seperti guntur yang tak terdengar.
Reo tertawa pahit, mencoba menutup ketakutannya. "Kita bisa atur ini."
"kau sudah berani meludahi mejaku dengan menjual barangmu di wilayahku," potong Chio tajam.
Reo mencoba mengarahkan pistolnya, tapi peluru lebih cepat. Peluru dari Chio menembus bahu kirinya, membuat tubuhnya terhuyung dan pistolnya terjatuh.
"AARGHH!!"
Chio berjalan pelan, seperti tak terburu-buru. Seolah waktu sudah ia kuasai. Ia menunduk, mengambil pistol Reo, lalu meletakkannya di meja.
"Dengar baik-baik," katanya pelan. "Aku tidak butuh kau memohon. Aku tidak butuh penyesalanmu. Yang aku mau cuma satu: **hilangnya nama Reo dari muka bumi ini.**"
Reo merangkak mundur, bersandar di tembok. Darah menetes dari bahunya. "Kau pikir semua akan selesai setelah ini, ha?! Dunia ini… tak pernah berhenti! Akan selalu ada orang sepertiku!"
Chio berlutut di depannya, menatap matanya lurus. "Benar. Akan selalu ada. Dan aku tidak peduli , siapapun orang yang berani mengotori wilayah ku akan aku lenyapkan dari bumi ini."
Tanpa ragu, Chio menarik pistolnya—dan menembakkan dua peluru ke dada Reo. Tepat. Sunyi.
Tubuh Reo jatuh ke lantai. Mata terbuka, namun tak lagi melihat apa pun.
Dari luar ruangan, Pras masuk. "Semua bersih, Tidak ada yang lolos."
Chio berdiri, merapikan jasnya. Ia melihat mayat Reo sejenak, lalu memalingkan wajah. "Bakar tempat ini. Aku tak mau ada yang tersisa satu pun."
Bas mengangguk. "Siap."
Saat pasukannya mulai bekerja, menanam bahan peledak dan membakar dokumen, Chio berjalan keluar. Hujan mulai turun—deras dan semakin deras. Namun ia terus melangkah melewati asap, api, dan mayat yang berserakan.
Beberapa jam kemudian…
Langit masih abu-abu saat fajar menyingsing. Asap hitam mengepul dari reruntuhan markas Reo. Tak ada sirene. Tak ada media. Dunia di permukaan tetap sibuk dengan rutinitas paginya, tak tahu bahwa semalam, **ada sebuah kejadian besar dalam dunia gelap.**
Di dalam mobilnya, Chio duduk diam. Pras menyetir. Bas duduk di belakang sambil merapikan luka kecil di lengan kirinya.
"Apa rencana selanjutnya ?" tanya Bas.
Chio memandang ke luar jendela. Kota kembali bergerak. Tapi di matanya, kota ini kini seperti papan kosong—siap digambar ulang oleh tangannya.
"Kita bersihkan sisa-sisanya. Siapa pun yang pernah berdiri di belakang Reo, kasih dua pilihan: suruh mereka tunduk atau terkubur."
"Dan setelah itu?" tanya Pras, menoleh sekilas.
Chio tidak langsung menjawab. Ia membuka jendela sedikit, membiarkan angin pagi masuk. Dalam benaknya, sekelebat wajah perempuan muncul—senyuman hangat yang ia temui di minimarket dan café.
Di tempat lain, Nina duduk di teras kecil apartemennya, memegang secangkir kopi panas. Ia belum tahu apa yang terjadi semalam.
Yang ia tahu, hanya satu: pagi ini terasa… berbeda.
Tenang. Sunyi. Seolah sesuatu telah usai.
Bas tidak pernah menganggap dirinya penting. Ia hanya menjalankan tugas. Tak banyak tanya, tak banyak bicara. Tapi satu hal yang tak bisa dipungkiri: di balik senyum dan tembakan tajamnya, Bas adalah **penjaga paling setia** bagi Chio.
Pagi itu, setelah malam kelam di markas Reo, Bas berjalan sendirian di pusat kota. Ia bilang ke Chio ingin "menenangkan kepala sebentar." Chio mengerti. Setelah semua darah yang tumpah, bahkan orang sekuat Bas butuh napas.
Langkahnya terhenti di seberang sebuah toko buku kecil. Toko itu nyaris tenggelam oleh kafe dan bangunan modern di sekitarnya. Tapi justru karena itulah toko itu menarik perhatiannya.
Ia tak masuk.
Hanya berdiri sambil merokok di seberang jalan, menatap rak-rak di balik kaca jendela. Tidak ada yang tahu, Bas punya kebiasaan lama: ia suka bau buku tua. Dan mungkin, di kehidupan lain yang lebih tenang, ia bisa saja jadi pemilik toko semacam itu.
Beberapa menit berlalu. Bas hampir berbalik pergi saat pintu toko terbuka, dan seseorang keluar.
**Seorang perempuan.**