Ficool

Chapter 8 - Bab 8

‎Malam baru turun saat Chio tiba di salah satu rumah aman miliknya—sebuah vila tua di pinggir kota, tersembunyi di balik pepohonan lebat dan tembok tinggi. Hanya orang-orang terpilih yang tahu tempat ini, dan malam itu, dua dari mereka sudah menunggu di dalam: **Bas** dan **Pras**.

‎Bas duduk di kursi dekat perapian yang menyala kecil, sementara Pras berdiri dengan peta wilayah terpampang lebar di meja utama. Lampu gantung tua menggantung rendah, menyoroti detail wilayah operasional milik Reo yang kini tinggal separuh.

‎Saat Chio masuk, keduanya berdiri.

‎‎Pras segera mengambil map. "Gudang selatan sudah benar-benar lumpuh. Empat orang dari dalam kami tangkap hidup-hidup. Satu kami lepas, sengaja—biar dia bawa pesan."

‎"Dan pesan itu apa?" tanya Chio.

‎"Kalau Reo tidak tahu kapan harus mundur, dia akan melihat anak buahnya satu-satu dikirim pulang dalam kantong jenazah."

‎Chio tersenyum tipis. "Bagus."

‎Bas menyela, "Tapi Reo bukan tipe yang takut. Dia pasti akan melawan. Kita butuh langkah selanjutnya lebih… berdarah."

‎Chio berjalan pelan ke arah meja. Ia menunjuk dua titik di peta.

‎"Wilayah tengah dan utara. Dua tempat terakhir yang masih jadi sarang dia. Kita tidak akan menyerang langsung—kita pakai caranya sendiri: racuni dari dalam."

‎Pras mengangguk. "Anak buah kita yang menyusup ke tim logistik mereka sudah kasih celah. Besok malam, kita bisa lumpuhkan rantai distribusi mereka tanpa suara."

‎"Tapi ada satu masalah," sambung Bas. "Reo mulai curiga sama orang dalamnya. Kalau dia dapat duluan, penyusup kita bisa habis."

‎Chio diam sejenak. Matanya tajam menatap peta, lalu ke wajah dua orang kepercayaannya.

‎"Kalau begitu, kita percepat. Kirim tim kecil. Malam ini juga, kita culik kepala distribusi mereka. Potong kepalanya, biarkan tubuhnya goyah sendiri."

‎"Dan Reo?" tanya Pras.

‎Chio menatap kosong sejenak, lalu menjawab dingin, "Dia terakhir. Biar dia nonton kerajaannya hancur pelan-pelan."

‎‎Tengah malam, tim eksekusi bergerak. Enam orang—terlatih, senyap, dan loyal tanpa tanya. Mereka menyusup ke rumah kepala distribusi Reo, seorang pria bernama **Armand**, yang dikenal keras kepala dan kejam di jalanan. Tapi malam itu, bahkan si bengis itu tidak menyangka kediamannya bisa disusupi.

‎Armand ditemukan dengan tangan terikat dan mulut disumpal. Tubuhnya dilempar ke dalam bagasi mobil gelap, dan hilang dari peta kota sebelum fajar.

‎Pagi harinya, rekaman penyiksaan Armand tersebar di lingkaran dunia gelap. Tidak ke publik, tentu—tapi cukup menyebar ke telinga orang-orang Reo.

‎Dan yang terlihat di layar itu bukan siapa-siapa… **tapi Chio sendiri yang memegang pistol.**

‎Tanpa masker. Tanpa penutup wajah. Tanpa ampun.

‎**Sebuah peringatan keras:** *"Aku tidak sembunyi. Dan kalian takkan sempat lari."*

‎‎Di markas Reo, situasi mulai memanas. Beberapa anak buahnya mulai bertanya-tanya. Rantai pasokan terputus, dua gudang hilang, satu eksekutif tak kembali, dan yang mereka tahu… nama **Chio** kembali bergema di setiap lorong dunia hitam.

‎Reo duduk di ruang utamanya, menatap layar pengawas CCTV dengan mata lelah tapi penuh amarah.

‎"si Bangsat itu benar-benar kembali," desisnya.

‎Salah satu anak buahnya berkata pelan, "Bos… kita nggak siap kalau dia nyerang langsung. Dia gila sekali ."

‎Reo membalik tubuh. "Chio itu bajingan pengecut. Dia cuma main psikologis. Kita bangun perang, sekarang!"

‎Namun suara Reo tak lagi sekeras biasanya. Untuk pertama kalinya, bayangan **kalah** muncul di matanya. Ia tahu, Chio berbeda dari yang lain. Ia bukan sekadar penguasa wilayah—**Chio adalah mesin perang yang bisa berpikir.**

‎Malam selanjutnya, Chio memanggil semua kepala regunya. Di sebuah gedung tua yang sudah lama jadi markas koordinasi, puluhan orang berkumpul dalam diam. Mereka semua berdiri tegak saat Chio masuk, mengenakan setelan rapi seperti biasanya , tanpa senjata di pinggang—tapi semua orang tahu, ia adalah senjata itu sendiri.

‎Chio berdiri di depan, tatapannya dingin namun jelas.

‎"Kalian semua tahu, Reo mulai goyah."

‎Hening.

‎"Kita tidak hanya ingin menghancurkan dia. Kita ingin habiskan dia… hingga tidak ada satu pun yang berani pakai namanya lagi."

‎Ia melangkah mendekat. "Tapi untuk itu, kita harus lebih dari sekadar mesin penghancur. Kita pakai otak, bukan hanya peluru."

‎Bas dan Pras berdiri di belakangnya, seperti bayangan yang siap bergerak kapan pun.

‎Chio melanjutkan, "Besok pagi, kita lumpuhkan jalur komunikasi mereka. Sore, kita ambil alih satu titik distribusi terakhir. Malamnya… kita kirim pesan ke Reo."

‎Seseorang dari barisan depan bertanya, "Pesan apa, Bos?"

‎Chio menoleh. Bibirnya menyeringai kecil. "Bahwa malam terakhir Reo… sudah mulai dihitung."

‎‎Di tempat lain, Reo duduk sendiri di ruangannya, memutar ulang video penyiksaan Armand. Berkali-kali. Tatapannya kosong. Tangan kirinya gemetar pelan.

‎Ia tahu.

‎Ia kalah dalam permainan yang bahkan belum ia pahami seluruhnya.

‎Tapi satu hal yang belum ia tahu adalah bahwa salah satu orang terdekatnya kini bekerja diam-diam untuk Chio. Dan rencana terakhirnya—yang ia pikir akan jadi penyelamat—sudah bocor jauh sebelum dijalankan.

‎Di kejauhan, Kota masih berisik seperti biasa. Tapi di dalam kota itu, di bawah arus jalanan yang ramai, perang diam-diam sedang berlangsung.

‎Dan satu nama mulai menggema lagi di lorong-lorong dunia malam.

Chio yang semakin menekan Reo secara perlahan dan sistematis. dan bagaimana ia menggerakkan pasukannya, mengatur serangan tanpa ampun, dan membuat semua terasa seperti bagian dari rencana besar.

More Chapters